CAP sudah melekat pada namanya selama bertahun-tahun: pengkhianat
bangsa. Itu gara-gara Aru Palaka, raja Bone (1667-1672), bersekutu
dengan VOC menghancurkan Kerajaan Goa, yang dipimpin Sultan Hasanuddin.
Tapi, betulkah Aru Palaka yang hingga kini diagung-agungkan masyarakat
Bugis itu seorang antek penjajah, sebagaimana tertulis dalam buku- buku
pelajaran sejarah di sekolah? Sebuah seminar dua hari di Watampone,
Sulawesi Selatan, pekan lalu mencoba menelusuri kontroversi itu. Aru
Palaka, menurut buku sejarah di sekolah, adalah seorang bangsawan dari
Bone. Ia lahir pada zaman kerajaan-kerajaan lokal sedang bersaing
mempertahankan keberadaannya. Aru Palaka terbuka matanya melihat
penderitaan rakyat Bone di bawah kekuasaan Kerajaan Makassar (Goa-Tallo)
yang dipimpin Raja Hasanuddin.
Ribuan orang Bone dipaksa bekerja rodi membangun parit di
benteng-benteng pertahanan Goa untuk menghadapi serbuan Kompeni.
Antipati Aru Palaka pada Kerajaan Goa memuncak karena ayah dan pamannya
dibunuh tentara Goa. Ia dan sekitar 400 pengikutnya terpaksa lari dan
minta suaka ke Buton setelah Kerajaan Bone diserbu Makassar. Dendam
inilah yang mendorong Aru Palaka walau bukan putra mahkota Bone
berambisi menjadi raja dengan memerdekakan Kerajaan Bone dari kekuasaan
Goa. Langkah pertama, Aru Palaka yang digambarkan berbadan tegap dan
menyelipkan pedang di pinggangnya berlayar ke Batavia untuk menjalin
kerja sama dengan Belanda. Aru Palaka dan anak buahnya kemudian
memperkuat armada Cornelis Speelman yang bertolak dari Batavia untuk
menggempur Kerajaan Goa. Lewat Perang Makassar itu, Aru Palaka berhasil
memerdekakan Bone. Sultan Bone yang ditahan Hasanuddin pun dibebaskan.
Dan cita-citanya kesampaian setelah Sultan Bone menyerahkan mahkotanya
kepada Aru Palaka. Perang yang berlangsung setahun itu (1666-1667)
berakhir dengan Perjanjian Bongaya. Hasilnya, Kerajaan Makassar harus
melepaskan hak monopoli perdagangan kepada Kompeni dan memberikan
kemerdekan bagi kerajaan-kerajaan yang pernah dikuasainya seperti Bone,
Sopeng, dan Luwu. Namun, interpretasi sejarah Aru Palaka seperti itu
dinilai beberapa sejarawan sendiri kurang tepat. Dalam seminar itu
sejarawan Abdurahman Soerjomihardjo, misalnya, mengungkapkan telah
terjadi anakronisme dalam penulisan sejarah Perang Makassar. Para
penulis sejarah telah melakukan tafsiran yang tak sesuai dengan ruang
dan waktu peristiwanya. Dalam sejarah Perang Makassar itu, kata ahli
sejarah dari LIPI itu, konflik Kerajaan Bone dan Goa tak lepas dari
persaingan kepentingan para aktor yang terlibat seperti Hasanuddin, Aru
Palaka, dan Speelman. Faktanya, katanya, Goa atau Bone, seperti halnya
kerajaan lain yang kini bergabung dalam wilayah Indonesia, adalah negara
merdeka. Bone mau merdeka dari penjajahan Goa, dan Belanda mau merebut
monopoli perdagangan laut dari tangan Goa.
Dalam konteks zaman itu, strategi politik Aru Palaka yang beraliansi
dengan Kompeni untuk meraih kemerdekaan bisa dipahami. Belanda adalah
kekuatan yang bisa diandalkan, dan sama-sama memusuhi Kerajaan Goa.
''Yang terpenting adalah bagaimana dia bisa menjawab tantangan kala itu
secara tepat. Toh waktu itu belum ada konsep wawasan nusantara,'' kata
Anhar, seorang peneliti dari Lemhanas. Dalam perkembangan selanjutnya,
setelah Bone merdeka, Aru Palaka toh tak lagi ingin membalas dendam
rakyat Bugis atas perlakuan Kerajaan Makassar sebelumnya. Bahkan, Aru
Palaka setelah diangkat menjadi raja Bone pun, dan menjadi
''koordinator'' kerajaan- kerajaan di Sulawesi Selatan, tak memanfaatkan
kesempatan untuk memperluas wilayah kerajaannya. Aru Palaka, seperti
terungkap dalam seminar itu, beberapa kali melakukan pembangkangan
terhadap Belanda. Meski begitu, masih banyak soal yang belum bisa
dituntaskan selama dua hari berseminar. Ada pertanyaan yang mengganggu:
Betulkah kerja sama itu sejajar? Dan siapa yang membantu menjatuhkan
Goa? ''Kalau ternyata Aru Palakalah yang membatu Belanda menjatuhkan
Goa, artinya ia antek Belanda. Tapi bisa juga sebaliknya. Ia yang punya
inisiatif, dan dibantu Belanda yang punya motif ekonomi,'' kata Anhar.
Yang tak kalah penting adalah pertanyaan yang dilontarkan peserta lain,
Mukhlis. ''Mengapa di saat kerajaan-kerajaan lokal perang melawan
kekuatan asing justru ia bermesraan dengan Belanda?'' katanya. Apalagi,
tambahnya, kerja sama itu telah menghancurkan tatanan sosial ekonomi
yang dibangun Kerajaan Goa. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti
astronomi dan persenjataan mandek setelah Goa jatuh. Sebuah harga yang
mahal untuk penghancuran Sultan Hasanuddin, seorang tokoh yang dikenal
sebagai ''Ayam Jantan dari Timur'' itu. Seminar ini memang tak menggugat
kepahlawanan Sultan Hasanuddin sendiri, yang disebut gigih melawan
Kompeni. Namun, sempat para peserta seminar sebagian besar orang Bugis
kelewat menggebu mengangkat tokoh Aru Palaka. Sampai-sampai ada yang
mengusulkannya menjadi pahlawan nasional. Tentu tuntutan itu masih jauh
untuk disetujui. Tapi, lumayan pula hasilnya, karena dalam seminar itu
disepakati soal penghapusan sebutan pengkhianat yang melekat pada Aru
Palaka. Dan lagi, tampaknya seminar itu juga membuka mata para pakar
sejarah agar berani mempertanyakan kembali berbagai peristiwa yang
tercatat dalam sejarah yang resmi selama ini.
Entri Populer
-
HOTEL AMBHARA Nongkrongnya di Bar, umur 30-40th. Tarif Rp.200-250ribu Kalau weekend sering ada “mami” bawa beberapa “anak2 kece2, bisa dit...
-
Siapa tidak kenal Kalijodo? Pasti sebagian besar warga Jakarta sudah mengenalnya. Sebagai daerah 'hitam', lokalisasi kawasan ini d...
-
10 tempat Klub dugem dan bar terbaik di jakarta , info berasal dari beberapa sumber - Popularitas klub di Jejaring sosial dan Jumlah p...
-
Meskipun tinggal di Jakarta dan digaji besar, aku lebih suka tinggal di perkampungan. Kosku berada di wilayah Jakarta Selatan dekat perbat...
-
AGEN BOLA - Untuk satu hal, ada beberapa jenis spa. Jenis pertama adalah tujuan spa. spa hanya drop in untuk perawatan seperti pijat, fac...
www.sewamobilbox.biz
BalasHapus