-
Sampai kira-kira 28 tahun lalu (1975) kemiskinan bukanlah topik bahasan seminar dan surat-surat kabar. Baik masyarakat maupun pemerintah “tabu” membahasnya. Pembangunan dianggap akan menghapuskan kemiskinan “dengan sendirinya”. Dan pakar ekonomi dengan analisis-analisisnya berdiri paling depan dalam barisan para pakar yang manganggap bahwa pertumbuhan ekonomi cukup mampu mengatasi segala masalah sosial ekonomi bangsa.
Selama periode 1976-1996 (20 tahun, Repelita II-V)
angka kemiskinan Indonesia turun drastis dari 40% menjadi 11% yang
dianggap cukup menjadi pembenaran bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%
par tahun dalam periode itu adalah faktor penentunya. Maka krismon 1997-98
yang kembali meningkatkan angka kemiskinan menjadi 24% tahun 1998 dengan
mudah dijadikan alasan kuat lain bahwa memang pertumbuhan ekonomi
“adalah segala-galanya”.
Kesimpulan
saya, pakar ekonomi (teknokrat ekonomi) bukanlah pendukung kuat kebijakan
dan program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Economic
science has produced mostly “universal” intellectuals. I think it is
time for economists to start transforming themselves __ and to
do it fast __ into more “specific”, humble intellectuals
(Alejandro Sanz de Santamaria in Ekins and Max-Neef, 1992:20).
II.
Program Penanggulangan Kemiskinan bersasaran (targeted poverty
alleviation) paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah
program IDT di sepertiga desa di Indonesia, dan program Takesra/Kukesra di
dua pertiga desa lainnya. Keduanya didasarkan atas Inpres 5/1993 dan
Inpres 3/1996, yang pertama dengan anggaran dari APBN dan yang kedua dari
APBN ditambah bantuan “konglomerat”. Program IDT maupun
Takesra/Kukesra keduanya dilaksanakan melalui pendekatan kelompok sasaran
antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir, yang pertama
(IDT) sebagai hibah dan yang kedua sebagai pinjaman/kredit mikro.
Meskipun
terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT dan Takesra/Kukesra ini
semuanya sudah “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang
disalurkan kepada penduduk miskin, dan sudah ada program-program
penggantinya yaitu PPK (Program Pengembangan Kecamatan), tetapi penelitian
kami sekaligus mengujicoba kuesioner dan Manual ESCAP di DIY membuktikan
yang sebaliknya. Dana hibah program IDT di Karangawen, Gunungkidul, telah
meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97% selama 8 tahun
(1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai hibah pemerintah pusat
kepada 123.000 pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis
dijadikan model simpan pinjam yang kini telah berkembang 126%. Bukti dari
lapangan ini menunjukkan bahwa rakyat / penduduk miskin tidak pernah
memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan (charity)
tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang
mampu mengembangkan masyarakat desa yang mandiri dan percaya diri. Dalam
kaitan ini saya sedih sekali dan sulit memahami arogansi pakar-pakar
ekonomi dan sosial yang enggan pergi ke desa-desa dan selalu menolak
hasil-hasil penelitian apapun yang menunjukkan rakyat/penduduk miskin
bukan orang-orang bodoh, malas, sehingga hanya bisa maju dengan instruksi
dari pemerintah atau orang-orang “pandai” dari luar. Dari kasus ini
terbukti bahwa justru bukan rakyat/penduduk miskin yang bodoh/malas,
tetapi para pakar ekonomi/sosial itulah sebenarnya yang malas/bodoh. Dalam
pada itu aparat birokrasi yang berbicara lancar tentang segala program
“taskin”, dalam kenyataan sering memperlihatkan kepedulian dan
komitmen yang amat rendah terhadap kehidupan dan nasib penduduk miskin di
daerahnya. Ada seorang bupati di Bengkulu yang tidak peduli pada anggota
pokmas IDT yang telah ditipu pengusaha pemasok sapi setempat padahal 4
bulan sebelumnya sudah ada “laporan” masuk tentang hal itu di
kantornya. Di Maluku seorang pejabat PMD kecamatan tidak berterima kasih
tetapi malah mengeluh “tambah kerjaan” saat dikonfirmasi (1996) bahwa
seluruh kota di propinsi, kabupaten/kota di “IDT” kan. Faktor-faktor itulah yang secara
keseluruhan mempersulit upaya penanggulangan kemiskinan bersasaran di
Indonesia.
III.
Lokakarya kita 2 hari ini bagi sementara orang memang bertajuk
kurang menarik, yaitu hanya membahas “aplikasi manual tentang
penanggulangan kemiskinan bersasaran” (A Manual for Evaluating
Targeted Poverty Alleviation Programmes), “lebih-lebih”
dengan bahasa Inggris. Namun karena telah ada putusan panitia
penyelenggara bahwa pada hari kedua ini kita boleh penuh menggunakan
bahasa Indonesia atau bagi saya bahasa Jawa di sana-sini, sebaiknya
kita berusaha maksimal memanfaatkannya. Manual yang dimaksud dan kuisioner
yang menyertainya telah saya terapkan (diujicobakan) di 5 kabupaten/kota
di propinsi DIY mulai September 2002–Januari 2003 dan sebagian hasilnya
saya laporkan dalam makalah dengan
bahasa Inggris yang “bopeng-bopeng”.
Tiga
kritik utama saya terhadap manual ini adalah: Pertama,
pendekatannya masih kurang cocok dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya riil
Indonesia yang masih bersifat dualistik, yaitu masih adanya perbedaan
besar antara sektor modern-industrial dan sektor tradisional perdesaan
(ekonomi rakyat). Kedua, pendekatan terhadap
responden/peserta program penanggulangan kemiskinan bersasaran (PKB)
sangat individual/perorangan, padahal dalam kenyataan di semua program PKB
peranan kelompok masyarakat (Pokmas) sangat besar. Ketiga,
pada bidang usaha/kegiatan ekonomi diasumsikan adanya pemisahan yang
jelas/tegas antara kegiatan ekonomi rumah tangga sehari-hari dengan
usaha/bisnis termasuk dalam pembukuannya. Namun harus diakui bahwa manual
ini benar-benar sangat bermanfaat dan menggugah kita di Indonesia yang
selama ini belum pernah membuat upaya-upaya seperti ini, yaitu mengadakan
evaluasi secara kuantitatif dampak program (sosial/ekonomi) PKB.
Memang
kita sudah sering berbicara tentang MONEV (Monitoring and Evaluation)
tetapi belum pernah mengukur secara kuantitatif dampak program-program ini
pada tingkat rumah tangga (household), lebih-lebih pada tingkat
pemanfaat langsung (beneficiary) dan juga pada tingkat Pokmas
beranggotakan 15-30 orang. Jadi yang sering terjadi, meskipun kita sering
megadakan MONEV di berbagai daerah kabupaten/kota atau propinsi, namun
laporannya selalu bersifat non kuantitatif, yaitu, baik, sedang, kurang,
dan sebagainya, dan tidak pernah dapat menunjukkan berapa persen
pendapatan penduduk/penerima manfaat telah meningkat sebagai hasil dari
program tertentu dan berapa persen penduduk miskin telah menjadi tidak
miskin lagi per desa, per kabupaten, dan per propinsi. Satu dua propinsi
seperti DIY dan Bali melaporkan berhasil melaksanakan program IDT, tetapi
tidak ada laporan secara kuantitatif berapa ribu orang telah dibebaskan
dari kemiskinannya selama 8-9 tahun program IDT, dan berapa persen
kenaikan pendapatan mereka yang telah tidak miskin lagi.
Dampak
negatif belum adanya evaluasi kuantitatif ini sangat jelas yaitu
pemerintah tidak pernah mampu
untuk mempertajam program-progam PKB, yaitu di daerah-daerah mana saja
program-program perlu dikendorkan karena masyarakat/ ekonomi rakyat sudah
dapat mandiri/diberdayakan, dan di daerah mana saja program-program masih
perlu ditingkatkan berdasar dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan
program-program serupa di daerah yang telah berhasil seperti DIY dan Bali
tersebut. “Studi banding” dalam arti sebenarnya jarang dilakukan
pejabat, bahkan jika mereka bertemu dalam konperensi nasional/regional pun
yang mereka tukar pendapatkan bukan upaya-upaya konkrit melaksanakan
program-program yang baik tetapi sekedar omong-omong “kagum-mengagumi”
praktek-praktek tertentu tanpa tindak lanjut perincian program-program
yang dikagumi sebagai program-program yang berhasil.
Maka
Manual ESCAP ini dengan penyempurnaan-penyempurnaan kita dan penyesuaian
tertentu pada budaya nasional/regional kita di Indonesia dapat menjadi
titik awal metode ilmiah evaluasi (dan monitoring) macam-macam PKB kita
seperti yang kini kita laksanakan, yaitu PPK. PPK yang merupakan
peningkatan program IDT dalam perhitungan kita baru dapat meningkatkan
pendapatan sebessar 11% dibanding 97% pada program IDT (pada tingkat rumah
tangga/household), meskipun pada tingkat pemanfaat (beneficiaries)
sebesar 63,2%, lebih tinggi dibanding IDT yang 35,4%.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepaa UN-ESCAP yang
telah memberikan kepercayaan untuk mengujicobakan manual ini di
Yogyakarta, tempat kedudukan kami. Seandainya lokakarya ini dapat
dilaksanakan di Yogyakarta tentu dapat lebih menarik lagi bagi para
peserta yang kemudian dapat mengadakan pembicaraan “tatap muka”
langsung dengan orang-orang anggota pokmas yang telah naik tingkat dari
miskin menjadi tidak miskin lagi. Mudah-mudahan pemerintah Indonesia dapat
benar-benar tergugah untuk melaksanakan evaluasi-evaluasi kuantitatif
seperti ini di semua daerah dan hasil-hasilnya ditindaklanjuti setiap
tahun dalam bentuk penajaman program-program penanggulangan kemiskinan
bersasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar