Sebenarnya, Siri’ tidak hanya dikenal
dalam wacana budaya Bugis-Makassar, tetapi juga di kalangan Suku Toraja
dan Mandar yang mendiami daratan Sulawesi Selatan. Kendati demikian,
dalam buku ini, dengan tidak mengurangi eksistensi dua suku bangsa
lainnya di daerah ini, hanya mengetengahkan suku Bugis-Makassar. Telah
lama orang-orang Bugis-Makassar memegang teguh Siri’ (rasa malu / harga
diri). Bahkan Siri’ sudah merupakan inti kebudayaan Sulawesi Selatan.
Menjadi inspirasi dari setiap gerak langkah orang-orang Bugis-Makassar
kapan dan di manapun dia berada. Sebagai inti kebudayaan, Siri’ jelas
tampak dalam karakter dan kepribadian orang-orang Bugis-Makassar. Meski
begitu, ada kecenderungan Siri’ mengalami penyempitan makna dan makin
kabur aplikasinya di tengah masyarakat sendiri. Akibatnya, Siri’ kadang
terlupakan dan dikesampingkan dalam soal-soal pelayanan publik. Kondisi
ini menimbulkan bertambahnya pelaku kejahatan korupsi, misalnya.
Mengapa? Karena Siri’ hanya diidentikkan dengan pertumpahan darah. Siri’
dalam konteks ini tampaknya baru berlaku ketika seseorang sudah
menganggap dirinya dipermalukan. Padahal sesungguhnya, dengan berlaku
baik–paling tidak–bisa menghindari kelakuan yang oleh masyarakat
dipandang buruk, atau bertentangan dengan hukum yang berlaku, juga
merupakan implementasi Siri’ sebagai perlambang tegaknya sebuah harga
diri. Harga diri sebagai orang-orang Sulawesi Selatan. Sebab, hanya
disebut manusia jika seseorang memiliki Siri’
SUKU BUGIS adalah suku yang tergolong ke dalam suku Melayu muda. Masuk ke SULAWESI SELATAN setelah gelombang migrasi pertama dari daratan ASIA
tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti
orang Bugis. “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara
Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya di
Kabupaten Wajo yaitu LA SATUMPUGI
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada
raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau
orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
SUKU BUGIS adalah suku terbesar ketiga di Indonesia setelah suku Jawa dan Sunda. Berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dan menyebar pula di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,Pulau Kalimantan, Irian, Jawa Bali dan Kepulauan Riau, dan sampai ke Negara Singapore, Malaysia, Berunai Darussalam dan sampai ke Afrika Selatan.
SUKU BUGIS adalah suku terbesar ketiga di Indonesia setelah suku Jawa dan Sunda. Berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dan menyebar pula di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,Pulau Kalimantan, Irian, Jawa Bali dan Kepulauan Riau, dan sampai ke Negara Singapore, Malaysia, Berunai Darussalam dan sampai ke Afrika Selatan.
Terlepas orang Bugis “kembali” atau tidak, Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau sampai detik tulisan ini dibuat. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.
Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.
Buku setebal 500 halaman ini merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.
Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan: “…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).
Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil kasus orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, yaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.
Alasan di atas berlanjut: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.
Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, hitung-hitung dia bisa berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?
Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kesehariannya, misalnya sebagai isteri/suami, teman sekantor, rekan bisnis, dan sahabat juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.
Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis identik sebagai orang di Nusantara yang kuat identitas keislamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar