Parade pasukan ‘Tobarani’ yang
mengusung 14 panji kebesaran Kerajaan Gowa diiringi tetabuhan gendang ‘Tunrung
Pakanjara’ mewarnai upacara peresmian selesainya pekerjaan revitalisasi
pengangkatan ‘Balla Lompoa,’ Senin siang, 9 Maret 2011. Balla Lompoa (Rumah
Besar) ini dibangun di tengah Kota Sungguminasa tahun 1936 oleh Raja Gowa
ke-35, I Mangi-mangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo, sebagai istana Raja Gowa.
Museum Balla Lompoa di kota
Sungguminasa, Kabupaten Gowa/Ft;Abd.Madjid
Suasana
peresmian terasa menjadi lebih semarak karena didahului penampilan fragmen
budaya dan pembacaan sajak beraroma sejarah Kebesaran Gowa masa silam oleh
Seniman Budayawan Sulsel, H.Udhin Palisuri.
”……Karampang
ri Gowa tiada kuburnya, lenyap menghilang ke negeri khayangan/Tunatangkalopi
dalam sukma, Gowa na Tallo, ”Se’re ata, na rua karaeng”/Tummaparrisik Kallonna
pindahkan ibukota kerajaan, dari Tamalate ke Somba Opu/Tunipalangga Ulaweng,
izinkan seorang melayu, Nakhoda Bonang berdiam di Gowa/Hak istimewa pedagang
dari Pahang, Patani, Johor, Campa dan Minangkabau/I Mangorai Daeng Mammeta
menjalin persahabatan dengan Mataram, Raja Banjarmasin, Blambangan, Raja
Kepulauan Maluku, Timor, Johor, Pahang, Malaka dan Patani Thailand/I Tepu
Karaeng Daeng Parabbung dipaksa rakyat turun tahta, keluar dari kerajaan
Gowa/Dari Batara Guru, Karaeng Bayo, Tomanurung Bainea sampai Raja Gowa
terakhir Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Laloang Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aididdin/Gowa jejak sejarah/Gowa dalam sejarah/Sekarang Gowa membuat sejarah……”(Petikan puisi berjudul ‘Gowa adalah Sejarah, Gowa Buat
Sejarah’ oleh H.Udhin Palisuri)
Pangdam VII/Wirabuana bersama
Gubernur Syahrul Yasin Limpo dan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dalam peresmian
revitalisasi Balla Lompoa/Ft:Abd.Madjid
Peresmian
dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, H.Syahrul Yasin Limpo didampingi adik
kandungnya, H.Ichsan Yasin Limpo yang Bupati Gowa. Disaksikan Pangdam VII
Wirabuana, Dan Lantamal Makassar, Kapolda Sulselbar, Muspida Sulsel, Kajati
Sulsel, Bupati Bantaeng HM.Nurdin Abdullah serta sejumlah wakil dari pemerintah
kabupaten/kota di Sulsel. Selain dihadiri seluruh pejabat teras di lingkungan
Pemkab Gowa, anggota legislatif, para camat dan kepala desa, sesepuh, tokoh
masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, para keturunan sekaligus kerabat bekas
Raja-raja Gowa, serta ribuan undangan dan masyarakat umum yang bebas
menyaksikan upacara peresmian ini secara langsung.
Menurut
Andi Kumala Andi Idjo, salah seorang anak dari Raja Gowa ke-36 (Raja Gowa
terakhir), Andi Idjo Karaeng Laloang, Balla Lompoa yang berbentuk rumah
panggung kayu berarsitektur adat etnis Makassar dengan luas lantai sekitar 600
meter bujursangkar tersebut, hingga tahun 1946 masih difungsikan sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Gowa. Dengan berakhirnya masa kerajaan pascaproklamasi
Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Balla Lompoa kemudian diserahkan untuk
dikelola oleh Pemerintahan RI.
Namun
menurut Bupati Gowa, H. Ichsan Yasin Limpo, nanti tahun 1977 sebutan Istana
Balla Lompoa diubah disesuaikan dengan fungsinya yaitu menjadi Museum Balla
Lompoa. Penggantian nama Istana menjadi Museum tersebut dilakukan pada saat
mantan Raja Gowa terakhir, Andi Idjo masih hidup.
”Jadi
tidak benar kalau kemudian ada pihak lain yang kemudian tampil mengklaim
sebagai pemilik Balla Lompoa,” jelas Bupati Ichsan Yasin Limpo.
Sebagaimana
diketahui, ketika Pemkab Gowa akan mengangkat Balla Lompo tahun 2010 lalu,
beberapakali muncul demo yang menentang rencana tersebut dari orang-orang yang
menyatakan diri sebagai pewaris Balla Lompoa.
Upaya
pengangkatan Balla Lompoa yang bernilai Rp 2 miliar murni dari APBD Kabupaten
Gowa, merupakan bagian dari pekerjaan Revitalisasi Kawasan Museum Balla Lompoa
yang dilakukan oleh Pemkab Gowa sejak tahun anggaran 2009. Kawasan seluas
sekitar 3 hektar berlokasi di tengah Kota Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa
tersebut, riwayat tanah awalnya merupakan pemberian dari ayahanda mantan
Menteri Otoda, Ryas Rasyid. Di dalamnya selain berdiri ‘Balla Lompoa,’ juga
sudah dibangun duplikat Istana Tamalate (bangunan istana Raja Gowa tempo
dulu tapi tak ada lagi aslinya) berukuran tiga kali lebih besar dari ‘Balla
Lompoa’.
Ketika
dilakukan pembangunan duplikasi Istana Tamalate (dilakukan berdasarkan
bentuk dan ukuran sebenarnya yang tercatat dalam catatan naskah tua Lontara) di
samping kanan Balla Lompoa oleh Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel) saat
masih menjabat sebagai Bupati Gowa, sekaligus dilakukan penataan lingkungan
sekitarnya. Posisi Istana Balla Lompoa pun tampak kelihatan agak kerendahan.
Dasar dari tempat tegaknya Balla Lompoa itulah yang dinaikkan sekitar 320
centimeter, ditata dalam bentuk pelataran berlantai marmer sehingga Balla
Lompoa kini tampak anggun bersanding dengan bangunan duplikasi Istana
Tamalate.
”Kami
merasa sangat berbahagia sekaligus bangga dengan keberhasilan meninggikan Balla
Lompoa tanpa merusak satupun bagian dari benda cagar budaya tersebut. Dalam
proyek revitalisasi Museum Balla Lompoa kami sama sekali tidak mengubah
sejarah, tidak memodernisasi sejarah, tapi senantiasa berupaya untuk menjaga
kelestarian sejarah, dan akan membuat sejarah baru yang terbaik bagi kehidupan
ke depan,” komentar Bupati Gowa H.Ichsan Yasin Limpo dalam sambutan pengantar
acara peresmian.
Terhadap
upaya revitalisasi menaikkan Balla Lompoa dengan cara manual tanpa merusak
sedikitpun komponen isi dan konstruksi bakas Istana Raja Gowa tersebut, pihak
Museum Rekor Indonesia (MURI) pada hari peresmian, memberikan penghargaan
sebagai ‘Rekor Baru’ kepada Pemerintah Kabupaten Gowa. Penghargaan dari MURI
ini merupakan yang kedua diberikan kepada Kabupaten Gowa, setelah sebelumnya
daerah ini mencatat kemampuan membuat makanan khas etnis Makassar Ka’do
Minnya’ terbesar.
Menurut
info yang disampaikan Bupati Gowa, pihak Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Pusat sudah menyatakan kesediaan akan membantu dana sebesar Rp 3 miliar bagi
kelanjutan Revitalisasi Kawasan Museum Balla Lompoa di Sungguminasa, Gowa.
Dalam rencananya ke depan akan dibuat selasar yang menghubungkan bangunan Balla
Lompoa dangan Istana Tamalate sehingga menjadi rumah kayu terbesar di dunia.
Kawasan ini pun akan dikelola oleh suatu Badan tersendiri, yang didalamnya akan
menjadi pusat kegiatan seni dan budaya etnis Makassar. Dihidupkan sebagai obyek
rekreasi dan wisata sejarah, seni budaya yang menarik. Tiap tanggal 17 setiap
bulan akan dilakukan gelar pasukan ‘To Barani’ - Prajurit Pemberani Gowa
di masa kerajaan dangan iringan gendang pemacu semangat ‘Tunrung Pakanjara.’
”Ini
tanda-tanda hari esok yang akan lebih baik,” ucap Gubernur Sulsel, H. Syahrul Yasin
Limpo sesaat sebelum meresmikan selesainya revitalisasi pengangkatan Balla
Lompoa.
Ibunda Ny.Hj.Nurhayati Yasin Limpo
bersama penyair H.Udhin Palisuri/Ft:Abd.Madjid.
Majunya
sebuah Negara atau suatu daerah, kata mantan Kepala Biro Humas Pemprov Sulsel
ini, tidak hanya ditentukan oleh lamanya keberadaan suatu bangsa atau daerah,
tidak juga oleh besaran potensi atau luas wilayahnya, tapi banyak bergantung
bagaimana penduduk bangsa atau daerah itu mampu memegang teguh jati dirinya.
Termasuk mampu memelihara kekuatan kulturalnya, menghargai sejarah, seni dan
budayanya.
Gowa,
disebutkan, sejak dulu dikenal sebagai tempat lahirnya para prajurit tangguh
dan pemberani, tapi sangat menyukai persahabatan. Ini salah satu jati dirinya.
”Ibarat irama gendangnya yang sekalipun menghentak kencang, tapi penarinya
tetap tak terpengaruh bergerak gemulai mengikuti aturannya. ”Bekerjalah menjadi
yang terbaik mengabdi kepada kehidupan. Dan, mengucapkan Selamat Ulang tahun
buat Bupati Gowa,” kata Syahrul Yasin Limpo di akhir sambutannya.
Saat
peresmian selesainya revitalisasi pengangkatan ‘Balla Lompoa’ 9 Maret 2011,
memang, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ‘Emas’ yang ke-50, Bupati Gowa, H.
Ichsan Yasin Limpo. Mata Ny.Hj.Nurhayati Yasin Limpo - ibunda Syahrul dan
Ichsan yang hadir dalam upacara peresmian, tampak basah berkaca-kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar