Bulan November 46 tahun lalu, Jenderal
Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim satu tim
ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh,
dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS-sebab itu
tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia'-ke Swiss. Mereka
hendak menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang
dipimpin Rockefeller.
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul"The New Ruler of the World' yang bisa didownload di situsyoutube,
tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan
alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs. Dengan seenak perutnya, mereka
mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada
pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan
kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di
Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Sampai detik ini, saat Suharto sudah
menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat
Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan
laut (!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja
terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh berbagai
korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana: angka
kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus
sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya,
kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila
berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak
kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika
negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang
dari semua ini.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak
sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar
negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal
Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan
dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap
harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan
agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras
Kepala (Belanda:Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha
memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka
yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan
nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih
dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah
atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni
lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar
memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja
dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka
pengadilan.
Tulisan ini akan berupaya memotret
perjalanan seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar
tidak ada lagi pemikiran yang berkata, "Biar Suharto punya salah, tapi
dia tetap punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan
pembangunannya bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak
gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar
dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah
meriah, dan sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar
dalam membangun negara ini!"
Atau tidak ada lagi orang yang berkata,
"Zaman Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa
murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau
kita kembali ke masa Suharto..." Hanya orang-orang Suhartoislah, yang
mendapat bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin
juga sekarang, yang berani mengucapkan itu. Atau kalau tidak, ya bisa
jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan. (rd/bersambung)
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo,
Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga petani yang menganut kejawen.
Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua.
Karirnya diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak
lama.
Dia sempat juga menjadi buruh dan
kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang
berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. Saat Jepang masuk di
tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA. Ketika Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan TKR.
Salah satu ‘prestasi' kemiliteran
Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan ‘prestasi' ini
sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning' (1979) yang memperlihatkan
jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol
Suharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai Sultan
Hamengkubuwono IX. Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum
melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang
memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau
untuk di jajah. (lihat biografi Sultan Hamengkubuwono IX).
Pada 1959, Suharto yang kala itu
menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution dengan tidak
hormat karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk
mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Suharto
kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula
dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.
Untuk memperlancar penyelundupan ini,
didirikan prusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan. Konon, dalam
menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal
‘Indonesian Overseas' milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah
agen ganda. Pada 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di
Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung, dalam merekrut
Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.
Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang
dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan
pertama di negeri ini. Chow bukan saja membina WNI Cina di Jawa Tengah
dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah satu binaannya
adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan
merupakansleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada
pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan
sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot;
2006).
Nasution kala itu sangat marah sehingga
ingin memecat Suharto dari AD dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun
atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke
SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain Nasution, Yani
juga marah atas ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto
dari daftar peserta pelatihan di SSKAD, yang mana hal ini membuat
Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak
kesayangan Bung Karno.
Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat
sebagaiPangdam Diponegoro menggantikan Suharto. Pranoto, sang perwira
'santri', menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang
dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan
pribadinya. Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga
terhadap Nasution dan Yani.
Di SSKAD, Suharto dicalonkan untuk
menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan
dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa
dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam kair militernya,
antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk
membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya
dirinya.
Atas kejadian itu Suharto sangat marah.
Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto,
kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965,
musuh-musuh Suharto-Nasution, Yani, dan Panjaitan-menjadi target
pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD
tidak masuk dalam daftar kematian.
Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno
mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf AD, namun Pranoto
dijegal oleh Suharto sehingga Suhartolah yang mengambil-alih
kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan
perangsaudara-karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO
(Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah untuk berada di belakang
Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu' kekuatan
Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang-maka
Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965. (1) .
Pasca Perang Dunia II, AS melihat Rusia
sebagai satu-satunya pihak yang bisa menghalangi hegemoninya atas dunia.
Diluncurkanlah Marshall Plan sebagai upaya membendung pengaruh
komunisme yang kian lama kian meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia
Selatan, sebuah wilayah yang sangat strategis dari sisi perdagangan
dunia dan geopolitik, juga sangat kaya dengan sumber daya alam dan juga
manusianya. AS sangat cemas jika wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari
semua negeri di wilayah itu, Indonesia-lah negara yang paling strategis
dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab itu di wilayah ini
Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall
Plan.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS
jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang
sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain,
orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah
mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai
pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina
kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia
Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya
(antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend)
dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan
bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung
Karno berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secarade facto,
Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan
awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai
mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah
orang-orang yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa
melewati proses pengadilan yangfair. Media internasional
bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim
Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal
Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan
Presiden Nixon menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia Tenggara".
Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan
sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah
berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan'
bagi kejayaan imperialisme Barat.
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal
Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para'bos' Yahudi
Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dariNorthwestern UniversityAS
menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey
Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John
Pilger dalamThe New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:
"Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ‘hadiah terbesar' (istilah pemerintah AS untuk Indonesia
setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil
tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori
konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari
membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh
kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American
Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US
Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan
sebagainya."
Di seberang meja, duduk orang-orang
Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya
disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.
"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal
dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia' karena beberapa di antaranya pernah
menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta
yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang
hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya.
Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah,
cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."
Masih dalam kutipan John Pilger,
"Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor."
Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan cara yang amat
spektakuler."
"Mereka membaginya dalam lima seksi:
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di
kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang
mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para
investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini
berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami
inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada
dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya
produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah
mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk
dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri."
Freeportmendapatkan gunung tembaga
di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan
Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat.
Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan
hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Sebuah undang-undang tentang penanaman
modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto
membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak
untuk lima tahun lamanya. Oleh Suharto, rakyat dijejali dengan
propaganda pembangunan, Pancasila, dantrickle down effect
terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi di
lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis
yang dilakukan rezim Suharto.(bersambung/rd)
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto
dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk
Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo
Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr.
Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans
Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.
Nopember 1967, Suharto mengirim tim
ekonomi ini ke Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU
PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip kemandirian
ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh Jenderal
Suharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat
tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.
"Indonesia Baru" yang lebih
pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an.
David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul "Mafia Berkeley dan
Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari
Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia" (Ramparts, 1970)
memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia,
tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu
kelompok intelektual yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu
sel dalam tubuh ketentaraan yang siap bekerjasama dengan AS.
Yang pertama didalangi oleh berbagai
yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation,
juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell,
dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia
(PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni
Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan
jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka, demikian Ransom,
dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada
CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND
Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang
dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto.
Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang
inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah
murid dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil
binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan
kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan
pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini
mulai membangun ‘Indonesia Baru'. Para doktor ekonomi yang mendapat
binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan
kelompok ini, di antaranya Emil Salim.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat
(pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan
Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, "Pada 12 April 1967, Sultan
mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar
program ekonomi rejim baru itu yang menegaskan mereka akan membawa
Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis
oleh Widjojo dan Sadli."
Ransom melanjutkan, "Dalam merinci lebih
lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para
teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program
stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang
baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu
Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan
"bimbingan". Menurut seorang pegawai Kedubes AS, "Sadli benar-benar
tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal
Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program
Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh
para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dimbing
oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang
ada.
Juni 1968, Jenderal Suharto secara
diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford,
yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley" (untuk merancangkan susunan
Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya):
sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo
(Doctor of Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo
Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil Ketua BPN
ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen
Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari
Harvard, 1964), Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of
Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of
Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk Barli
Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik,
diangkat jadi Duta Besar di Washington, posisi kunci poros
Jakarta-Washington.
Tim ekonomi "Indonesia Baru" ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. "Kita bekerja di belakang layar," aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa
baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang
sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi
sedikit dipulihkan.
Mereka inilah yang berada dibelakang
Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan
penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak
kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di
daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini.
Mereka bekerjasama dengan para tokoh
daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif.
Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk
memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok
daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga menindas para petani yang
bekerja di lapangan.(2)
Benih Orde Baru tumbuh di atas genangan
darah dan tetesan air mata rakyatnya. Arah pembangunan (Repelita)
didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan
eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk
habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat.
Inti pergantian kekuasaan dari Bung
Karno ke Jenderal Besar Suharto adalah berubahnya prinsip pembangunan
ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan. April 1966
Suharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei
1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF.
Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang
terkenal:"Go to hell with your aid!"
Untuk menjaga stabilitas penjarahan
kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat
anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri.
"Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972,
utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi
pengeluaran saat Soekarno berkuasa." (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa,
kecenderungan pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan
keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang
para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun
kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto
dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.
Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai tameng penjaga status-quo.
Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partai-partai
politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. "Pada Februari
1970, pemerintah mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada
pemerintah. Mereka tidak diizinan bergabung dengan partai politik lain
kecuali Golkar," demikian Ricklefs.
Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di
depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor Gubernur Jawa Barat, 9
Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari kian
dianggap repressif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan: Kebalkah
ABRI terhadap hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih mampu? Apakah
seragam sama dengan karcis kereta-api, bioskop, bus, opelet? Kapan ABRI
berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI? Kapan ada jaminan hukum
bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari kesewenang-wenangan hukum?" (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).
Francis Raillon menulis, "Sepanjang
1972-1973 di sekitar Suharto terjadi rebutan pengaruh antara ‘kelompok
Amerika' melawan ‘kelompok Jepang'. Yang pertama terdiri dari para
menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro
salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali
Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani."
Suharto memang seorang pemimpin yang
sangat lihai, dan tentu saja licin bagai belut yang berenang di dalam
genangan oli. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya
guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno,
Suharto menggalang kekuatan militer, teknokrat pro-kapitalisme, dan
ormas keagamaan, terutama umat Islam, untuk menghancurkan komunisme.
Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah merangkul
kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo
menjadi sesepuhnya, dan kemudian di era 1980-an akan muncul tokoh
sentral Islamophobia, murid Ali Moertopo, bernama Jenderal Leonardus
Benny Moerdhani.
Dengan dukungan penuh terutama dari
militer-tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh Suharto, yakni
membagi kue KKN kepada para perwiranya-maka kekuatan sipil tidak ada
artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap
sebagai Anti Pancasila. Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada
kekuatan sipil yang berarti yang mampu menentang Suharto. Bayang-bayang
pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Suharto pada akhir 1965
sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan oleh Suharto, dan digantikan denganExploitation de L'homee par L'homee,
eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut
digaris-bawahi jika eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit
pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak aneh jika sekarang
ada yang berterus terang jika Suharto adalah gurunya.
Catatan hitam tentang Suharto tidak
berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM)
misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri
sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah Hitler,
Italia di bawah Mussolini, Kamboja di bawah Polpot, dan Chile di bawah
Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan Indonesianis asal Perancis,
Francois Raillon.
Bahkan M.C.Ricklefs, sejarawan
Australia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Suharto jauh lebih
buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda. "Orde Baru lebih banyak
melakukan hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru
mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana politiknya. Sentralisasi
kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan
segelintir elit dalam pemerintahan Suharto juga lebih besar ketimbang
dalam masa pemerintahan Belanda," tegas Ricklefs yang bertahun-tahun
menelusuri sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.
Dalam tulisan selanjutnya akan
dipaparkan satu-persatu "prestasi" rezim Suharto dalam penegakan hak
asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya
dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.(bersambung/rd)
Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto
akan dimulai dari wilayah paling timur negeri ini, yakni Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC
Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih
kejam lagi di masa kekuasaan Suharto. Bahkan di zaman Jenderal
Suharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan RI-terutama dari segi finansial, sebab itu NAD juga disebut
sebagai ‘Lumbung Uang RI'-malah dijadikan lapangan tembak dengan nama
Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.
NAD merupakan daerah yang sangat kaya
dengan sumber daya alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan
akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total
produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan
cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan
tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun
kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang
dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad
lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pasai berdiri, dan
kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar
kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu
30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah
menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang
ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam
di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen
diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia
aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft Aceh juga
sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan
impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta
setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983
Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.
Suharto sangat tahu jika kekayaan alam
Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru
terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa
kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap
tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya
mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi
malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah
tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27
provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di
seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah
jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati
aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran
air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering
tercemar oleh limbah zona industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya
menulis, "Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli
dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan
harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat
Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk
asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran
meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur
perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak
pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh". Inilah salah
satu "hasil" pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan,
"Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak
diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh
sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang
lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan
kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan
1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh."
Di bawah rezim Suharto, Jenderal ini
membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan kacamata
kuda yang "sentralistik-Majapahit", Suharto mengangap sama semua orang,
semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto
menganggap semuanya itu sama saja dengan "Majapahit". Status "istimewa"
sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di bidang agama,
pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974
tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan
Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan
persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar.
Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat
untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer
dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang
notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam
untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat
di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki
"penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten
melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke
sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang
dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas
pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional,
tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel
telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam
oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata
pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya,
anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu
masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih saja bertanya,
"Mengapa rakyat Aceh berontak?" Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal
bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa
pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang
menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia jika
hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya! (3)
Siapa Sebenarnya Suharto? - Bagian kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar