Ibu
Sri (bukan nama sebenarnya), berumur sekitar 40 tahun, tinggal di desa Sragen
(Jawa Tengah), adalah seorang pengusaha warung makan sederhana. Pada suatu hari
terpaksa meminjam uang sejumlah Rp 1
juta dari pelepas uang (atau lebih dikenal sebagai rentenir). Tiap bulan dia
harus membayar Rp 100.000, tetapi pinjaman tersebut tidak pernah lunas, sebab
bunganya 10% sebulan. Jadi Rp 100.000 yang dia angsur selama ini hanya bunganya
saja, sementara untuk pokoknya tidak pernah lunas. Kemudian atas ajakan
kawannya, dia bergabung dalam suatu kelompok ibu-ibu para pengusaha mikro
lainnya, yang lebih dikenal dengan istilah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat).
Setelah kelompoknya dipandang cukup solid, oleh pendampingnya diberi kesempatan
untuk mulai meminjam ke Lembaga Keuangan Mikro, masing-masing Rp 1 juta. Oleh
Ibu Sri pinjaman tersebut digunakan untuk membayar lunas semua hutangnya pada pelepas
uang. Kemudian setiap bulannya Ibu Sri tetap membayar Rp 100.000 kepada
kelompoknya, dan setelah 12 kali angsuran hutangnya dinyatakan lunas. Ibu Sri
sangat bersyukur dan sejak itu penghasilannya meningkat dengan Rp 100.000
setiap bulannya, karena pinjamannya sudah lunas.
Itulah
keuangan mikro, dengan Rp 1 juta, dapat mengubah kehidupan Ibu Sri dan
keluarganya. Ia memang tidak mempunyai akses ke Lembaga Keuangan seperti bank,
sebab tak punya agunan maupun tabungan. Satu-satunya akses adalah ke para pelepas
uang, dan itu berarti ia akan menjadi miskin seumur hidupnya, karena tingginya
bunga pinjaman (10 – 20 % setiap bulan). Berapa banyak orang-orang seperti Ibu
Sri di Indonesia? Yaitu orang-orang miskin, tetapi punya usaha yang sangat
kecil (makanya disebut usaha mikro). Menurut data dari PNM (Permodalan Nasional
Madani), jumlah pengusaha mikro di Indonesia ada 34,5 juta unit, dan dengan
keluarganya (istri, suami, anak-anak) rata-rata 4 orang menjadi 34,5 x 4 = 138
juta jiwa, yang berarti lebih dari setengah
penduduk Indonesia. Apakah mereka miskin? Umumnya begitu. Kriterianya apa? Nah,
di sinilah kita belum pernah punya kesepakatan bersama, dan perdebatan serta
adu argumentasi masih berlangsung terus. Masing-masing institusi memakai
kriteria yang berbeda-beda, sehingga angka-angka kemiskinan selalu simpang
siur. Secara global, ada semacam pengertian tentang kemiskinan yang dapat
diterima dan dimengerti satu sama lain, yaitu apabila penghasilannya kurang
dari: US$ 1 per hari per orang. Jadi satu keluarga dengan anggota suami, istri
dan 2 anak, perlu punya penghasilan 4 X
US$1 X Rp 10.000 = Rp40. 000/ hari atau Rp 1.200.000 sebulan, agar tidak
tergolong miskin. Wah, kalau begitu angka kemiskinan akan jadi besar sekali?
Belum tentu, asalkan usaha-usaha mikro, baik di desa-desa maupun di sekitar
kota besar (daerah urban) dapat tumbuh baik.
Mari
kita lihat pengalaman Ibu Sari di Desa Parung Bogor. Suaminya bekerja sebagai
pengemudi, dan dia sendiri sebagai pedagang sayur mayur keperluan sehari-hari,
bertempat di rumahnya. Setiap pagi, ketika orang lain masih nyenyak tidur, pada
jam 02.00 sampai 04.00, dengan ditemani suaminya dia belanja sayur mayur di
pasar Parung. Dia memilih sayur dan makanan sehari-hari, dengan ragam dan
jumlah yang kira-kira akan habis terjual hari itu juga. Biasanya dia
membelanjakan sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000 setiap hari, yang terdiri
dari: ayam 7 ekor, daging 2 kg, ikan 10 ekor, tempe 70 potong, tahu 200 potong
dan sayur mayur lengkap untuk membuat; sambal-sambalan, sayur sop, sayur asem,
sayur lodeh dan lain-lain. Dia
menjualnya dengan harga cukup ringan (kompetitif istilah kerennya), seperti:
sambalan Rp 1.000, sop Rp 1000, sayur asem Rp 1.500, sayur lodeh Rp 2.000. Sisa
yang tidak laku dimakan sendiri, atau diberikan kepada orang-orang yang kurang
beruntung sebagai sedekah, sebab tidak dapat dijual kembali keesokan harinya.
Tetapi kalau ayam, oleh Ibu Sari diberi bumbu, dan dijual sebagai ayam kuning
keesokan harinya. Setiap hari penjualannya mencapai rata-rata Rp 700.000, dan
masih ada yang menjadi piutang, karena langganannya ada yang penghasilannya
bulanan, sehingga baru bisa membayar pada akhir bulan. Tetapi keluarga ini
tidak mau menganggap mereka berpenghasilan Rp 2 juta per bulan. Tetapi mereka
lebih memilih menganggap penghasilan bersihnya Rp 40.000 sehari, sebab suami
dan kedua anaknya mengambil masing-masing Rp 10.000 sehari, dan belanja
keperluan rumah tangga lainnya. Mereka mensyukuri Rp 40.000/hari bersih, dari
pada menganggap penghasilannya sekitar Rp 2 juta sebulan. Tetapi penghasilan
mereka melebihiUS$ 1 per orang per hari. Sehingga mereka bukan tergolong
miskin.
Usaha
mikro memiliki laba atau profit margin yang cukup tinggi. Sebagai contoh
pedagang sayur keliling di komplek-komplek perumahan. Harga tempe di pasar Rp
500, di komplek perumahan bisa mencapai Rp 1.500 – tiga kali lipat. Sayur
kangkung di pasar 1 ikat = Rp 250, di gedongan bisa mencapai Rp 1.000 – empat
kali lipat. Namun pelanggannya puas, karena tidak usah repot pergi ke pasar
atau supermarket dan boleh beli secukupnya saja, jadi “win-win”. Bagi
usaha mikro, yang terpenting bukan bunga pinjaman yang rendah, tetapi akses ke
lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan prosedurnya
mudah serta dananya dapat dicairkan tepat waktu dan tepat jumlah. Pinjaman dana
itu pada umumnya dibutuhkan untuk tambahan modal kerja. Mengapa diperlukan?
Karena harga-harga naik dari waktu ke waktu, maka modal kerja yang ada tidak
mencukupi lagi untuk membeli jumlah barang dagangan yang sama banyaknya.
Apalagi kalau hasilnya menurun, masih terpakai untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga modal kerjanya makin susut lagi. Disinilah keuangan mikro
berperan untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan. Kalau modal kerjanya sudah
cukup, maka kebutuhan mendesak lainnya akan menyusul, misalnya biaya sekolah
anak-anak. Mereka tahu betul tanggung jawabnya sebagai orang tua, untuk
memberikan pendidikan yang sebaik mungkin bagi anak-anaknya yang tercinta.
Nah,
tanpa terasa kita telah menceritakan banyak aspek tentang keuangan mikro, serta
peranannya dalam mengentaskan kemiskinan. Tetapi apakah para pembaca juga telah
menangkap dan mengerti sama seperti yang saya mengerti? Barangkali masih ada
yang belum sepenuhnya mengerti, maka baiklah tulisan ini diakhiri dengan
ringkasan-ringkasan sebagai berikut:
- Keuangan mikro adalah suatu alternatif yang amat dibutuhkan bagi usaha mikro, karena mereka tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal: Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
- Dalam Keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah:
a.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang
menyediakan dana yang berkesinambungan dan makin besar dananya.
b.
Lembaga Pendampingan Usaha Mikro
(LPUM), yang secara berkelanjutan mendampingi kelompok usaha mikro maupun satu
persatu anggota kelompok
c.
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM),
yang membentuk kelompoknya sesuai dengan kebutuhan mereka dan terdiri dari
anggota-anggota yang mereka kenal satu sama lain termasuk usaha-usahanya yang
beraneka rupa. Berkelompok itu penting karena:
Ø Motivasi dan spirit berusaha dapat terpelihara dengan baik,
dan mereka dapat belajar satu sama lain.
Ø Pada kelompok yang solid, dapat diterapkan sistem “tanggung
renteng”. Sistem ini sebagai pengganti kolateral (dikenal sebagai collateral
substitute), sehingga resiko tidak membayar kembali pinjaman, menjadi
kecil.
Ø Kebiasaan menabung dapat dibina dengan baik serta
dikembangkan. Dan apabila jumlah tabungan sudah memadai, anggota dapat meminjam
dari kelompoknya. Kemudian kelompok yang jumlah tabungannnya sudah besar (Ada
kelompok yang jumlah tabungannya lebih dari Rp 30 juta, lho!) melebihi
kebutuhan anggota kelompok mereka, dapat menjadi Lembaga Keuangan Mikro yang
melayani kebutuhan dari kelompok yang lain.
d.
Dengan berkelompok, maka biaya
transaksi bagi LKM dan LPUM menjadi ringan. Pelayanan secara individual kepada
usaha mikro akan memerlukan transactin cost yang tinggi sekali.
e.
Dengan sistem seperti tertsebut di
atas, maka para pihak, yaitu: LKM, LPUM, dan KSM beserta anggotanya, dapat
berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan mandiri. Alangkah
indahnya.
f.
Dengan demikian keuangan mikro dapat
berperan untuk mengentaskan kemiskinan, tidak untuk semua kemiskinan, tetapi
hanya sebatas pada orang-orang miskin yang punya usaha (enomically active
poor). Tetapi jangan lupa, jumlah usaha mikro ini besar sekali. Kemiskinan
yang lain seperti: orang-orang tua jompo, para penganggur, anak-anak terlantar,
harus diatasi dengan cara-cara efektif yang lain.
g.
Aspek lain dari keuangan mikro
adalah kemampuannya untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Coba bayangkan kalau
dalam satu desa ada 70 kelompok dengan jumlah anggota seluruhnya 1500 KK dan
masing-masing menerima pinjaman rata-rata Rp 1 juta, maka ada dana Rp 1,5
milyar, dan uang tersebut dibelanjakan untuk barang-barang dagangan, baik hasil
pertanian maupun hasil industri, maka perekonomian di desa tersebut akan
bergerak memutar roda perekonomian yang akan terus mempunyai efek beranting (multiplier
effect) sampai pada perekonomian nasional. Itu baru satu desa. Kalau ada
1000 desa, maka dana Rp 1,5 triliun dampaknya bagi perekonomian di desa-desa
dan dampaknya secara nasional pasti akan dirasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar