Kabar Gembira, bagi teman sejawat dokter/dokter gigi yang kebingungan karena jumlah SKP (Satuan Kredit Partisipasi) kegiatan IDI belum memenuhi standar minimal yakni 250 SKP padahal akhir 2012 sudah habis masa berlaku STR nya dan harus segera perpanjangan STR maka : Berdasarkan surat edaran IDI No.2353/PB/A.3/03/2011 Perihal Alur Verifikasi Dokter Layanan Primer maka bagi STR yang berakhir tahun 2012 diberikan kemudahan dimana : berapapun SKP yang terkumpul bisa dilakukan proses resertifikasi.
————————————-
Yth rekan-rekan sejawat
Mohon tulisan saya ini dikritisi & dikoreksi, trims.
Kontroversi SKP: Pengganti Uji Kompetensi?
Billy N.
SKP (satuan kredit profesi) IDI/PDGI, atau skor PKB/CME (pendidikan kedokteran berkelanjutan/continuous medical education) memang jadi hal kontroversial. Sejak dahulu, ada berbagai cara untuk mendapatkan SKP, dari mulai seminar, simposium, pelatihan, sampai menjawab kuis yang terdapat di jurnal-jurnal ilmiah. Tetapi sampai beberapa waktu lalu, tidak jelas apa fungsi/kegunaan dari SKP selain hanya dikumpulkan.
Saat ini, SKP adalah hal yang ‘dikejar-kejar’ dokter/dokter gigi untuk mencapai angka tertentu, biarpun pengaturannya belum jelas. Selain itu, sekarang ini besaran SKP untuk suatu acara pun di tiap daerah berbeda, sehingga ada organisasi profesi di daerah yang melakukan ‘obral’, ada juga yang ‘pelit’.
Ada hal aneh mengenai cara pengumpulan SKP yang kabarnya sedang disusun. Jika kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan PKB, misalnya dengan kegiatan profesional yang terdokumentasi seperti contohnya memeriksa sejumlah pasien, penyuluhan, atau terlibat dalam bakti sosial, atau sering disebut CPD (continuous professional development), menjadi suatu kegiatan yang
menghasilkan SKP, maka standar untuk mendapatkan SKP menjadi kurang jelas.
Hal yang mendasari pengumpulan SKP oleh dokter/dokter gigi adalah pasal 28 & 51e UU no.29/2004 yang mewajibkan dokter/dokter gigi untuk terus menambah ilmu pengetahuan & mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi
(dalam bentuk PKB). Sesuai pasal 79c UU no.29/2004, sanksi terhadap pelanggaran pasal 51e adalah denda maksimal Rp 50 juta.
Karena yang mengatur mengenai standar PKB dalam bentuk pengumpulan SKP itu organisasi profesi (IDI/PDGI) sesuai amanat pasal 28 (2) UU no.29/2004, seharusnya pengumpulan SKP adalah bukan untuk syarat registrasi ulang STR yang dikeluarkan KKI, karena SKP bukanlah pengganti sertifikat kompetensi yang seharusnya dihasilkan dari suatu uji kompetensi, tetapi seharusnya hanya sebagai salah satu syarat untuk mendapat rekomendasi dari organisasi profesi, yang jumlah minimalnya sebaiknya disesuaikan dengan keadaan & kebijakan di daerah masing-masing.
Dapat disimpulkan, uji kompetensi bagi dokter/dokter gigi dengan standar nasional & disesuaikan dengan perkembangan terbaru di dunia kedokteran/kedokteran gigi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dokter/dokter gigi sebagai salah satu syarat pembuatan & registrasi ulang
STR seharusnya tetap diadakan untuk dokter/dokter gigi setiap 5 tahun sekali sesuai pasal 29 UU no.29/2004.
Sudah saatnya pula, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi, profesi dokter/dokter gigi memiliki lembaga sertifikasi profesi (LSP) tersendiri, lalu menyusun & menggunakan SNI (standar nasional Indonesia)
untuk melakukan pengujian & menerbitkan berbagai sertifikasi di bidang kedokteran/kedokteran gigi, seperti yang telah ada untuk LSP telematika.
Semoga dengan adanya standarisasi dalam profesi dokter/dokter gigi di Indonesia, tujuan untuk menyelenggarakan praktik kedokteran yang bermutu
dengan standar global & melindungi masyarakat dapat tercapai.
Baca surat edaran resminya berikut ini :
Menampilkan kesemua 13 kiriman.
-
bener ga sih jumlah SKP bisa jadi basis kompetensi, pada kenyataannya justru banyak yang jual beli SKP
-
Idealnya sih harus bisa jadi basis kompetensi cuman di Indonesia segala peraturan selalu diakal-akalin, kadang jadi dokter tuh kalau udah meriksa males bikin adminstrasinya……..
-
SKP….?bagaimana dokter2 yang tugas di pedalaman…berdinas di militer,yang sehari-harinya ikut arus kegiatan militer…mana ada waktu untuk ngumpulin SKP…daripada buat itu mending buat beli susu anak makan anak istri…jangan lupa tidak semua dokter itu mampu dan sejahtera….
-
Saya setuju sekali dengan Dr. Steven… Kalau mau berlakukan aturan seperti itu harusnya kesejahteraan dokter lebih diperhatikan…
-
Alhamdulillah. Masih ada yang senasib dengan saya, mudah-mudahan bisa sama-sama memperjuangkan kondisi kita(=salah satunya saya) yang terbatas tapi tetep bisa cari penghasilan, tanpa harus jual beli SKP
-
memang agak menyusahkan sistem SKP ini. selain karena menurut saya tidak ada korelasi yang signifikan antara kompetensi dengan banyaknya SKP, sistem ini juga memberatkan untuk saya yang bekerja di lepas pantai. Well, kita liat aja kedepannya bagaimana….
-
Knapa dr. Umum harus ngumpulin SKP segudang, yang besarnya sama dengan dr. spesialis (kl gak salah dengar..), sedangkan dr. gigi cukup segenggam??
-
ya itu jadi pusing ngumpulin skp, apaladi sosialisasi ttg skp juga telat, jadi keteteran deh, trus mahal lagi yach. apa sistem SKP ini udah fix, gak ada perubahan lagi? ntar udah susah ngumpulin trus gak berlaku lagi mesti ikut UKDI yah sama aja boong donk.
-
Gini. Saya mau sharing aja. Awalnya saya punya pemikiran yg krg lebih sama spt sejawat. bahwa 200-250 skp itu dari seminar semua…. tapi ternyata ngga spt itu….
di idi wilayah saya, dibagi 5 ranah.
nach seminar itu hanya dihargai 40-50% saja. jadi walopun ikut seminar dibayari ato mbayar sendiri dan dah dapat 200 SKP, tapi yg ranah lain ga ada ya ga bisa.
trus pasien yg kita layani baik di RS, di tempat kerja& di tempat pribadi juga dpt SKP. Baksos atao penyuluhan di tempattugas (misal di puskesmas, surya baskara jaya, dll) juga ada SKP. Jurnal grup intern dah dapat SKP juga.
apalagi target SKP 200 – 250 itu dalam 5 tahun. pasti nyampe kok. Emang ada syarat2nya. dan ga ribet kok. -
msh bnyk kontroversi ttg P2KB, dlm hal lbh di kenal dengan SKP,sy jg bisa merasakan apa yg dirasakan sejawat,memang apa yg di posting sejawat eko emang benar, tidak hanya di wilayah anda saja,di wilayah saya jg di bagi dalam 5 ranah,cm masalahnya ga semua ranah dapat dilakukan oleh setiap dr,karena kesibukan kita msg2 dan adanya handycap yg kita hadapi ,ga semua dr dpt mengikuti seminar,ga semua dr jg dapat melakukan jurnal review ato baksos ato menulis di media cetak….,sy melihat semua ini hny ekses dr kterburuan2nya pemerintah membuat UU yg dpicu oleh lemahnya kompetensi dr dr2 yg ada saat ini..,celakanya lg ,dgn keluarnya peraturan ttg skp…sy lihat “seminar” menjadi ajang bisnis yg subur,mengingat besarnya jmlh SKP yg didpt dr seminar…ini yg sy rasa sangat tdk benar…apa lg biaya mengikuti seminar yg gila2an…problemnya tdk semua dr mampu….klu dl dalam setahun di kota sy hny ada sminar/workshop 4-5 x,sekarang tiap minggu ada…bukan kah ini tdk benar?seharusnya IDI sebagai perpanjangan tgn dari kta semua memahami hal ini(dlm hal ini IDI lah yg berhak mengeluarkan jumlah skp dr sebuah sminar /workshop)…blom lg lambannya sosialisasi p2kb oleh IDI….
-
trus gimana dg para teman sejawat yg ga ngumpulin skp salah satunya saya ini…..semua seminar adanya di kota2 besar sementara saya ga tinggal di kota besar……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar