Adiparwa adalah buku pertama atau bagian
(parwa) pertama dari kisah MahaBharata. Penuturan kisah keluarga besar
Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang
mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa. Bagian-bagian kitab Adiparwa
itu di antaranya:
Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā)
mengenai terjadinya pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya
kisah MahaBharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah
panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja Janamejaya, raja
Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan cicit Pandawa.
Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas kegagalan
kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga
Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa
yang menyusun MahaBharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari
masing-masing parwa.
Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang
Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai
kisah asal mula sang Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga
Taksaka. Oleh karenanya sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya
untuk melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja
dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada
sang Ruru untuk mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular
dan naga dari kurban maharaja Janamejaya.
Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini
(naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan
garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban
ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga upaya para naga
menghindarkan diri dari kurban ular.
Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk
mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana
matahari dan burlan.
Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga Taksaka.
Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah
Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan
keluarga Bharata. Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal
Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu
(Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa
atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya
Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para
Pandawa, dan sang Widura.
Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa
dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi
adipati di Awangga.
Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima
(Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî
(Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara
Drupadi, dibaginya negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa,
pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya Abimanyu
(Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya hutan Kandhawa tempat
naga Taksaka bersembunyi.
Penuturan isi kitab tersebut bermula
ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan
upacara di hutan Nemisa. Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan
Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan kitab yang disebut
Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan
Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa,
mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama
Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Beliau memiliki 3 murid, bernama:
Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji
kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan
berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika
biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang
kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan
merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air.
Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan
dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena
kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh
Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh
mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta
air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu
sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka
Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga.
Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga
terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga
kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang
Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan
cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang
Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh
Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal
di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda
selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala
perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda
dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi
bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marirci, cucu Dewa Brahma. Ia
diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri
tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi,
Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat
belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadrru tidak memiliki anak.
Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru
memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak.
Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur
sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut
kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik
Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang
Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru
sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak
sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak
yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari
pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum
waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh
Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan
menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama
Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi
sais (kuir) kereta Dewa Surya.
Kisah pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para
Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta
(air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut
berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk
lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut
Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara
(Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut
dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurrma) besar menjadi
penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut,
kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya
memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak
melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar,
keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan
Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah
Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar
tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat
bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara
untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya
menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan
detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan
menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian
pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa
Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah.
Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan
rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para
rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena
luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam
tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa rtirta amerta ke surga.
Kisah Sang Garuda dan para Naga
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata
dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang
keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung
Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda
tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda
tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena
berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah
akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu
besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan
tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah
tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru
pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus
anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya
warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya
karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah
mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara
pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau,
akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun
memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang
putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan
sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang
Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi
nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia
mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang
Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah
berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para
naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga
menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para
naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan
tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil
menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada
saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan
bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut,
mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”.
Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya
jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya.
Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya
tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu
berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku,
sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan
permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu.
Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak
setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda
mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah
selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal
para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang
Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga
mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang
diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada
lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya
mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang.
Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan
terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta.
Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus
perbudakan ibunya.
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama
Parikesit, ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.
Beliau merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa.
Saat Maharaja Parikesit masih berada
dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama
Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukshetra. Dalam
pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan
secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara
karena gugur dalam perang.
Pada pertempuran di akhir hari kedelapan
belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama
sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh
Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut
kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan
ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih
berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit
dihidupkan kembali. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia
selamanya.
Setelah parikesti lahir, Resi Dhomya
memprediksikan kepada Yudistira bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa
Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhatara Kresna, ia akan dikenal
sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).
Resi Dhomya memprediksikan bahwa
Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan
kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti
Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti
Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi
keluarganya.
Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu
zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, lima
Pandawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak
diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Beliau
menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimibingan Krepa.
Kutukan Sang Srenggi
Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi
berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan
jejak. Ia kepayahan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia
sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggalah
Bagawan Samiti. Beliau sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang
Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu
karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya
tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan
anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian
Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti
yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.
Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat
bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan
kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari
sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap
perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan
mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan
mengakhiri kutukan tersebut. ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang
Raja, namun Sang Raja sudah merasa tersinggung dan juga malu untuk
menerima mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.
setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun
menyuruh untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular
dan berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat
oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap
para tabib yang ahli menangani bisa ular.
Kemudian Naga Taksaka pergi ke
Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit
Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berada dalam
menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa.
Naga Taksaka mengalami kesulitan untuk menjalankan perintah itu.
Akhirnya pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari
kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada
jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi
kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Naga Taksaka .
Versi Jawa
Parikesit adalah putera Abimanyu alias
Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri
Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia
seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang
Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di
istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke
Hastinapura.
Parikesit naik tahta negara Hastinapura
menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira
setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur
dan adil.
Prabu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
Dewi Puyangan, berputera Ramayana dan Pramasata
Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.
Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
Setelah Maharaja Parikesit mangkat,
puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu
beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian,
dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari
Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan
adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat
ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang
Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci
terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian
ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita
tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja
dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga
Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara
dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses
upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka
menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan
upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke
lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar
Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas
kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang
Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat
dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan MahaBharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena
upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan
kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di
Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan
Wesampayana disuruh mewakilinya. Beliau adalah murid Bagawan Byasa,
penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan
Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang
Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa,
kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja.
Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya
(Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah
buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Garis keturunan Maharaja Yayati
Leluhur Maharaja Janamejaya yang
menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau
memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani
melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu,
dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang
Puru disebut Paurawa.
Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah
Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang
Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian
dikenal sebagai Bharatawarsha. Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata.
Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat
yang disebut Kurukshetra, kemudian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti
Kuru. Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi
tahta Hastinapura.
Hastinapura adalah sebuah kota dan Nagar
Panchayat di distrik Meerut, Uttar Pradesh, negara bagian India.
Hastinapura berasal dari kata Hasti (gajah) + Pura (kota). Banyak
kejadian di kisah MahaBharata yang terjadi di Hastinapura. Pada masa
kini, kota ini disebut Hastinapur, sebuah kota kecil yang terletak di
Uttar Pradesh, jaraknya 120 km dari Delhi dan 37 km dari Meerut. Di sana
terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain
dan Taman Nasional Hastinapur. Populasi sekitar 20.000 jiwa. Perjalanan
ke sana dapat ditempuh dengan bus dari Meerut yang siap sedia dari jam 7
pagi sampai 9 malam. Jalanan bagus dan bersih dengan pemandangan hijau
dan hamparan persawahan di kiri-kanan. Di sana terdapat objek wisata
yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain dan Taman Nasional
Hastinapur.
Prabu Santanu dan keluarga besarnya:
Bisma dan Srikandi, Pandu, Drestarasta dan Gandari, Sakuni, Widura,
Balarama, Kresna, Subadra, Pandawa, Korawa
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa,
beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa,
bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama
Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara
ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan menjadi Raja.
Raja Santanu menikahi Dewi Gangga,
kemudian berputera 8 orang yang merupakan penjelmaan dari delapan Wasu.
Setiap putranya lahir, Ibunya (Dewi Gangga) pergi kesungai dan
menenggelamkannya. Hal tersebut terjadi sebanyak tujuh kali. Saat putera
yang kedelapan lahir, Raja mengikuti dan mencegah istrinya
menenggelamkan anak mereka yang kedelapan. Putera yang selamat itu
bernama Dewabrata, yang di kemudian hari dikenal sebagai Bhisma. Raja
Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama
Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan
Wicitrawirya.
7 putra tersebut ditenggelamkan merupakan
penjelmaan dari Delapan Wasu yang mengalami kutukan karena perbuatannya
mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam perjalanannya menuju
bumi, mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau turun ke dunia
untuk menjadi istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan Wasu
kemudian membuat kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan
menjelma sebagai delapan putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi
Gangga. Bisma merupakan penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata.
Sementara tujuh kakaknya yang telah lahir
berhasil mengakhiri kutukan karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh
ibu mereka sendiri, Bisma tidak berhasil mengikuti jejak 7 wasu yang
lain karena di cegah oleh ayahnya. Kemudian, sang ibu membawa Bisma yang
masih bayi ke surga, meninggalkan Prabu Santanu sendirian. Setelah 36
tahun kemudian, Dewi Gangga kemudian menyerahkan anak tersebut kepada
Sang Prabu di hilir sungai Gangga, dan memberinya nama Dewabrata.
Dewabrata kemudian menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan
dicalonkan sebagai pewaris kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang
Dasapati, ayah Satyawati (ibu tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi
tahta serta tidak menikah seumur hidup agar kelak keturunannya tidak
memperebutkan tahta kerajaan dengan keturunan Satyawati. Karena
ketulusannya tersebut, ia diberi nama Bisma dan dianugerahi agar mampu
bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu
kematiannya sendiri.
Nama Bhishma dalam bahasa Sanskerta
berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia bersumpah akan
hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya. Nama
Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya,
yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta
ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya
berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.
Bisma mempelajari ilmu politik dari
Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedangga dari Resi Wasistha,
dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama Bargawa), seorang
ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang hidup abadi
sejak zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam
menggunakan segala jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia
ditakuti oleh segala lawannya.
Di lingkungan keraton Hastinapura, Bisma
sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya karena ia tua, namun
juga karena kemahirannya dalam bidang militer dan peperangan. Dalam
setiap pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah sangat
berpengalaman. Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang
sanggup menaklukkan Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa
dan laskar Asura menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang
Dewa Perang.
Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu
tirinya yang bernama Satyawati. Mereka bernama Citrānggada dan
Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi
dan memenangkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang
puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada
adik-adiknya.
Saat Amba di menangkan Bhisma, didalam
hatinya Ia lebih memilih Salva, seorang raja dari Saubala, begitu pula
sebaliknya. Mereka saling menyerahkan hatinya. Raja Salva mencegat Bisma
dan terjadilah pertarungan. Pertarungan itu dimenangkan oleh Bisma.
Amba, Ambika, dan Ambalika hendak
dinikahkan pada Citranggada, Amba berkata pada Bisma, ’Oh Putra Gangga,
tentunya engkau mengentahui apa kata kitab suci. Hatiku telah memilih
Sava sebagai suami namun engkau membawa paksa diriku kemari’. Bisma
mengakui bahwa Amba di bawa paksa, kemudian dengan pengawalan ang pantas
Ia di kembalikan ke Raja salva.
Amba merasa sangat bersukacita, Ia
menceritakan apa yang terjadi pada Raja Salva, namun ternyata tidak
sesuai dengan harapannya, raja Salva tidak mau menerima Amba lagi karena
ia merasa Malu telah dikalahkan dan tidak dapat menyelamatkan pujaan
hatinya dulu. Amba di minta kembali kepada Bisma. Amba kemudian di minta
kembali ke Hastinapura dan menceritakan apa yang terjadi pada Bisma.
Karena Citrānggada wafat pada suatu
pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan
oleh adiknya, Wicitrawirya, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan
Wicitrawirya.
Mendengar penuturan Amba, maka kemudian
Bisma kemudian membujuk Wicitrawirya untuk mengawini Amba. Namun Raja
yang baru menikahi 2 wanita itu menolak menikahi Amba yang telah
menyerahkan hatinya pada orang lainnya. Amba mendengar penolakan Raja
dan akhirnya meminta pertanggungjawaban Bisma untuk mengawininya namun
Bisma juga menolak karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin
seumur hidup. Ia kemudian berjanji akan mencari cara agar Raja Salva mau
menerimanya.
Permulaan Amba merasa gengsi namun
setelah enam tahun berjalan dalam kesedihan yang mendalam akhirnya Ia
kembali mencari Raja Salva, namun tetap saja Raja itu menolaknya.
Sungguh sangat memelas nasib Amba
bertahun-tahun nasibnya terkatung-katung tak tentu dan ia merasa bahwa
ini adalah gara-gara Bisma sehingga kemudian menjadi sangat dendam
kepada Bisma atas seluruh kejadian yang menimpanya. Ia kemudian
berkeliling keseluruh penjuru mencari mengadukan nasibnya pada para
ksatria dan meminta bantuan mereka untuk melawan Bisma. Seluruh ksatria
saat itu tidak ada yang mau berhadapan dengan Bisma. Ia kemudian mencari
perlidungan kepada Yang maha kuasa (subramanyam), Yang maha Kuasa
memberikan sebuah karangan bunga lotus kepadanya bahwa barang siapa yang
memakai itu akan dapat mengalahkan Bisma.
Sekali lagi ia pergi keseluruh penjuru
mencari Ksatria yang ada, namun mereka terlalu gentar untuk melawan
Bisma. Terakhir ia memohon kepada Raja Drupada, namun Raja itu juga
menolak. Amba putus asa dan meletakan Karangan bunga itu di pintu
gerbang Istana dan kemudian masuk menuju hutan. Di Hutan itu ia bertemu
dengan beberapa pertapa yang menyarankan Amba untuk memohon bantuan pada
Parasurama, guru dari Bisma
Gurunya Bisma, Parasurama, menaruh
perhatian terhadap masalah Bisma dan Amba. Ia kemudian bertemu dengan
Bisma, dari mulai membujuk halus hingga terjadilah pertarungan antara
guru dan murid. Ternyata sang Guru juga dapat dikalahkan oleh muridnya.
Kejadian itu juga yang mimicu sumpah Parasurama bahwa Ia tidak lagi
menerima murid dari kasta Kshatriya.
Setelah tidak ada satu manusiapun yang
mampu. Akhirnya Amba menuju Himalaya, melakukan tapabrata keras dan
memasrahkan persoalan ini kepada Yang Mahakuasa, Shiva. Ditengah
pertapaannya itu, Shiva hadir dihadapannya dan memberikan restu bahwa di
kehidupan mendatang Ia akan dapat membunuh Bhisma. Amba senang
mendengar ini namun ia sudah tidak sabar lagi menanti saat itu tiba. Ia
kemudian membakar dirinya agar dapat segera membunuh Bisma dengan
tangannya Sendiri.
Berkat Deva Shiva menjadikan Ia lahir
sebagai anak Raja Drupada. Beberapa tahun kemudian setelah kelahirannya.
Ia juga menemukan karangan bunga yang pernah ia letakan di gerbang
Istana. Karangan buga itu masih ada, karena tidak ada seorangpun yang
berani mengambilnya untuk berhadapan melawan Bisma. Ia kemudian
memakainya. Raja Drupada melihat juga hal itu dan merinding melihatnya,
kemudian Raja mengasingkannya di sebuah Hutan. Di hutan itu, Ia
menggembleng diri dan melakukan tapabrata. Kelaminnya berubah menjadi
Laki-laki dan Iapun dikenal denan nama Srikandi. Beberapa tahun kemudia
Bisma tewas di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran
akbar di Kurukshetra.
Bisma sangat dicintai oleh Pandawa maupun
Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang kakek sekaligus kepala
keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap Bisma sebagai
ayah mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat. Saat perang antara
Pandawa dan Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum
pertempuran, ia berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak
oleh kekayaan, dan dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun
demikian, karena Yudistira telah melakukan penghormatan sebelum
pertempuran, maka Bisma merestui Yudistira dan berdo’a agar kemenangan
berada di pihak Pandawa, meskipun Bisma sangat sulit untuk ditaklukkan.
Bisma juga pernah berkata kepada Duryodana, bahwa meski dirinya (Bisma)
memihak Korawa, kemenangan sudah pasti berada di pihak Pandawa karena
Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna maka di sanalah terdapat
kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada Arjuna, di sanalah
terdapat kejayaan.
Veris Jawa:
Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja
Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu
kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur.
Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh
wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin.
Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan
digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta
Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi
menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan
banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk
mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu
putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata
mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia
hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras
hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba
dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba.
Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa
sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba
keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma
suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya.
Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh
Bisma dalam perang Bharatayuddha.
Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa
ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu
Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga
ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati,
istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini
bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan
Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain
ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada dan
Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan
anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan,
sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya
diserahkan pada Byasa, putra Durgandini dari suami pertama. Byasa-lah
yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan
Korawa. Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan
mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha. Bisma memiliki
kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri
Adik tiri Bisma, Wicitrawirya wafat tak
lama setelah pernikahannya. Ia tidak memiliki keturunan. Oleh karena
itu, Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan
Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi akan mengadakan
suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan.
Byasa bergelar Weda Wyasa (orang yang
mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya,
membukukannya, dan dikenal sebagai Weda). Beliau juga dikenal dengan
nama Krishna Dwaipayana. Beliau adalah filsuf, sastrawan India yang
menulis epos terbesar di dunia, yaitu MahaBharata.
Wisnupurana menyatakan bahwa alam semesta
adalah suatu siklus, ada dan tiada berulang kali. Setiap siklus
dipimpin oleh beberapa Manu, satu untuk setiap Manwantara, yang memiliki
empat zaman, disebut Caturyuga (empat Yuga). Dwaparayuga adalah Yuga
yang ketiga. Kitab Purana (Buku 3, Chanto 3):
“Dalam setiap zaman ketiga (Dwapara),
Wisnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat manusia, membagi
Weda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati
terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, ia
membuat Weda empat bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang
dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk mengklasifikasi, dikenal
dengan nama Wedawyasa.”
Krishna Dwaipayana membagi Weda menjadi
empat bagian (Caturweda), dan oleh karena itu ia juga memiliki nama Weda
Wyasa yang artinya “Pembagi Weda”. Kata Wyasa berarti “membelah”,
“memecah”, “membedakan”. Dalam proses pengkodifikasian Weda, Wyasa
dibantu oleh empat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Samantu, dan
Wesampayana.
Pada suatu ketika, timbul keinginan Resi
Byasa untuk menyusun riwayat keluarga Bharata. Atas persetujuan Dewa
Brahma, Hyang Ganapati (Ganesha) datang membantu Byasa. Ganapati meminta
Wyasa agar ia menceritakan MahaBharata tanpa berhenti, sedangkan
Ganapati yang akan mencatatnya. Setelah dua setengah tahun, MahaBharata
berhasil disusun. Murid-murid Resi Byasa yang terkemuka seperti Pulaha,
Jaimini, Sumantu, dan Wesampayana menuturkannya berulang-ulang dan
menyebarkannya ke seluruh dunia.
Orangtua Byasa adalah Resi Parasara dan
Satyawati (alias Durgandini atau Gandawati). Diceritakan bahwa pada
suatu hari, Resi Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta
diseberangkan dengan perahu. Satyawati menghampirinya lalu
mengantarkannya ke seberang dengan perahu.
Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat
oleh kecantikan Satyawati. Satyawati kemudian bercakap-cakap dengan Resi
Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang
menyebabkan badannya berbau busuk.
Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja
lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami.
Mendengar hal itu, Resi Parasara berkata bahwa ia bersedia menyembuhkan
penyakit Satyawati. Karena kesaktiannya sebagai seorang resi, Parasara
menyembuhkan Satyawati dalam sekejap.
Setelah lamaran disetujui oleh orangtua
Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua
mempelai menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai
Yamuna, konon terletak di dekat kota Kalpi di distrik Jalaun di Uttar
Pradesh, India. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal
agar pulau tersebut tidak dapat dilihat orang. Dari hasil hubungannya,
lahirlah seorang anak yang sangat luar biasa. Ia diberi nama Krishna
Dwaipayana, karena kulitnya hitam (krishna) dan lahir di tengah pulau
(dwaipayana). Anak tersebut tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan
mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi.
Byasa juga dikenal sebagai penulis
(pencatat) sejarah dalam MahaBharata, namun ia juga merupakan tokoh
penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya (Satyawati) menikah
dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah
Citrānggada dan Wicitrawirya.
Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi
Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis
(pencatat) sejarah dalam MahaBharata, namun ia juga merupakan tokoh
penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya (Satyawati) menikah
dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah
Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada gugur dalam suatu pertempuran,
sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. Karena kedua pangeran itu
wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil Byasa agar
melangsungkan suatu yadnya (upacara suci) untuk memperoleh keturunan.
Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap
Byasa sendirian untuk diupacarai.
Versi Jawa
Abyasa merupakan putra pasangan Parasara
dan Durgandini. Dikisahkan Durgandini menderita bau amis pada badannya
semenjak lahir. Ia diobati Parasara seorang pendeta muda, di atas perahu
sampai sembuh. Keduanya saling jatuh hati dan melakukan sanggama,
sehingga lahir Abyasa. Abyasa tidak lahir sendiri. Parasara juga
mencipta perahu, penyakit, dan alat-alat pengobatannya menjadi manusia
berjumlah enam, yaitu Setatama, Rekathawati, Bimakinca, Kincaka,
Rupakinca, dan Rajamala. Semuanya dipersaudarakan dengan Abyasa.
Durgandini kemudian menjadi permaisuri
Sentanu raja Hastina. Ia melahirkan Citranggada dan Citrawirya.
Masing-masing secara berturut-turut naik takhta menggantikan Sentanu.
Namun, keduanya masih muda. Citranggada meninggal saat belum menikah,
sedangkan Citrawirya meninggal saat belum memiliki putra.
Durgandini kemudian memanggil Abyasa
untuk menikahi kedua janda Citrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika. Saat
itu ia baru saja bertapa sehingga keadaan tubuhnya sangat buruk dan
mengerikan. Ambika ketakutan saat pertama kali bertemu sampai memejamkan
mata. Abyasa meramalkan kalau Ambika kelak melahirkan putra buta.
Sementara itu, Ambalika memalingkan muka karena takut. Abyasa meramalkan
kelak Ambalika akan melahirkan bayi berleher cacad. Abyasa juga
menikahi dayang Ambalika bernama Datri. Perempuan itu ketakutan dan
mencoba lari. Ia pun ditramal kelak akan melahirkan putra berkaki
pincang. Akhirnya, Ambika, Ambalika, dan Datri masing-masing melahirkan
putra yang diberi nama Dretarastra, Pandu, dan Widura.
Pewaris sah takhta Hastina sesungguhnya
adalah Bisma putra Sentanu dari istri pertama. Namun ia telah bersumpah
tidak akan menjadi raja, sehingga sebagai pengganti Citrawirya, Abyasa
pun naik takhta sampai kelak ketiga putranya dewasa. Setelah tiba
saatnya, Abyasa pun turun takhta digantikan Pandu sebagai raja Hastina
selanjutnya. Ia kembali menjadi pendeta di pertapaan Ratawu yang
terletak di pegunungan Saptaarga. Abyasa merupakan pendeta agung yang
sangat dihormati. Tidak hanya keluarga Hastina saja yeng menjadikannya
tempat meminta nasihat, namunjuga dari negeri-negeri lainnya.
Versi pewayangan mengisahkan kematian
Abyasa sesaat sesudah perang Baratayuda usai, yaitu ketika keturunannya
yang bernama Parikesit cucu Arjuna dilahirkan. Konon, atas jasa-jasanya
selama hidup di dunia, datang kereta emas dari kahyangan menjemput
Abyasa. Ia pun naik ke sorga bersama seluruh raganya. Nama Dipayana
kemudian diwarisi oleh Parikesit.
Satyawati menyuruh Ambika agar menemui
Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia
melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala.
Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama
upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah
Dretarastra.
Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk
mengunjungi Byasa ke dalam kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi
anugerah. Ia juga disuruh agar terus membuka matanya supaya jangan
melahirkan putera yang buta (Dretarastra) seperti yang telah dilakukan
Ambika. Maka dari itu, Ambalika terus membuka matanya namun ia menjadi
pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan (Byasa) yang luar biasa. Maka
dari itu, Pandu (puteranya), ayah para Pandawa, terlahir pucat. Atas
anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara
tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang.
Pandu, merupakan anak kedua, Kakaknya
adalah Dretarasta yang sebenarnya merupakan pewaris dari Kerajaan Kuru
dengan pusat pemerintahan di Hastinapura, tetapi karena buta maka tahta
diserahkan kepada Pandu dan Widura, yang tidak memiliki ilmu kesaktian
apapun tetapi memiliki ilmu kebijaksanaan yang luar biasa terutama
bidang ketatanegaraan.
Nama Pandu atau pāṇḍu dalam bahasa
Sanskerta berarti pucat, dan kulit beliau memang pucat, karena ketika
ibunya (Ambalika) menyelenggarakan upacara putrotpadana untuk memperoleh
anak, ia berwajah pucat.
Di kalangan Jawi (jawa Kuna/Sunda),
“Pandu” berasal dari “Wandu” yang artinya bukan laki bukan perempuan,
tetapi bukan banci. Tegasnya, sajeroning lanang ana wadon, sajeroning
wadon ana lanang, yaitu manusia yang sudah menemukan jodohnya dari dalam
dirinya sendiri. Gusti Pangeran dan hambanya sudah bersatu dan selalu
berjamaah.
Pandu merupakan seorang pemanah yang
mahir. Ia memimpin tentara Dretarastra dan juga memerintah kerajaan
untuknya. Pandu menaklukkan wilayah Dasarna, Kashi, Anga, Wanga,
Kalinga, Magadha, dan lain-lain.
Saat berburu di hutan, tanpa sengaja
Pandu memanah seorang resi yang sedang bersenggama dengan istrinya. Atas
perbuatan tersebut, Sang Resi mengutuk Pandu agar kelak ia meninggal
saat bersenggama dengan istrinya. Sejak saat itu apabila nanti Pandu
bersenggama dengan Istrinya Ia akan mati.
Dalam suatu sayembara, Prabu Pandu
berhasil memenangkan sayembara untuk mendapatkan Kunti putri dari Prabu
Kuntiboja. Prabu Salya dari kerajaan Madra yang terlambat datang
menantang Pandu untuk mendapatkan Dewi Kunti dengan taruhannya adalah
Dewi Madri adiknya.
Salya dan Pandu kemudian bertanding dan
Pandu menang sehingga juga mendapatkan Madri sebagai istri kedua. Madri
dinikahkan dengan Pandu untuk mempererat hubungan antara Hastinapura
dengan Kerajaan Madra.
Salya adalah raja Kerajaan Madra. Raja
Kerajaan Madra semula bernama Artayana, yang memiliki dua orang anak
bernama Salya dan Madri. Setelah Artayana meninggal, Salya
menggantikannya sebagai raja. Merujuk pada nama ayahnya, Salya dalam
MahaBharata sering pula disebut Artayani. Salya memiliki dua orang putra
bernama Rukmarata dan Rukmanggada. Namun siapa nama istrinya atau ibu
dari kedua anak tersebut tidak diketahui dengan jelas. Versi
Bharatayuddha, yaitu sebuah naskah berbahasa Jawa Kuno menyebut nama
istri Salya adalah Satyawati. Dari perkawinan itu kemudian lahir
Rukmarata.
Versi Jawa
Kisah perkawinan Salya dan Setyawati
terdapat dalam versi pewayangan Jawa. Salya yang sewaktu muda bernama
Narasoma pergi berkelana karena menolak dijodohkan oleh ayahnya. Di
tengah jalan ia bertemu seorang brahmana raksasa bernama Resi Bagaspati
yang ingin menjadikannya sebagai menantu. Bagaspati mengaku memiliki
putri cantik bernama Pujawati yang mimpi bertemu Narasoma dan jatuh hati
kepadanya. Narasoma menolak lamaran Bagaspati karena yakin Pujawati
pasti juga berparas raksasa. Keduanya pun bertarung. Narasoma kalah dan
dibawa Bagaspati ke tempat tinggalnya di Pertapaan Argabelah.
Sesampainya di Argabelah, Narasoma terkejut mengetahui bahwa Pujawati
ternyata benar-benar cantik. Ia pun berubah pikiran dan bersedia
menikahi putri Bagaspati tersebut. Narasoma yang sombong merasa jijik
memiliki mertua seorang raksasa. Pujawati yang lugu menyampaikan hal itu
kepada Bagaspati. Bagaspati menyuruh putrinya itu memilih antara ayah
atau suami. Ternyata Pujawati memilih suami. Bagaspati bangga
mendengarnya dan mengganti nama Pujawati menjadi Setyawati.
Setyawati menyampaikan kepada Narasoma
bahwa ayahnya siap mati daripada mengganggu keharmonisan rumah tangga
mereka. Bagaspati rela dibunuh asalkan Setyawati jangan sampai dimadu.
Narasoma bersedia. Ia kemudian menusuk Bagaspati namun tidak mempan.
Bagaspati sadar kalau memiliki ilmu kesaktian bernama Candabirawa. Ia
pun mewariskan ilmu tersebut kepada Narasoma terlebih dulu. Narasoma
kemudian menusuk siku Bagaspati, yaitu tempat titik kelemahannya. Kali
ini Bagaspati tewas seketika. Narasoma kemudian membawa Setyawati pulang
ke Mandaraka.
Mandrapati menyambut kedatangan Narasoma
dan Setyawati dengan gembira. Namun ia berubah menjadi sedih begitu
mendengar kematian Bagaspati yang ternyata merupakan sahabat baiknya.
Mandrapati pun marah dan mengusir Narasoma pergi dari istana. Madrim
yang masih rindu segera menyusul kepergian kakaknya itu. Narasoma dan
Madrim tiba di Kerajaan Mandura di mana sedang diadakan sayembara untuk
mendapatkan putri negeri tersebut yang bernama Kunti. Dengan mengerahkan
Candabirawa, Salya berhasil mengalahkan semua pelamar dan memenangkan
Kunti.
Pandu pangeran dari Hastina datang
terlambat dan memutuskan untuk pulang. Narasoma mencegah dan
menantangnya. Namun Pandu tidak mau melayani tantangan itu karena
Narasoma sudah ditetapkan sebagai pemenang. Narasoma yang sombong terus
memaksa, bahkan menyerahkan Kunti dan Madrim sekaligus jika Pandu mampu
mengalahkan dirinya. Pandu terpaksa melayani tantangan Narasoma.
Narasoma pun mengerahkan ilmu Candabirawa. Dari jarinya muncul raksasa
kerdil tapi ganas, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak.
Pandu sempat terdesak. Atas nasihat pembantunya yang bernama Semar, ia
pun mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada Tuhan. Anehnya, dengan
cara tersebut Candabirawa justru lumpuh dengan sendirinya.
Narasoma menyerah kalah. Tujuannya ikut
sayembara bukan karena menginginkan Kunti, namun hanya sekadar untuk
mencoba keampuhan Candabirawa saja. Sesuai perjanjian, Kunti dan Madrim
pun diserahkan kepada Pandu. Narasoma kemudian kembali ke Mandaraka dan
dikejutkan oleh kematian ayahnya yang serba mendadak. Konon, Mandrapati
sangat sedih atas kematian Bagaspati yang tewas dibunuh Narasoma. Ia
merasa telah gagal menjadi ayah yang baik dan memutuskan untuk bunuh
diri menyusul sahabatnya itu. Narasoma kemudian menggantikan kedudukan
Mandrapati sebagai raja, bergelar Salya. Pemerintahannya didampingi
Tuhayata sebagai patih.
Meskipun sudah menjadi raja, Salya tetap
bersifat sombong. Ia langsung menerima lamaran Duryudana raja Hastina
yang merupakan raja terkaya di dunia saat itu untuk menikahi Erawati,
putri sulungnya. Namun, Erawati kemudian hilang diculik orang. Erawati
berhasil diselamatkan oleh Baladewa yang saat itu menyamar sebagai
pendeta muda. Menurut perjanjian, seharusnya Erawati diserahkan kepada
Baladewa. Namun hal itu ditunda-tunda karena Salya lebih suka memiliki
menantu seorang raja. Baru setelah ia tahu kalau Baladewa ternyata raja
Kerajaan Mandura, Erawati pun diserahkan kepadanya. Salya kembali
menerima lamaran Duryudana untuk Surtikanti. Namun putri keduanya itu
diculik dan dinikahi Karna. Duryudana merelakannya karena Karna banyak
berjasa kepadanya. Ia kemudian menikahi putri Salya yang lain, yaitu
Banowati.
Kunti merupakan puteri Raja Kuntibhoja
dari Wangsa Wresni, Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah
dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ayah Kunti adalah Raja Surasena dari
Wangsa Yadawa, dan saat bayi ia diberi nama Pritha. Ia merupakan adik
Basudewa, ayah Kresna. Kemudian ia diadopsi oleh Raja Kuntiboja yang
tidak memiliki anak, dan semenjak itu ia diberi nama Kunti. Setelah
Kunti menjadi puterinya, Raja Kuntibhoja dianugerahi anak.
Pada saat Kunti masih muda, Ia menjamu
dengan baik tamu ayahnya, yaitu seorang pendeta bernama Resi Durwasa.
Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah
ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, yaitu semacam mantra agar mampu
memanggil Dewa mana saja dan memberikannya anak tanpa perlu menjalani
kehamilan. Ketika Kunti bertanya mengapa ia diberikan mantra itu, Resi
tersebut menjawab bahwa itu akan diperlukannya kelak kemudian.
Karena tidak yakin seampuh apa mantra
itu, maka Kunti mencoba menggunakan mantra Adityahredaya sambil
memandang matahari terbit. Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya
muncul dan siap menganugerahi Kunti seorang putra. Kunti yang ketakutan
menjawab bahwa dirinya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya
saja. Ia menolak memiliki anak karena saat itu dirinya belum menikah.
Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Surya
kemudian bersabda, dan seketika itu pula Kunti mengandung. Namun berkat
bantuan dewa matahari tersebut, dalam waktu singkat Kunti langsung
melahirkan seorang putera. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah
memulihkan keperawanan Kunti.
Versi Jawa
Guru Kunti bernama Resi Druwasa,
sedangkan mantra yang diajarkannya bernama Aji Punta Wekasing Rasa Cipta
Tunggal Tanpa Lawan. Dalam versi ini, yang membantu kelahiran Karna
bukan Batara Surya, melainkan Resi Druwasa sendiri. Dengan kesaktiannya,
ia membantu Kunti melahirkan “putera Surya” itu melalui telinga
sehingga keperawanannya tetap terjaga. Kisah versi Jawa ini mungkin
terpengaruh oleh makna harfiah Karna, yaitu “telinga”. Sementara versi
asli menyebut Kunti melahirkan secara normal dengan bantuan Surya.
Kunti tidak ingin memiliki putera semasih
muda, maka ia memasukkan anak tersebut ke dalam keranjang dan
menghanyutkannya di sungai Aswa. Kemudian putera tersebut dipungut oleh
seorang kusir di keraton Hastinapura yang bernama Adirata, dan anak
tersebut diberi nama Karna.
Pandu menanggung kutukan bahwa ia akan
meninggal apabila bersenggama, maka ia tidak bisa memiliki keturunan.
Akhirnya Pandu dan istrinya mengembara di hutan sebagai pertapa dan
meninggalkan Hastinapura. Di sana, Kunti mengeluarkan mantra rahasianya
untuk memangil para Dewa. Ia menggunakan mantra tersebut tiga kali untuk
memanggil Dewa Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga Dewa tersebut ia
memperoleh tiga putera, yaitu Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga
memberikan kesempatan bagi Madri untuk memanggil Dewa. Madri memanggil
Dewa Aswin, dan mendapatkan putera kembar bernama Nakula dan Sadewa.
Lima belas tahun setelah ia hidup
membujang, ketika Kunti dan putera-puteranya berada jauh, Tergodalah
Pandu dan mencoba untuk bersenggama dengan Madri. Atas tindakan
tersebut, Pandu wafat sesuai dengan kutukan yang diucapkan oleh resi
yang pernah dibunuhnya. Baik Kunti maupun Madri bersedih dan hendak
melakukan Satya, namun Madri menyatakan bahwa Ia yang menyebabkan
kematian, maka biarkan ia yang melakukan Satya dan menitipkan putera
kembarnya, Nakula dan Sadewa, agar dirawat oleh Kunti sementara ia
membakar dirinya sendiri untuk menyusul suaminya ke alam baka.
Versi Jawa
Dalam pewayangan, tokoh Pandu (Bahasa
Jawa: Pandhu) merupakan putera kandung Byasa yang menikahi Ambalika,
janda Wicitrawirya. Bahkan, Byasa dikisahkan mewarisi takhta Hastinapura
sebagai raja sementara sampai Pandu dewasa. Pandu digambarkan berwajah
tampan namun memiliki cacat di bagian leher, sebagai akibat karena
ibunya memalingkan muka saat pertama kali menjumpai Byasa. Para dalang
mengembangkan kisah masa muda Pandu yang hanya tertulis singkat dalam
MahaBharata. Misalnya, Pandu dikisahkan selalu terlibat aktif dalam
membantu perkawinan para sepupunya di Mathura. Pandu pernah diminta para
dewa untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Nagapaya, raja
raksasa yang bisa menjelma menjadi naga dari negeri Goabarong. Setelah
berhasil melaksanakan tugasnya, Pandu mendapat hadiah berupa pusaka
minyak Tala.
Pandu kemudian menikah dengan Kunti
setelah berhasil memenangkan sayembara di negeri Mathura. Ia bahkan
mendapatkan hadiah tambahan, yaitu Puteri Madri, setelah berhasil
mengalahkan Salya, kakak sang puteri. Di tengah jalan ia juga berhasil
mendapatkan satu puteri lagi bernama Gandari dari negeri Plasajenar,
setelah mengalahkan kakaknya yang bernama Prabu Gendara. Puetri yang
terakhir ini kemudian diserahkan kepada Dretarastra, kakak Pandu.
Pandu naik takhta di Hastina menggantikan
Byasa dengan bergelar “Prabu Pandu Dewanata” atau “Prabu Gandawakstra”.
Ia memerintah didampingi Gandamana, pangeran Panchala sebagai patih.
Tokoh Gandamana ini kemudian disingkirkan oleh Sangkuni, adik Gandari
secara licik.
Dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan
lima orang putra yang disebut Pandawa. Berbeda dengan kitab MahaBharata,
kelimanya benar-benar putera kandung Pandu, dan bukan hasil pemberian
dewa. Para dewa hanya dikisahkan membantu kelahiran mereka. Misalnya,
Bhatara Dharma membantu kelahiran Yudistira, dan Bhatara Bayu membantu
kelahiran Bima. Kelima putra Pandu semuanya lahir di Hastina, bukan di
hutan sebagaimana yang dikisahkan dalam MahaBharata.
Kematian Pandu dalam pewayangan bukan
karena bersenggama dengan Madri, melainkan karena berperang melawan
Prabu Tremboko, muridnya sendiri. Dikisahkan bahwa Madri mengidam ingin
bertamasya naik Lembu Nandini, wahana Batara Guru. Pandu pun naik ke
kahyangan mengajukan permohonan istrinya. Sebagai syarat, ia rela
berumur pendek dan masuk neraka. Batara Guru mengabulkan permohonan itu.
Pandu dan Madri pun bertamasya di atas punggung Lembu Nandini. Setelah
puas, mereka mengembalikan lembu itu kepada Batara Guru. Beberapa bulan
kemudian, Madri melahirkan bayi kembar bernama Nakula dan Sadewa.
Sesuai kesanggupannya, Pandu pun berusia
pendek. Akibat adu domba dari Sangkuni, Pandu pun terlibat dalam perang
melawan muridnya sendiri, yaitu seorang raja raksasa dari negeri
Pringgadani bernama Prabu Tremboko. Perang ini dikenal dengan nama
Pamoksa. Dalam perang itu, Tremboko gugur terkena anak panah Pandu,
namun ia sempat melukai paha lawannya itu menggunakan keris bernama
“Kyai Kalanadah”. Akibat luka di paha tersebut, Pandu jatuh sakit. Ia
akhirnya meninggal dunia setelah menurunkan wasiat agar Hastinapura
untuk sementara diperintah oleh Dretarastra sampai kelak Pandawa dewasa.
Antara putera-puteri Pandu dan Tremboko kelak terjadi perkawinan, yaitu
Bima dengan Hidimbi, yang melahirkan Gatotkaca, seorang kesatria
berdarah campuran, manusia dan raksasa.
Istilah Pamoksa seputar kematian Pandu
versi Jawa berbeda dengan istilah moksa dalam agama Hindu. Dalam
“Pamoksa”, Pandu meninggal dunia musnah bersama seluruh raganya. Jiwanya
kemudian masuk neraka sesuai perjanjian. Atas perjuangan putera
keduanya, yaitu Bima beberapa tahun kemudian, Pandu akhirnya mendapatkan
tempat di sorga. Versi lain yang lebih dramatis mengisahkan Pandu tetap
memilih hidup di neraka bersama Madri sesuai janjinya kepada dewa.
Baginya, tidak menjadi masalah meskipun ia tetap tinggal di neraka,
asalkan ia dapat melihat keberhasilan putera-puteranya di dunia.
Perasaan bahagia melihat dharma bakti para Pandawa membuatnya merasa
hidup di sorga.
Drestarastra, sebagai anak tertua
sebenarnya yang berhak menjadi Raja Hastinapura karena ia merupakan
putera Wicitrawirya yang tertua. Akan tetapi Karena Dretarastra terlahir
buta, maka tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya, yaitu Pandu.
Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikannya sebagai raja
(kadangkala disebut sebagai pejabat pemerintahan untuk sementara waktu).
Drestarastra menikahi Gandari yang
merupakan puteri Subala, Raja Gandhara (di masa sekarang disebut
Kandhahar), yaitu wilayah yang meliputi Pakistan barat daya dan
Afghanistan timur, dan namanya diambil dari sana. Gandari menikahi
Dretarastra, pangeran tertua di Kerajaan Kuru. Ketika mengetahui calon
suaminya Buta, maka ia lalu menutupi matanya sendiri degan kain, “Kalau
suamiku tidak bisa melihat lalu buat apa ku melihat”. Semenjak itu
Gandari sengaja menutup matanya sendiri agar tidak bisa menikmati
keindahan dunia karena ingin mengikuti jejak suaminya.
Saat Gandari hamil dalam jangka panjang
yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan cemburu
pada Kunti yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas
tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan.
Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian
memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa
memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian dan dimasukkan
ke dalam guci kemudian dikubur selama setahun. Setelah guci-guci
tersebut digali kembali, dari setiap potongan daging itu kemudian tumbuh
seorang anak, yang kemudian menjadi Korawa. Di antara Korawa, yang
terkemuka adalah Duryodana dan Dursasana,dan adik-adiknya yang lain.
Tanda-tanda yang buruk mengiringi
kemunculannya dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya
tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura mengatakan bahwa jika
tanda-tanda seperti itu mengiringi kelahiran putranya, itu tandanya
kekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan
agar putera tersebut dibuang, namun Dretarastra tidak mampu
melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosional terhadap putera
pertamanya itu. Diantara korawa terdapat seorang puteri bernama Dursala
yang menikahi Jayadrata.
Meskipun putera-putera Gandari disebut
sebagai tokoh jahat, ajaran moral yang tinggi dalam MahaBharata mengacu
kepada Gandari. Ia berulang kali menasihati puteranya agar mengkikuti
dharma dan berdamai dengan Pandawa. Gandari dekat dengan Kunti yang
menghormatinya seperti seorang kakak.
Pada saat perang antara Korawa dan
Pandawa berkecamuk, satu-persatu putera Gandari gugur dalam pertempuran,
hingga akhirnya hanya Duryodana yang tersisa. Takut akan kehancuran
keturunannya, Gandari memberi anugerah kepada Duryodana agar puteranya
tersebut mendapat kekebalan terhadap berbagai serangan musuh. Ia
menyuruh agar Duryodana mandi dan setelah itu datang menemui ibunya
dalam keadaan telanjang bulat. Pada saat Duryodana pergi untuk menemui
ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saja mengunjungi Gandari.
Kresna mencemooh Duryodana yang tak tahu malu karena mau menghadap
ibunya sendiri dalam keadaan telanjang bulat. Oleh karena malu terhadap
ejekan Kresna, Duryodana mengambil kain dan menutupi wilayah
kemaluannya, termasuk paha. Setelah itu ia pergi menemui ibunya.
Ketika Duryodana tiba, Gandari langsung
membuka penutup matanya dan melihat Duryodana. Pada saat matanya
terbuka, sinar ajaib muncul dan memberi kekuatan kepada Duryodana. Namun
ketika ia mengetahui bahwa puteranya menutupi wilayah kemaluannya
termasuk paha, Gandari mengatakan bahwa wilayah tersebut tidak akan
kebal oleh serangan musuh karena tidak mendapat siraman kekuatan.
Prediksi Gandari menjadi kenyataan. Pada saat Duryodana bertarung dengan
Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas, Duryodana gugur
perlahan-lahan karena pahanya yang tidak kebal dihantam oleh gada Bima.
Setelah pertempuran besar di Kurukshetra
berakhir, Gandari meratapi kematian seratus putera-puteranya. Gandari
menghujat Kresna yang membiarkan perang berkecamuk. Ia juga menyalahkan
Kresna yang tidak mampu mencegah peperangan dan tidak bisa mendamaikan
kedua pihak. Kresna berkata bahwa kewajibannya adalah melindungi
kebenaran, bukan mencegah peperangan. Kemudian Gandari mengutuk Kresna,
bahwa keluarga Krena, yaitu Wangsa Wresni, akan binasa karena saling
membantai sesamanya. Kresna menerima kutukan tersebut dengan senyuman
dan sadar bahwa Wangsa Wresni tidak akan terkalahkan kecuali oleh
sesamanya. Tiga puluh enam tahun setelah kutukan tersebut diucapkan,
Wangsa Wresni melakukan pembantaian besar-besaran terhadap keluarga
mereka sendiri. Mereka saling membunuh sesama. Hanya Kresna, Baladewa,
dan para wanita yang bertahan hidup. Setelah itu, kediaman Wangsa
Wresni, yaitu Kerajaan Dwaraka, tenggelam ke dalam lautan dan
memusnahkan jejak mereka. Kresna dan Baladewa bertapa ke dalam hutan dan
moksa di sana, sementara para wanita mengungsi ke Kurukshetra.
Versi Jawa
Dretarastra dalam pewayangan Jawa disebut
sebagai putra kandung Abyasa. Dretarastra atau kadang disingkat
Destarata, dilahirkan oleh Ambika dalam keadaan buta sebagai pengingat
karena ketika pertama kali berjumpa dengan Abyasa, ibunya itu memejamkan
mata. Kedatangan Abyasa ke negeri Hastina ialah atas undangan ibunya,
yaitu Durgandini untuk menikahi janda-janda Citrawirya. Tujuannya ialah
untuk menyambung garis keturunan Wangsa Bharata, karena pewaris yang
sesungguhnya, yaitu Bisma, telah bersumpah untuk hidup wahdat. Sewaktu
kecil Dretarastra serta kedua adiknya, yaitu Pandu dan Widura berguru
kepada Bisma tentang ilmu pemerintahan dan kesaktian. Meskipun
menyandang tunanetra, namun Dretarastra mampu menguasai ilmu Lebur Geni
sehingga mampu meremukkan apa saja melalui genggamannya.
Dikisahkan Pandu pulang dari Mandura
dengan membawa Kunti sebagai hadiah sayembara, serta Madrim putri dari
Mandaraka. Di tengah jalan rombongan itu dihadang oleh Gendara raja
Plasajenar yang terlambat mengikuti sayembara di Mandura. Pertempuran
terjadi antara keduanya dan berakhir dengan kematian Gendara. Ia
berwasiat menitipkan kedua adiknya, yaitu Gendari dan Sengkuni untuk
dibawa Pandu. Sesampainya di Hastina, Pandu menyerahkan ketiga putri
boyongannya untuk dipilih salah satu sebagai istri Dretarastra. Kakaknya
itu memilih Gendari yang diramalkannya akan memberinya banyak putra.
Perkawinan tersebut memang melahirkan seratus orang anak, yang dikenal
dengan nama Korawa.
Karena menyandang cacad fisik, takhta
Hastina pun diserahkan kepada Pandu, sedangkan Abyasa yang bertindak
sebagai raja sementara kembali ke pertapaannya di Saptaarga. Sementara
itu, Dretarastra diangkat sebagai adipati (raja bawahan) di daerah Gajah
Oya, sedangkan Widura di Pagombakan.
Sakuni atau Sangkuni, adalah kakak dari
Gandari sehingga merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Mereka
berasal dari Kerajaan Gandhara. Ayah Sakuni bernama Suwala. Pada suatu
hari adik perempuannya Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri
Dretarastra, seorang pangeran dari Hastinapura yang menderita tunanetra.
Sangkuni marah atas keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut.
Menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra.
Namun karena semuanya sudah terjadi, ia
pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di istana Hastinapura.
Sakuni dikatakan sebagai reinkarnasi dari Dwapara sedangkan Duryodana
reinkarnasi dari Kali, yaitu sejenis dewa yang bertugas menciptakan
kekacauan di muka bumi.
Versi Jawa
Dalam pewayangan, terutama di Jawa,
Sangkuni bukan kakak dari Gandari, melainkan adiknya. Sementara itu
Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama
kakak tertua mereka.
Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar
bernama Suwala. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya
yang bernama Gandara. Pada suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya,
yaitu Gandari dan Suman, berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk
mengikuti sayembara memperebutkan Kunti, putri negeri tersebut.
Di tengah jalan, rombongan Gandara
berpapasan dengan Pandu yang sedang dalam perjalanan pulang menuju
Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun
terjadi. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa
serta Gandari dan Suman menuju Hastina.
Sesampainya di Hastina, Gandari diminta
oleh kakak Pandu yang bernama Dretarastra untuk dijadikan istri. Gandari
sangat marah karena ia sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun
berjanji akan selalu membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya.
Ia bertekad akan menciptakan permusuhan di antara para Korawa, anak-anak
Dretarastra, melawan para Pandawa, anak-anak Pandu.
Pada suatu hari Suman berhasil mengadu
domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama
Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan
Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta
perdamaian. Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih
mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan
Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan
cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.
Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.
Suman kemudian kembali ke Hastina untuk
melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh.
Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat
Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup
muncul dan menyeret Suman. Suman dihajar habis-habisan sehingga wujudnya
yang tampan berubah menjadi jelek.
Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan
sebutan Sangkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna “dari
ucapan”. Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil
ucapannya sendiri.
Setelah Pandu meninggal dunia, pusakanya
yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Dretarastra supaya kelak
diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa. Minyak Tala
sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah karena Pandu
pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya.
Beberapa tahun kemudian, terjadi
perebutan antara para Pandawa melawan para Korawa yang ternyata juga
menginginkan Minyak Tala. Dretarastra memutuskan untuk melemparkan
minyak tersebut beserta wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya.
Pandawa dan Korawa segera berpencar untuk bersiap menangkapnya.
Namun, Sangkuni dengan licik lebih dahulu
menyenggol tangan Dretarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut.
Akibatnya, sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sangkuni segera membuka
semua pakaian dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya
dengan minyak tersebut.
Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak
Tala jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Korawa
tidak mampu mengambilnya. Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama
Drona yang berhasil mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik
melihat kesaktiannya, para korawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta
tersebut.
Sangkuni yang telah bermandikan Minyak
Tala sejak saat itu mendapati seluruh kulitnya kebal terhadap segala
jenis senjata. Meskipun ilmu bela dirinya rendah, namun tidak ada satu
pun senjata yang mampu menembus kulitnya.
Widura adalah adik tiri Pandu dan
Dretarasta karena memiliki ayah yang sama, tetapi lain ibu. Diceritakan
bahwa pada saat Ambalika diminta untuk menghadap Resi Byasa untuk
memperoleh keturunan, ia menolak karena merasa takut dengan raut wajah
sang resi yang sangat dahsyat. Demi memenuhi permintaan mertuanya, yaitu
Satyawati, Ambalika mengirimkan seorang pelayan untuk menemui Resi
Byasa sendirian di dalam sebuah kamar. Pelayan tersebut melayani sang
resi dengan baik sehingga sang resi berkata bahwa kelak anak yang akan
dilahirkan dari rahim pelayan tersebut akan berperilaku mulia. Resi
Byasa juga berkata bahwa anak yang akan dilahirkan sang pelayan
merupakan penjelmaan Dewa Dharma. Namun satu hal yang membuat Satawati
kecewa yakni putera tersebut bukanlah keturunan menantunya, melainkan
keturunan seorang pelayan.
Saat Widura masih muda, ia belajar di
bawah bimbingan Bisma bersama dengan kedua orang saudaranya. Menurut
MahaBharata, ia paling bijaksana jika dibandingkan dengan
saudara-saudaranya. Ia belajar menjadi menteri raja, sementara Pandu
diangkat menjadi panglima perang, sedangkan Dretarastra dipilih sebagai
putera mahkota. Karena Dretarastra buta, Pandu menggantikannya dan
memerintah atas nama Dretarastra, sedangkan Widura menjadi penasihat
raja dan menemani Dretarastra.
Widura merupakan orang yang tanggap
ketika timbul niat jahat di hati Dretarastra dan Duryodana untuk
menyingkirkan para Pandawa. Maka sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata
untuk berlibur, Widura memperingati Yudistira agar berhati-hati
terhadap para Korawa dan ayah mereka, yaitu Dretarastra. Saat
keselamatan para Pandawa dan ibunya terancam di Waranawata, berkali-kali
Widura mengirimkan pesuruh untuk membantu para Pandawa meloloskan diri
dari setiap bencana yang menimpanya.
Dalam pertikaian antara Korawa dan
Pandawa mengenai masalah Hastinapura, Widura telah berusaha untuk
mendamaikannya, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah satu keluarga
dan saudara. Dalam usahanya mencari perdamaian ia menghubungi
sesepuh-sesepuh Pandawa dan Korawa, antara lain Resi Bisma, Resi Drona,
Prabu Dretarasta, Sri Kresna, Yudistira dan Duryodana serta menyatakan
bahwa ialah yang menulis piagam penyerahan Hastinapura dari Resi Byasa
(Abiyasa) kepada Prabu Dretarasta sebagai pemangku kerajaan setelah
Prabu Pandudewanata mangkat. Ketika perang di Kurukshetra berkecamuk,
Widura tetap tinggal di Hastinapura meskipun ia tidak memihak para
Korawa.
Versi Jawa
Widura sering pula disebut dengan nama
Yamawidura. Ia berkedudukan sebagai adipati Pagombakan, yaitu sebuah
negeri kecil bawahan Hastina. Widura merupakan putra ketiga Abyasa yang
lahir dari dayang bernama Datri. Abyasa kemudian diperintah ibunya
(Durgandini) untuk “berhubungan” dengan Ambalika sekali lagi. Ambalika
memerintahkan dayangnya yang bernama Datri supaya menyemar sebagai
dirinya. Ternyata Datri juga ketakutan saat bertemu dengan Abyasa. Ia
mencoba lari ke luar kamar. Akibatnya, Datri pun melahirkan bayi berkaki
pincang, yang diberi nama Widura.
Widura menikah dengan Padmarini, putri
Dipacandra dari Pagombakan, bawahan negeri Hastina. Widura kemudian
menggantikan kedudukan Dipacandra sepeninggal mertuanya itu. Yang
menjabat sebagai patih di Pagombakan adalah Jayasemedi. Widura memiliki
putra bernama Sanjaya yang menjadi juru penuntun Dretarastra. Sementara
itu, dalam versi aslinya, antara Widura dengan Sanjaya sama sekali tidak
terdapat hubungan darah.
Sepeninggal Pandu, kelima putranya yang
disebut Pandawa tidak menetap di istana Hastina, melainkan tinggal
bersama Widura di Pagombakan. Widura berhasil mendidik kelima
keponakannya itu menjadi manusia-manusia utama. Dalam dunia politik,
Widura bermusuhan dengan Sangkuni, adik ipar Dretarastra yang berpangkat
patih. Sangkuni sendiri menanamkan kebencian di hati para keponakannya,
yaitu Korawa untuk membenci Pandawa sejak kecil.
Ketika Pandawa hendak diserahi takhta
Hastina warisan Pandu, mereka terlebih dulu dijebak oleh para Korawa
dalam Balai Sigala-gala yang dibakar. Namun, karena Widura membangun
terowongan rahasia di bawah gedung tersebut, Pandawa dan ibunya, yaitu
Kunti berhasil meloloskan diri dari maut.
Widura berusia sangat panjang. Sementara
itu putranya, yaitu Sanjaya gugur dalam perang Bharatayuda melawan
Karna. Widura meninggal dunia saat bertapa di dalam hutan, ketika
Pandawa telah berhasil mendapatkan kembali kekuasaan atas negeri Hastina
pasca tertumpasnya Korawa.
Basudewa mempunyai adik dua orang. Yang
perempuan adalah Kunti (Ibu Pandawa) dan yang lelaki adalah Srutadewa
atau Srutasrawas (Ayah dari Sisupala, yang kemudian menjadi musuh
bebuyutan Kresna dan terbunuh oleh Krisna saat upacara Rajasurya di
Istana Indraprasta yang diselenggarakan oleh Yudistira).
Mereka termasuk ke dalam wangsa Yadawa
(nenek moyang mereka adalah Yadu atau kadang juga disebut Surasena,
karena ada leluhur mereka yang juga terkemuka namanya). Termasuk bangsa
Yadawa adalah wangsa Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Wrêsni adalah seorang
keturunan Yadu dalam Wangsa Yadawa. Wresni lahir sebagai putera sulung
Maharaja Madhu dari generasi ke-19 keturunan Yadu, sang putera Yayati.
Wangsa Wresni adalah keturunan Wresni. Kresna masuk ke dalam percabangan
Chandrawangsa keturunan Wresni dan dari sanalah ia mendapat nama
Warshneya. Rakyat Dwaraka dikenal sebagai Wangsa Wresni. Ibukota
wangsa-wangsa ini adalah Mathura yang dipimpin oleh Ugrasena.
Dalam Bhagawata Purana dikisahkan, ada
seorang rakshasa yang terbang di atas kota Mathura dan terpesona melihat
Padmawati istri Ugrasena yang cantik luar biasa. Raksasa itu kemudian
menjelma menjadi Ugrasena dan bersetubuh dengan Padmawati. Dari hubungan
itu lahirlah Kamsa. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kenyataan
ini, termasuk Kamsa sendiri.
Kamsa mempunyai dua orang kepercayaan
yaitu Banasura, yang sering menganjurkan untuk merebut tahta. Canur,
yang menyarankan agar Kamsa menikahi dua orang puteri Jarasanda raja
Kerajaan Magadha, yang juga sahabat Banasura. Nama kedua putri itu
adalah Asti dan Prapti. Kamsa akhirnya menantu dan sekutu Jarasanda.
Pasukan Magadha yang dikirim Jarasanda untuk mengawal kedua putri
digunakan Kamsa untuk memaksa Ugrasena turun dari takhta Mathura.
Ugrasena kemudian dijebloskan ke dalam penjara istana. Kamsa mewarisi
tahta Mathura setelah menjebloskan ayahnya, yaitu Raja Ugrasena ke
Penjara.
Kamsa memiliki sepupu bernama Dewaki yang
dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Dewaki menikah dengan
Basudewa dan pernikahan mereka dirayakan secara meriah oleh Kamsa.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit bahwa kelak Kamsa akan mati di
tangan anak Dewaki. Sebelumnya Basudewatelah mempunyai Istri bernama
Rohini
Karena takut ramalan itu menjadi
kenyataan, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara Setelah itu
setiap Dewaki melahirkan anak Ia ambil dan bunuh jabang bayi tersebut.
Sudah 6 anak Dewaki tewas di bunuh oleh kakak kandungnya.
Di saat kehamilan Dewaki yang ke 7, Janin
yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini, istri pertama
Basudewa, yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu,
Baladewa disebut pula Sankarsana yang berarti “pemindahan janin”.
Balarama berkulit putih,
Di saat kehamilan Dewaki yang ke 8. Para
Dewa membuat semua penjaga penjara tertidur, pintu penjara terbuka dan
Basudewa dengan mudah diseundupkan keluar keluar dan dititipkan kepada
kepada Yasoda dan Nanda atau Nadagopa di Gokula, Mahavana. Setelah itu,
Basudewa membawa bayi perempuan anak Nandagopa kembali ke penjara. Esok
paginya, Kamsa datang ke penjara untuk membunuh bayi Dewaki yang baru
lahir. Ketika melihat bayi tersebut ternyata perempuan, ia pun merasa
menang atas ramalan dewata. Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun
3228 SM. Krisna artinya “hitam” atau “gelap” Ia berkulit warna kulit
gelap bersemu biru langit [Brahma Samhita 5.30].
Setelah Balarama dan Krisna Lahir, Akhirnya Rohini mempunyai anak sendiri, perempuan yang bernama Subadra, Ia berkulit Putih
Bayi yang dilahirkan oleh Rohini dan
Dewaki masing-masing tumbuh menjadi pemuda bernama Balarama dan Kresna.
Keduanya dibesarkan oleh pasangan Nandagopa dan Yasoda di lingkungan
pedesaan. Kamsa akhirnya mengetahui keberadaan keduanya. Mereka pun
diundang ke Mathura untuk menghadiri pesta perayaan. Ketika keduanya
tiba di Mathura, Kamsa mencoba untuk membunuh mereka. Namun ramalan
dewata benar-benar menjadi kenyataan. Dalam sebuah perkelahian, justru
Kresna yang berhasil membunuh Kamsa.
Versi Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Kamsa dieja dengan
sebutan Kangsa, dan merupakan anak Basudewa raja Kerajaan Mandura.
Adapun Ugrasena versi Jawa bukanlah mertua Basudewa, melainkan adik
bungsunya. Dikisahkan, Basudewa memiliki empat orang istri, yaitu
Mahira, Rohini, Dewaki, dan Badraini. Suatu hari ketika Basudewa berburu
di hutan, muncul seorang raja raksasa dari Kerajaan Guargra, bernama
Gorawangsa yang menyamar sebagai dirinya dan bersetubuh dengan Mahira.
Hal ini diketahui oleh Rukma adik Basudewa. Gorawangsa pun dibunuhnya.
Basudewa yang mendengar laporan Rukma
segera membuang Mahira ke hutan. Di sana ia melahirkan Kangsa dengan
bantuan seorang pendeta raksasa bernama Anggawangsa. Mahira sendiri
kemudian meninggal dunia. Bayi Kangsa diubah menjadi dewasa dalam
sekejap oleh Anggawangsa. Kangsa kemudian mendatangi Basudewa di Mandura
untuk minta diakui sebagai anak. Kebetulan saat itu Mandura diserang
oleh Suratrimantra adik Gorawangsa yang ingin menuntut balas. Kangsa
berhasil mengalahkan Suratrimantra dan mendapat pengakuan dari Basudewa.
Basudewa yang cemas melihat ambisi dan
kesaktian Kangsa memutuskan untuk menitipkan anak-anaknya, yaitu
Baladewa, Kresna, dan Subadra kepada pembantunya yang tinggal di desa
Widarakandang, bernama Antagopa dan Sagopi.
Sementara itu, Kangsa telah diberi
kedudukan sebagai adipati di Sengkapura oleh Basudewa. Suratrimantra
yang kini mengabdi sebagai patih memberi tahu Kangsa bahwa ia sebenarnya
adalah anak kandung Gorawangsa. Kangsa pun memutuskan untuk merebut
takhta dari tangan Basudewa.
Kangsa juga mengetahui kalau anak-anak
Basudewa disembunyikan di Widarakandang. Ia mengirim prajurit untuk
membunuh mereka. Namun karena tidak ada, yang jadi sasaran adalah
Antagopa, yang ditangkap dan dibawa ke tempat Kangsa. Sedangkan Sagopi
dan Subadra berhasil meloloskan diri. Sagopi dan Subadra yang dikejar
prajurit Kangsa berhasil diselamatkan oleh Arjuna keponakan Basudewa.
Mereka juga bertemu Baladewa dan Kresna yang masing-masing baru saja
berguru ilmu kesaktian. Bersama-sama mereka menuju tempat Kangsa untuk
membebaskan Antagopa.
Kangsa sendiri menantang Basudewa untuk
mengadu jago. Jika jagoan Basudewa kalah, ia harus menyerahkan takhta
Mandura kepada Kangsa. Jagoan Kangsa tidak lain adalah Suratrimantra,
sementara jagoan Basudewa adalah Bimasena, kakak Arjuna.
Dalam pertandingan di atas panggung, Bima
berhasil mengalahkan Suratrimantra. Namun begitu melihat Baladewa
datang, Suratrimantra segera turun untuk membunuhnya. Baladewa dengan
cepat lebih dulu membunuh raksasa itu.
Melihat kematian pamannya, Kangsa segera
menangkap Baladewa. Kresna mencoba menolong tapi ikut tertangkap pula.
Keduanya dicekik sampai lemas. Untuk menolong kedua kakaknya, Subadra
berdiri di hadapan Kangsa. Kangsa pun terpesona sehingga lengah. Arjuna
pun memanah dadanya, sehingga Baladewa dan Kresna pun terlepas. Pada
saat itulah Baladewa dan Kresna bangkit menyerang Kangsa dengan senjata
masing-masing. Kangsa pun tewas. Peristiwa ini dalam pewayangan dikenal
dengan kisah Kangsa Adu Jago.
Kangsa meninggalkan gada yang sangat
berat bernama Rujakpolo dan tidak ada seorang pun yang bisa
memindahkannya, kecuali Bimasena. Oleh karena itu, gada pusaka tersebut
kemudian menjadi milik Bima.
Baladewa atau Balarama, disebut juga
Balabhadra dan Halayudha, adalah kakak dari Kresna. Dalam filsafat
Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India selatan, ia dipuja
sebagai awatara keenam dari Maha Awatara dan termasuk salah satu dari 25
awatara dalam Purana. Menurut filsafat Waisnawa dan beberapa pandangan
umat Hindu, ia merupakan manifestasi dari Sesa, ular suci yang menjadi
ranjang Dewa Wisnu. Baladewa dipuja bersama Sri Kresna sebagai
kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa dan dalam pemujaan mereka sering
disebut “Krishna-Balarama”. Di penitisan Wisnu sebelumnya yaitu Rama,
maka Baladewa adalah Laksmana. Pada zaman Kali, beliau menitis sebagai
Nityananda, sahabat Sri Caitanya.
Nanda, Ayah tiri Krisna mengundang Resi
(muni) Garga, untuk memberikan nama kepada Kresna dan Baladewa. Upacara
itu dilakukan secara rahasia agar tidak diketahui dan dicurigai Kamsa.
“Karena Balarama, putera Rohini, mampu
menambah pelbagai berkah, namanya Rama, dan karena kekuatannya yang luar
biasa, ia dipanggil Baladewa. Ia mampu menarik Wangsa Yadu untuk
mengikuti perintahnya, maka dari itu namanya Sankarshana’-
[Bhagawatapurana, 10.8.12]
Pada masa kecilnya, ia bernama Rama.
Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama
yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya
sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia
menikah dengan Rewati, puteri Raiwata dari Anarta.
Baladewa bersenjata bajak dan gada. Ia
yang mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang
di Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Namun, ketika Bima hendak
membunuh Duryodana, ia mengancam akan membunuh Bima. Kresna kemudian
menyadarkan Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah
kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan
Baladewa akan segala prilaku buruk Duryodana.
Versi Jawa
Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama
Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Madura dengan
permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya,
dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng,
puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga
mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa
dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah
menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah
dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau
Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh
dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik
darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan
gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai
dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian
Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam
banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna
hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Pada perang Bharatayuddha sebenarnya
prabu Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau
tidak ikut namun sebaliknya bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air
Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang
Bharatayuddha, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara
gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya
nanti Bharatayuddha terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di
Grojogan Sewu terjadilah perang Bharatayuddha. Jika Baladewa turut
serta, pasti para Pandawa kalah, karena Baladewa sangatlah sakti.
Baladewa ada yang mengatakan sebgai
titisan daripada naga sementara yang lainya meyakini sebagai titisan
Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah
selesai perang Bharatayudha, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu
Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya
atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah
punahnya seluruh Wangsa Wresni.
Krishna, Adik dari Balarama disebut pula
Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang
berlengan empat di Waikuntha. Nama lain dari Krisna adalah Achyuta (yang
tak pernah gagal), Arisudana (penghancur musuh), Bhagavān (kepribadian
Yang Maha Esa), Gopāla (Pengembala sapi), Govinda (Pemberi kebahagiaan
pada indria-indria), Hrishikesa (penguasa indria), Janardana (juru
selamat), Kesava (yang berambut indah), Kesinishūdana (pembunuh raksasa
Kesin), Mādhava (suami Dewi Laksmi), Madhusūdana (penakluk raksasa
Madhu), Mahābāhu (yang berlengan perkasa), Mahāyogi, Purushottama
(Manusia utama, awal mula), Varshneya (keturunan wangsa Wresni),
Vāsudeva (putera Basudewa), Vishnu , Yādava (keturunan dinasti Yadu),
Yogesvara (Penguasa segala kekuatan batin)
“Dewa Brahma memberitahu para Dewa:
Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar
terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun
ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri
sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian
untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa
Yadu”.- [Bhagavata Purana 10.1.22]
Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang
kedelapan. Wisnu dianggap sebagai Awal dari semua Reinkarnasi [Bhagavata
Purana 10.1.22]. Kemahakuasaan Tuhan sewaktu Perang di Kurukhsetra
disaksikan oleh tiga orang yaitu: Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun
Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata
batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha. Berikut kutipan dari
BhagavadGita yang menggambarkan siapa Krisna:
Kutipan Terjemahan
yadā yadā hi dharmasya, glānir bhavati bhārata, abhyutthānam adharmasya tadātmanaṁ sṛjāmy aham
Kapan pun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu Aku turun menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna)
paritrāṇāya sādhūnāṁ, vināśāyā ca
duṣkṛtām, dharma-saṁsthāpanārthāẏa, sambhavāmi yuge yuge Untuk
menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat, dan menegakkan
kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman
aham ātmā guḍākeśa sarva-bhūtāśaya-sthitaḥ, aham ādiś ca madhyaṁ ca bhūtānām anta eva ca
O Arjuna, Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua
makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan dan akhir semua makhluk
purodhasāṁ ca mukhyaṁ māṁ viddhi pārtha
bṛhaspatim, senāninām ahaṁ skandaḥ, sarasām asmi sāgaraḥ Wahai Arjuna,
di antara semua pendeta, ketahuilah bahwa Aku adalah Brihaspati,
pemimpinnya. Di antara para panglima, Aku adalah Kartikeya, dan di
antara segala sumber air, Aku adalah lautan
prahlādaś cāsmi daityānāṁ, kālaḥ kalayatām aham mṛgāṇāṁ ca mṛgendro ‘haṁ vainateyaś ca pakṣiṇām
Di antara para Detya, Aku adalah Prahlada, yang berbakti dengan setia.
Di antara segala penakluk, Aku adalah waktu. Di antara segala hewan, Aku
adalah singa, dan di antara para burung, Aku adalah Garuda.
dyūtaṁ chalayatām asmi tejas tejasvinām
aham jayo ‘smi vyavasāyo ‘smi sattvaṁsattvavatām aham Di antara segala
penipu, Aku adalah penjudi. Aku adalah kemulian dari segala sesuatu yang
mulia. Aku adalah kejayaan, Aku adalah petualangan, dan Aku adalah
kekuatan orang yang kuat
vṛṣṇīnāṁ vāsudevo ‘smi pāṇḍavānām dhanañjayaḥ, munīnām apy ahaṁ
vyāsaḥkavīnām uśanā kaviḥ Di antara keturunan Wresni, Aku ini Kresna. Di
antara Panca Pandawa, Aku adalah Arjuna. Di antara para Resi, Aku
adalah Wyasa. Di antara para ahli pikir yang mulia, aku adalah Usana.
Ayah angkat Krisna adalah Nanda merupakan
pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di
Vrindavana. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus
mengirimkan raksasa (seperti misalnya Agasura) untuk membinasakannya.
Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya,
Baladewa. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna
terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi
(pengembala perempuan) di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan
permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila.
Kresna yang masih muda kembali ke
Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus
membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa,
Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di
kerajaan tersebut. Lokasi dimana Kresna adalah India Utara, yang mana
sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana,
Delhi, dan Gujarat. Kerajaan Kuru, tempat saudara sepupunya (Pandawa)
tinggal di sisi lain Yamuna.
Setelah Krisna membunuh Kamsa, ayah
mertua Kamsa yaitu Jarasanda memupuk kebencian pada Kresna dan berambisi
untuk membunuhnya. Melihat kondisi menyedihkan yang terjadi kepada dua
puterinya yang menjadi janda, Jarasanda bersumpah akan menyerang Mathura
dan merebut kerajaan tersebut.
Jarasanda, ayah mertua Kamsa, menyerang
Mathura dengan pasukan besar; dan walaupun Kresna menghancurkan pasukan
raksasa tersebut, asura yang lain, Kalayawan namanya, juga mengepung
Mathura dengan pasukan lain yang berjumlah tiga juta setan ganas.
Kemudian Kresna berpikir bahwa lebih baik mereka mengungsi ke Dwaraka.
(di masa sekarang disebut Gujarat).
Versi Buddhis, Sutta pitaka, Jataka no 454, Ghata Jataka, yang merupakan kisah kehidupan sebelumnya dari Sang Buddha
Dahulu kala, seorang raja yang bernama
Mahakansa berkuasa di Uttarāpatha, di wilayah Kaṃsa dalam kota
Asitañjanā. Ia mempunyai dua anak laki-laki, Kaṃsa dan Upakaṃsa, dan
satu anak perempuan yang bernama Devagabbhā. Di hari ulang tahun
putrinya, para brahmana meramalkan kejadian masa depannya: “Anak
laki-laki yang dilahirkan oleh wanita ini suatu hari akan menghancurkan
negeri ini dan garis keturunan Kaṃsa.”
Raja sangat menyayangi putrinya sehingga
tidak tega untuk membunuhnya, ia membiarkan saudara-saudaranya yang
mengatasi masalah ramalan ini, menjalani sisa hidupnya dan kemudian
meninggal. Setelah ia meninggal, Kaṃsa menjadi raja dan Upakaṃsa menjadi
wakil raja. Mereka berdua berpikir bahwa akan terjadi protes keras bila
mereka membunuh saudara perempuannya, jadi mereka memutuskan untuk
tidak menikahkan dirinya kepada pemuda manapun, dan agar rencana ini
dapat berjalan dan dapat diawasi, mereka membangun sebuah menara untuk
ia tinggal.
Putri tersebut mempunyai seorang pelayan
wanita yang bernama Nandagopā, dan suami pelayan wanita tersebut
Andhakaveṇhu, yang bertugas menjaganya. Pada waktu itu seorang raja yang
bernama Mahāsāgara berkuasa di Upper Madhurā, dan ia mempunyai dua
orang putra, Sāgara dan Upasāgara.
Setelah ayah mereka meninggal, Sāgara
menjadi raja dan Upasāgara menjadi wakil raja. Pemuda ini adalah teman
dari Upakaṃsa, besar bersama dengannya dan diajar oleh guru yang sama
pula. Akan tetapi ia memiliki hubungan gelap dengan istri abangnya, dan
melarikan diri ke wilayah Kaṃsa mencari Upakaṃsa sewaktu hubungannya itu
diketahui oleh abangnya.
Upakaṃsa memperkenalkannya kepada Kaṃsa,
dan raja memberikannya kedudukan yang tinggi di sana. Di masa Upasāgara
melayani raja, ia mengamati menara tempat Devagabhā. Di saat bertanya
siapa gerangan yang tinggal di dalam menara tersebut, ia mengetahui
tentang ceritanya dan menjadi jatuh cinta kepada wanita tersebut.
Pada suatu hari, Devagabhā melihatnya
ketika ia berangkat dengan Upakaṃsa untuk menjumpai raja. Ia bertanya
kepada Nandagopā siapa pemuda itu, dan sewaktu diberitahu bahwa itu
adalah Upasāgara, putra dari raja agung Sāgara, ia juga menjadi jatuh
cinta kepadanya.
Upasāgara memberikan sesuatu kepada Nandagopā sambil berkata, “Saudari, Anda dapat mengatur pertemuanku dengan Devagabhā.”
Nandagopā berkata, “Cukup mudah,” dan ia
pun memberitahukan putri tentang hal ini. Putri yang memang sudah jatuh
cinta kepadanya langsung menyetujuinya. Suatu malam Nandagopā mengatur
sebuah janji pertemuan, dan membawa Upasāgara masuk ke dalam menara
tersebut; di sana ia tinggal berdua dengan Devagabhā.
Dikarenakan hubungan intim terus menerus
yang dilakukan mereka, Devagabhā menjadi hamil. Keadaan ini pun segera
diketahui dan kedua saudara laki-lakinya bertanya kepada Nandagopā. Ia
membuat mereka berjanji memaafkannya terlebih dahulu, kemudian
menceritakan seluk beluk masalah tersebut.
Setelah mendengar ceritanya, mereka
berpikir, “Kita tidak mungkin membunuh adik. Bila ia melahirkan seorang
anak perempuan, kita biarkan ia hidup; tetapi bila ia melahirkan seorang
anak laki-laki, kita akan membunuhnya.”
Dan mereka pun menjadikan Devagabhā
sebagai istri dari Upasāgara. Di saat tiba waktunya, ia melahirkan
seorang anak perempuan. Kedua saudara laki-lakinya merasa senang sewaktu
mendengar kabar ini, dan memberinya nama Putri Añjanā.
Mereka juga memberikan sebuah desa kepada
adiknya sebagai tempat tinggal, yang disebut Govaḍḍhamāna. Upasāgara
membawa Devagabhā tinggal bersama di desa tersebut. Tidak lama kemudian
Devagabhā hamil lagi, dan Nandagopā juga mengandung.
Di saat waktunya tiba, mereka melahirkan
anak pada waktu yang sama, Devagabhā melahirkan seorang putra dan
Nandagopā melahirkan seorang putri. Tetapi Devagabhā yang merasa takut
anak laki-lakinya itu akan dibunuh, mengirimnya kepada Nandagopā dan
mengambil anak perempuan Nandagopā sebagai anaknya. Mereka
memberitahukan kedua saudara laki-lakinya tentang kelahiran tersebut.
“Putra atau putri?” tanya mereka.
“Putri,” jawabnya.
“Kalau begitu, besarkanlah anak
tersebut,” kata dua saudara itu. Dengan cara yang sama Devagabhā
melahirkan sepuluh orang putra dan Nandagopā melahirkan supuluh orang
putri. Semua putra tersebut tinggal dengan Nandagopā dan semua putri
tersebut tinggal dengan Devagabhā. Tidak ada seorang pun yang mengetahui
rahasia ini.
Putra sulung Devagabhā diberi nama
Vāsu-deva, yang kedua Baladeva, ketiga Canda-deva, keempat Suriya-deva,
kelima Aggi-deva, keenam Varuṇa-deva, ketujuh Ajjuna, kedelapan Pajjuna,
kesembilan Ghata-paṇḍita, dan yang kesepuluh Aṁkura.
Mereka terkenal sebagai sepuluh putra
dari Andhakaveṇhu si pelayan, Sepuluh Saudara Laki-laki. Seiring
berjalannya waktu mereka menjadi tumbuh dewasa, kuat, kejam dan ganas.
Mereka berkeliaran merampas barang milik orang lain, mereka bahkan
merampas barang yang akan diberikan kepada raja. Orang-orang datang
berbondong-bondong ke halaman istana raja sambil mengeluhkan,
“Putra-putra Andhakaveṇhu, Sepuluh Saudara Laki-laki merampas seisi
desa!”
Maka raja menyuruh pengawal untuk membawa
Andhakaveṇhu dan mengecamnya karena membiarkan anak-anaknya melakukan
perampasan. Tiga atau empat kali dibuat keluhan ini dengan cara yang
sama, dan raja mulai mengancam dirinya.
Andhakaveṇhu merasa takut kehidupannya
yang aman itu akan hilang, memberitahukan rahasianya, bahwasannya mereka
itu bukan putra-putranya, melainkan putra-putra dari Upasāgara. Raja
menjadi terkejut.
“Bagaimana kita dapat melawan mereka?” ia bertanya kepada para menteri di istananya.
Mereka menjawab, “Paduka, mereka adalah
pegulat. Mari kita adakan sebuah pertandingan gulat di kota, dan ketika
mereka masuk ke dalam arena, kita tangkap dan bunuh mereka.”
Maka mereka pun memanggil dua orang
pegulat Muṭṭhika, dan membuat pengumuman di seluruh kota dengan
membunyikan drum, ”bahwasannya akan ada pertandingan gulat di hari
ketujuh.”
Arena pertandingan itu disiapkan di depan
istana raja; dibuat pagar untuk pertandingan tersebut, arenanya dihiasi
dengan indah, bendera-bendera kemenangan disiapkan. Seluruh isi kota
sangat berantusias, baris demi baris tempat duduk
penuh, deret demi deret juga.
Cānura dan Muṭṭhika masuk ke dalam arena
dan berkeliling di dalamnya dengan sombong, melompat-lompat, berteriak,
menepuk tangan mereka. Sepuluh Saudara tersebut datang juga.
Sebelumnya di dalam perjalanan, mereka
merampas pakaian tukang cuci dan mengambil jubah yang berwarna cerah,
dan mencuri minyak wangi dari toko, kalung bunga dari toko bunga; dengan
tubuh mereka yang telah diberi wewangian, kalung bunga di kepala,
anting-anting di telinga, mereka berjalan masuk dengan sombong ke dalam
arena, melompat-lompat, berteriak, dan menepuk tangan mereka.
Pada waktu itu, Cānura jalan mengitari
dan menepuk tangannya. Baladeva yang melihatnya, berpikir, “Saya tidak
akan menyentuh orang yang ada di sana dengan tanganku!” maka dengan
mengambil sabuk dari dalam kandang gajah, sambil melompat dan berteriak,
ia melemparkannya di sekeliling perut Cānura dan mengikat kedua ujung
sabuk tersebut, memegangnya dengan ketat, kemudian mengangkatnya,
memutarnya di atas kepala, dan mencampakkannya ke tanah dengan kuat
sampai keluar dari arena.
Setelah Cānura mati, raja mengeluarkan
Muṭṭhika. Muṭṭhika naik ke dalam arena, melompat-lompat, berteriak dan
menepuk tangannya. Baladeva menghantamnya dan menusuk matanya; dan di
saat ia berteriak—“Saya bukan seorang pegulat! Saya bukan seorang
pegulat!” Baladeva mengunci tangannya sambil berkata, “Pegulat atau
bukan, tidak ada bedanya bagiku,” dan dengan kuat mencampakkannya ke
tanah, membunuhnya dan melemparnya keluar dari arena.
Muṭṭhika di saat menjelang kematiannya,
mengucapkan sebuah permohonan—“Semoga nantinya saya menjadi yakkha dan
memakan dirinya!” Dan ia pun menjadi yakkha di sebuah hutan yang dikenal
dengan nama Kāḷamattiya.
Raja berkata, “Bawa pergi Sepuluh Saudara
tersebut.” Pada saat itu juga, Vāsudeva melemparkan sebuah senjata roda
[cakra] yang menjerat putus kepala dari dua bersaudara [Raja dan
saudaranya] itu. Kerumunan orang yang melihat ini menjadi ketakutan,
berlutut, dan memintanya menjadi pelindung mereka.
Demikianlah Sepuluh Saudara itu menguasai
kota Asitañjanā setelah membunuh kedua paman mereka sendiri, dan
membawa orang tuanya pindah ke sana. Kemudian mereka pergi ke luar dari
istana dengan tujuan menguasai seluruh India.
Tidak berapa lama berjalan, mereka tiba
di kota Ayojjhā, tempat kekuasaan raja Kāḷasena. Mereka mengitari kota
ini dan menghancurkan pepohonan di sekitarnya, merobohkan dinding dan
menawan raja, serta mengambil alih kedaulatan dari tempat itu.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke
Dvāravatī. Kota ini berbatasan dengan laut di satu sisi dan di sisi
yang lain adalah pegunungan. Dikatakan bahwa tempat itu ada yakkha-nya.
Sang yakkha berjaga-jaga di sana, dan di saat melihat musuh datang, akan
mengubah wujudnya menjadi seekor keledai dan mengeluarkan suara
ringkikan keledai.
Segera, kota itu berada melayang di udara
dan menempatkan dirinya di pulau yang ada di tengah laut tersebut
dengan kekuatan gaib sang yakkha itu; dan di saat musuh telah pergi,
kota itu akan kembali ke tempat semulanya. Kali ini sama seperti
biasanya, di saat keledai melihat kedatangan Sepuluh Saudara, ia
mengeluarkan suara ringkikan keledai. Kota itupun langsung melayang di
udara dan pindah ke pulau di tengah laut itu. Mereka tidak melihat kota
apapun dan kembali. Kemudian kota itu kembali ke tempat semulanya.
Mereka berbalik kembali—keledai itu juga mengucapkan hal yang sama
seperti sebelumnya.
Kedaulatan di kota Dvāravatī tidak dapat mereka ambil alih. Maka mereka pergi mengunjungi Kaṇha-dipāyana dan berkata:
“Tuan, kami gagal mengambil alih kerajaan Dvāravatī. Beritahu kami cara untuk menaklukkannya.”
Ia berkata, “Di dalam saluran air, di
dalam sebuah tempat seperti itu, ada seekor keledai yang berjaga. Ia
meringkik di saat melihat musuh, dan kota itu dengan cepat akan melayang
di udara. Kalian harus bersujud di kakinya, itulah caranya untuk
menaklukkannya.”
Kemudian mereka pamit kepada petapa
tersebut dan pergi menjumpai keledai itu. Dengan bersujud kepadanya,
mereka berkata, “Tuan, hanya Anda yang dapat membantu kami! Di saat kami
datang untuk mengambil alih kota, mohon Anda jangan mengeluarkan suara
ringkikan!”
Keledai itu menjawab, “Saya tidak dapat
menahan suara ringkikanku. Akan tetapi, jika empat dari kalian datang
dengan membawa bajak besi yang besar dan menggali lubang untuk tempat
tonggak besi di keempat pintu gerbang kota kemudian mengaitkan rantai
besi yang diikatkan ke bajak tadi pada tiang itu, ia tidak akan dapat
melayang di udara.”
Mereka berterima kasih kepada keledai
tersebut; dan ia tidak mengeluarkan suara ringkikan di saat mereka
mengambil bajak dan meletakkan tiang di dalam lubang yang dibuat di
empat pintu gerbang kota, kemudian ia berdiri sambil menunggu. Tidak
lama setelah itu, keledai tersebut meringkik dan kota tersebut mulai
melayang. Tetapi mereka yang berdiri di keempat gerbang masing-masing
dengan bajak besi yang terikat dengan rantai besi yang dikaitkan ke
tiang, membuat kota tersebut tidak dapat melayang di udara.
Saat itu juga, Sepuluh Saudara tersebut
masuk ke dalam kota, membunuh rajanya dan mengambil alih kerajaan.
Demikian caranya mereka menaklukkan seluruh India, dan di tiga ratus
enam puluh ribukota mereka membunuh para rajanya dengan senjata cakra.
Dan akhirnya mereka tinggal di Dvāravatī,
dengan membagi kerajaannya menjadi sepuluh bagian, tetapi mereka
melupakan adik perempuannya, Putri Añjanā. Maka mereka berkata, “Mari
kita membaginya menjadi sebelas bagian.”
Tetapi Aṁkura menjawab, “Berikan saja
bagianku kepadanya. Saya akan mengerjakan hal yang lain untuk bertahan
hidup; hanya saja kalian harus mengirimkan pajak masing-masing dari
kerajaan kalian kepadaku.” Mereka menyetujuinya dan memberikan bagiannya
kepada adik perempuan mereka. Dan mereka tinggal Dvāravatī bersama
dengannya, sembilan raja, sedangkan Aṁkura melakukan usaha perdagangan.
Seiring dengan berjalannya waktu, mereka
dikaruniai dengan putra dan putri. Setelah waktu yang lama berlalu,
orang tua mereka pun meninggal. Dikatakan bahwa pada waktu itu, usia
seseorang mencapai dua puluh ribu tahun.
Jarasanda, secara berarti “disatukan oleh
Jara”. Ayahnya bernama Brihadata. Karena Raja Brihadata dari Kerajaan
Magadha tidak memiliki keturunan, ia memutuskan untuk meninggalkan
kerajaannya dan hidup di hutan sebagai petapa. Di hutan, ia melayani
seorang resi yang bernama Candakosika. Sang resi merasa kasihan kepada
Brihadata yang tidak memiliki keturunan. Akhirnya, sang resi memberikan
satu buah ajaib untuk dimakan oleh permaisuri Brihadata. Karena sang
resi tidak tahu bahwa Brihadata memiliki dua permaisuri, maka ia hanya
memberikan satu buah saja.
Ketika pulang ke istananya, Brihadata
memotong buah ajaib pemberian resi Candakosika lalu membaginya kepada
dua permaisurinya. Beberapa bulan kemudian, kedua permaisuri Brihadata
melahirkan anak, namun badannya hanya separuh saja serta tidak ada
tanda-tanda kehidupan. Karena takut, Brihadata memutuskan untuk membuang
bayinya ke tengah hutan. Seorang raksasi bernama Jara memungut bayi
tersebut dan menyatukan tubuhnya. Saat disatukan, bayi tersebut hidup
dan menangis keras. Sang raksasi yang merasa kasihan, menyerahkan bayi
tersebut kepada raja dan menjelaskan apa yang telah terjadi. Brihadata
menamai bayi tersebut Jarasanda, yang secara harfiah berarti “disatukan
oleh Jara”.
Saat Candakosika tiba di istana
Brihadata, ia melihat si bayi dan meramal bahwa Jarasanda akan
memperoleh anugerah istimewa, dan akan terkenal sebagai pemuja Siwa.
Jarasanda tumbuh menjadi raja yang
terkenal dan amat kuat, senang memperluas wilayah kerajaannya. Ia
menaklukkan banyak raja, dan diberi gelar Maharaja Magadha. Sementara
kekuatannya terus bertambah, ia merasa cemas memikirkan masa depannya
karena tidak memiliki pewaris tahta. Atas nasihat sahabatnya yaitu
Banasura, maka Jarasanda mempersembahkan dua puterinya, Asti dan Prapti,
untuk dinikahkan kepada putera mahkota Mathura, yaitu Kamsa. Jarasanda
juga meminjamkan pasukan dan penasihatnya kepada Kamsa.
Jarasendra berusaha menyerang Mathura
namun usahanya gagal saat Mathura dipimpin Ugrasena, yang didukung oleh
Basudewa, penasihat militer Akrura, ditambah kekuatan Kresna dan
Baladewa. Jarasanda tidak juga menyerah hingga ia menyerang Mathura
untuk yang kedelapan belas kali. Dalam serangannya yang kedelapan belas,
ia dibantu oleh Raja Sisupala dari Kerajaan Chedi, dan Raja Kalayawana
dari Paschimadesa. Setelah serangan terakhir dari Jarasanda, Kresna
memberi saran kepada Raja Ugrasena dan ayahnya untuk mengungsi dan
mendirikan kerajaan baru di Dwaraka. Hal itu dilakukan karena alasan
strategi peperangan.
Pada suatu hari, Kresna menerima pesan
rahasia dari Magadha. Seseorang meminta bantuan Kresna untuk membebaskan
para raja yang dipenjara oleh Jarasanda di benteng Giribraja. Karena
Kresna tahu bahwa Jarasanda tidak mudah dikalahkan dalam peperangan,
maka ia pergi ke Indraprastha untuk meminta bantuan Bima and Arjuna.
Mereka pergi menghadap Jarasanda dengan cara menyamar menjadi tiga
brahmana. Saat Jarasanda menjamu mereka dan meminta apa yang mereka
butuhkan, ketiga brahmana meminta agar Jarasanda bertarung dengan salah
seorang di antara mereka. Setelah melakukan pertimbangan, Jarasanda
memilih Bima.
Jarasanda menolak untuk membebaskan para
raja yang ditawannya, sehingga ia menerima tantangan duel dan memilih
Bima. Pertarungan berlangsung lama sekali, sekitar 27 hari. Untuk
mengakhiri pertarungan secepatnya, Kresna memberi isyarat kepada Bima.
Ia mengambil sehelai daun, lalu menyobeknya menjadi dua dan melemparnya
ke arah yang berlawanan. Bima melihat apa yang dilakukan Kresna dan ia
mengerti maksud isyarat tersebut. Akhirnya, Bima menarik kaki Jarasanda,
menyobek tubuhnya menjadi dua bagian dan melempar potongan tubuh
tersebut ke arah yang berlawanan. Setelah kematian Jarasanda, segala
raja yang ditawan dapat dibebaskan. Kresna mengangkat putera Jarasanda
yang bernama Sahadewa menjadi raja. Sifat anak ini berbeda dengan
ayahnya, sehingga Magadha menjadi sekutu Indraprastha.
Istri-istri krisna yang terkemuka adalah
Radha, Rukmini (Putri Bismaka dari kerajaan Widarbha), Satyabama,
Jambawati, Mitrabinda, Satyabama, dan lain-lain, yang ia peroleh dengan
perbuatan besar; misalnya Ketika Kresna memerintah di Dwaraka, Duryodana
menindas para Pandawa di Hastinapura dan berusaha membinasakan mereka.
Kresna dan Balarama pergi untuk membantu mereka, dan saat itu Kresna
menikahi Kalindi, putera Sang Surya. Setiap istrinya melahirkan sepuluh
putera dan seorang puteri.
Kisah lainnya adalah ketika seorang
raksasa bernama Bomasura/Narakasura membawa kabur dan menawan ribuan
puteri, Kresna megejarnya dan membunuhnya dan membebaskan mereka semua.
Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak
layak untuk menikah, artinya akan ada ribuan putri yang tidak mempunyai
kehormatan di pandangan masyarakat. Namun Krisna justru dengan tangan
terbuka dan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di
kerajaannya serta menjadikan 16.100 Putri itu sebagai Istrinya. Dalam
tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai
penitisan dari berbagai wujud Dewi Laksmi.
Narakāsura/Bhaumāsura/Bomasura adalah
raja raksasa dari Kerajaan Pragjyotisha atau yang di masa sekarang
dikenal sebagai daerah Assam, di India Timur. Ia merupakan putra dari
Pertiwi sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Boma yang bermakna “anak
Bumi”. Ayah dari Naraka adalah Waraha, salah satu awatara Wisnu saat
menolong bumi dari bencana yang disebabkan oleh Hiranyaksa.
Dalam Bhagawatapurana, Naraka adalah
putra Pertiwi (perwujudan dewi bumi) dengan Waraha, salah satu awatara
Wisnu. Wisnu menjelma sebagai Waraha (babi hutan) untuk menolong Bumi
yang ditenggelamkan Hiranyaksa ke dalam suatu lautan kosmik. Dengan
menggunakan kedua taringnya, Waraha berhasil mengembalikan Bumi ke dalam
orbitnya, serta membunuh Hiranyaksa.
Setelah peristiwa tersebut, Waraha menikahi Pertiwi (perwujudan Bumi). Dari perkawinan itu lahir Naraka yang berwujud asura.
Naraka memerintah Kerajaan Pragjyotisha
dengan kejam. Ia mengalahkan banyak raja serta menawan putri-putri
mereka, bahkan para dewa pun diserangnya. Karena merasa resah, Indra
raja kahyangan melaporkan kejadian tersebut kepada Sri Kresna. Kresna
berhasil menewaskan Naraka dengan menggunakan senjata Cakra Sudarsana.
Setelah itu ia pun membebaskan para raja dan putri yang ditawan oleh
asura tersebut.
Kresna kemudian mengangkat putera Naraka
yang bernama Bhagadatta untuk menjadi raja Pragjyotisha selanjutnya.
Tokoh Bhagadatta ini kemudian memihak Korawa saat meletus perang besar
di Kurukshetra. Ia akhirnya tewas di tangan Arjuna pada hari ke-12.
Versi Bhomakawya
Kisah kematian Naraka dalam naskah
Bhagawatapurana disadur dan dimodifikasi oleh pujangga Jawa dengan judul
Bhomakawya, atau “Kematian Boma”. Naskah ini menggunakan bahasa Jawa
Kuna dan ditulis pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
di Jawa.
Naraka atau Boma dikisahkan sebagai raja
kejam dari Kerajaan Pragjyotisha yang suka mengganggu para pertapa. Ia
memiliki seorang istri cantik bernama Yadnyawati, reinkarnasi seorang
bidadari kahyangan. Perkawinan keduanya kurang harmonis karena
Yadnyawati selalu berusaha menghindari suaminya itu.
Kresna raja Kerajaan Dwarawati mengirim
putra sulungnya yang bernama Samba untuk melindungi para pertapa dari
serangan para prajurit Boma. Dengan bantuan seorang bidadari bernama
Tilottama, Samba berhasil menyusup ke dalam istana Pragjyotisha dan
menemui Yadnyawati.
Kisah selanjutnya ialah Boma menyerang
Kerajaan Dwarawati karena Samba telah membawa lari Yadnyawati. Dalam
suatu pertempuran Boma berhasil menewaskan Samba. Namun ia sendiri
akhirnya tewas di tangan Kresna.
Setelah perang berakhir, Kresna menghidupkan Samba kembali. Samba kemudian menikahi Yadnyawati dan keduanya hidup bahagia.
Versi Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna
merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan
merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura.
Ia (dengan nama kecil “Narayana”) dilahirkan sebagai putera kedua dari
tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias Kakrasana) dan
adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari
Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri
isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama.
Anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti
Sundari.
Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah
sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama
Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan
Karna Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang
lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.
Kresna dikenal sebagai seorang yang
sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk
menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat
menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang
dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia,
pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma,
terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan
Aji Kawrastawan.
Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi
Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan Yadawa,
Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan
perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.
Kresna dianggap sebagai penjelmaan Sang
Hyang Triwikrama, atau gelar Bhatara Wisnu yang dapat melangkah di tiga
alam sekaligus. Ia juga dipandang sebagai perantara suara Tuhan dalam
menjalankan misi sebagai juru selamat umat manusia, dan disetarakan
dengan segala sesuatu yang agung.
Boma Narakasura, putra Batara Wisnu
dengan Batari Pertiwi. Ia dilahirkan di Kahyangan Ekapratala tempat
tinggal Batara Ekawarna, kakeknya dari pihak ibu. Menurut versi ini,
nama kecil Boma adalah Sitija. Ia memiliki adik perempuan bernama
Sitisundari yang kelak menjadi istri Abimanyu putra Arjuna dari keluarga
Pandawa. Setelah dewasa, Sitija diminta para dewa untuk mengalahkan
pamannya sendiri, yaitu Bomantara yang berani menyerang kahyangan. Dalam
pertempuran tersebut Sitija berhasil membunuh Bomantara. Roh Bomantara
kemudian bersatu dalam diri Sitija sehingga menambah kekuatannya.
Setelah kematian Bomantara, Sitija pun
menjadi raja Kerajaan Surateleng bergelar Boma Narakasura. Ia mengganti
nama negeri peninggalan pamannya itu menjadi Trajutrisna. Selanjutnya,
Boma mendengar bahwa ayahnya, yaitu Wisnu, telah terlahir ke dunia
sebagai manusia bernama Kresna raja Kerajaan Dwarawati. Setelah melalui
perjuangan berat, Boma akhirnya mendapat pengakuan sebagai putra sulung
Kresna.
Boma dilukiskan sebagai sosok antagonis
yang sering terlibat persaingan dengan Gatutkaca putra Bimasena dari
keluarga Pandawa. Meskipun demikian kematiannya tetap dikisahkan oleh
tangan Kresna, “ayahnya” sendiri. Kematian Boma dalam pewayangan
diadaptasi dari Kakawin Bhomakawya oleh para dalang, terutama Ki Narto
Sabdo, namun dengan sedikit modifikasi sehingga lebih terkesan dramatis.
Peristiwa tersebut dinamakan Gojalisuta atau perang antara ayah melawan
anak.
Istri Boma disebut dengan nama
Agnyanawati, putri Karentagnyana raja Kerajaan Giyantipura. Ia hanya mau
melayani Boma asalkan dibuatkan jalan raya lurus tanpa berbelok dari
Trajutrisna menuju Giyantipura. Boma merasa bimbang karena jalan
tersebut pasti menerobos bukit Gandamadana, tempat leluhur Kresna
dimakamkan. Atas pertimbangan ibunya, Boma akhirnya memutuskan untuk
menolak permintaan Agnyanawati, bahkan ia bersedia menceraikan istrinya
itu. Ternyata Agnyanawati telah dilarikan oleh Samba, putra Kresna yang
lahir dari Jembawati. Namun Boma merelakannya, bahkan ia berencana untuk
menikahkan keduanya.
Kresna di Dwarawati marah atas perilaku
Samba yang berselingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Utusan Boma
bernama Pancadnyana kemudian datang meminta kepada Kresna supaya
menyerahkan Samba dan Agnyanawati untuk dinikahkan di Trajutrisna.
Kresna merestui dan menyerahkan pasangan tersebut. Namun di tengah jalan
Arjuna muncul merebut Samba dan Agnyanawati karena mencurigai keputusan
Boma. Arjuna juga melukai Pancadnyana dan ia mengirim surat tantangan
kepada Boma supaya merebut Samba dan Agnyanawati melalui pertempuran.
Boma marah membaca surat tantangan
Arjuna. Ia pun memimpin pasukan menyerbu Kerajaan Dwarawati. Perang
besar terjadi. Boma semakin marah karena dihasut kendaraannya yang
berwujud burung raksasa bernama Wilmana. Dengan kejam, Boma membunuh
Samba dan Agnyanawati serta memotong-motong tubuh mereka. Dalam
pertempuran selanjutnya, Arjuna akhirnya mundur setelah dipermalukan di
depan umum karena pakaiannya robek setelah diserang Wilmana, kendaraan
Boma. Boma kemudian terlibat pertempuran sengit melawan Gatutkaca yang
memihak Dwarawati.
Kresna muncul dan menyesali terjadinya
perang. Ia pun melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke angkasa agar para
prajurit yang sedang berperang mengetahui kehadirannya dan segera
menghentikan pertempuran. Namun peristiwa itu justru menyebabkan Boma
mengalami kecelakaan fatal ketika hendak mendarat. Burung Wilmana yang
dikendarainya silau melihat kilauan cahaya Cakra Sudarsana sehingga
terbang tak terkendali dan akhirnya menabrak senjata tersebut.
Akibatnya, Wilmana sekaligus Boma sama-sama tewas dengan tubuh hancur.
Berbeda dengan Bhomakawya, dalam versi ini Kresna tidak menghidupkan
Samba kembali. Ia merelakan kedua putranya tersebut tewas sebagai korban
Perang Gojalisuta.
Subadra adalah puteri bungsu pasangan
Basudewa dan Rohini (istri pertama Basudewa), Ia berkulit putih dan
lahir setelah ayahnya Basudeva dibebaskan Krisna.
Saat Arjuna menjalani masa pembuangannya
karena tanpa sengaja mengganggu Yudistira yang sedang tidur dengan
Dropadi, Dalam perjalanannya ia sampai di Dwaraka, yaitu kediaman
sepupunya yang bernama Kresna, karena ibu Arjuna (Kunti) bersaudara
dengan ayah Kresna (Basudewa). Di sana ia menyamar sebagai seorang
pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra. Kresna pun
mengetahui hal tersebut dan berharap Arjuna menikahi Subadra. Pada saat
itu status Arjuna adalah suami yang memiliki tiga istri, yaitu Dropadi,
Citrānggadā, dan Ulupi. Krisna mengetahui Baladewa tidak akan pernah
menyetujui pernikahan itu.
Ia mengatur sedemikian rupa sehingga
Arjuna mendapat perhatian dan simpati dari Baladewa, Arjuna mendapat
tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Krisna berperan
menentang mereka tingga disana, namun Baladewa meyakinkan bahwa
peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa bulan
di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu.
Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada
Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Di saat itu pulalah
sebuah kereta sudah dipersiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke
Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.
Baladewa marah setelah mendengar kabar
bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa
Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang
mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga
mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua
pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa
dan dengan menghajar Arjuna bukan hanya menghambat rencana kebesaran
Bharatawarsa tapi juga akan membuat kesedihan yang mendalam Subadra adik
yang mereka cintai. Baladewa juga mengetahui bahwa adiknya, yaitu
Krisna turut ‘bermain’ dalam perkawinan ini akhirnya ia membuat
keputusan dengan menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi
Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk
turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan
berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari,
lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta. Maka
Subadra menjadi istrinya arjuna yang keempat.
Subadra dan Arjuna memiliki seorang
putera, bernama Abimanyu. Saat Pandawa kalah main dadu dengan Korawa,
mereka harus menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun, ditambah
masa penyamaran selama satu tahun. Subadra dan Abimanyu tinggal di
Dwaraka sementara ayah mereka mengasingkan diri di hutan. Pada masa-masa
itu Abimanyu tumbuh menjadi pria yang gagah dan setara dengan ayahnya.
Di India, Subadra menjadi salah satu dari
tiga dewa yang dipuja di Kuil Jagannath di Puri, bersama dengan
kakaknya yang bernama Kresna (sebagai Jagannatha) dan Baladewa (atau
Balarama, Balabhadra). Salah satu kereta dalam Ratha Yatra yang
diselenggarakan secara tahunan didedikasikan untuknya. Menurut beberapa
interpretasi, Subhadra dianggap sebagai inkarnasi dari YogMaya.