Inilah sejatinya inti tauhid. Namun dalam tauhid inilah justru
bertabur penyimpangan. Betapa banyak ritual kesyirikan yang
dipersembahkan untuk hewan keramat seperti Kyai Slamet, tokoh-tokoh
rekaan macam Nyi Roro Kidul, atau benda/tempat “keramat” yang jumlahnya
tak terhitung lagi. Juga “aksesoris” kesyirikan berupa jimat, rajah
penolak bala, dsb. Di dunia modern pun kita mengenal astrologi, feng
shui, dan sejenisnya. Pertanyaannya, di mana pengakuan bahwa Allah Maha
Pelindung, bahwa Allah yang mengatur segala urusan makhluk-Nya termasuk
rizki, karir, jodoh, dan lainnya?
Dzat yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, selayaknya manusia
hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Inilah yang disebut dengan
Tauhid Uluhiyyah. Setelah ini, kita akan meringkas penyebutannya dengan
satu kata saja yaitu tauhid. Karena inilah intisari dari seluruh jenis
tauhid.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan bagi manusia berbagai sarana
dan prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan
peribadahan kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membantu mereka
untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rizki. Sedangkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para
makhluk-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ. مَا
أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ. إِنَّ
اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)
Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitrah. Namun asal
fitrah ini bisa dirusak oleh bujuk rayu setan yang memalingkan dari
tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para setan baik dari kalangan
jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan manusia dengan
ucapan-ucapan yang indah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ
وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-pekataan yang
indah-indah untuk menipu manusia. Kalau seandainya Rabbmu menghendaki
niscaya mereka tidak akan memperlakukannya, maka biarkanlah mereka dan
kedustaan yang mereka perbuat.” (Al-An’am: 112)
Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia
Mulai masa Nabi Adam ‘alaihissalam sampai kurun waktu yang cukup panjang
setelahnya, manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama
tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّيْنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ
“Dahulu manusia itu adalah umat yang satu. Maka Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (Al-Baqarah:
213)
Kesyirikan berawal pada masa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Maka Allah
mengutus Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai rasul yang pertama. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوْحٍ وَالنَّبِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِهِ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami
telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya.”
(An-Nisa`: 163)
Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh ‘alaihimassalam adalah sepuluh
generasi yang seluruhnya berada di atas Islam, sebagaimana penjelasan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu,
ini merupakan pendapat yang benar. (Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan
hal. 440)
Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu membaca firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّيْنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ
“Dahulu manusia itu adalah umat yang satu, lalu mereka berselisih,
maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan.”
Bacaan Ubay bin Ka’b di atas dikuatkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلاَّ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا
“Dahulu tidaklah manusia melainkan umat yang satu, kemudian mereka berselisih.” (Yunus: 19)
Maksud pernyataan Ibnul Qayyim sebelumnya bahwa para nabi diutus karena
perselisihan manusia, mereka telah keluar dari agama yang benar
sebagaimana yang mereka pegangi sebelumnya.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
yaitu tauhid. Hingga datang ‘Amr bin Lu`ai Al-Khuza’i yang kemudian
mengubah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Melalui orang ini,
tersebarlah penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, khususnya wilayah
Hijaz. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama
tauhid dan mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau berjihad
di jalan Allah dengan sebenar-benarnya sampai agama tauhid tegak kembali
dan runtuh segala penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah
menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi alam semesta. Selanjutnya,
generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid.
Namun setelah masa mereka berlalu, umat ini kembali didominasi oleh
berbagai kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru
yang mengembalikan kepada kesyirikan. Bahkan pengaruh dari agama-agama
lain cukup kuat mewarnai semangat keagamaan yang mereka miliki.
Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru
kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan
kuburan-kuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan
orang-orang shalih secara berlebihan. Sehingga kuburan menjadi tempat
pengagungan, lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai
amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan,
nadzar dan yang selainnya. (lihat Kitabut Tauhid karya Asy-Syaikh Dr.
Shalih Al-Fauzan, hal. 6-7)
Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini.
Hari-hari belakangan ini, kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda
kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka yang mengerti tentang
tauhid dan bersih dari syirik. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
Asy-Syaikh pernah berkata: “Di awal umat ini, jumlah orang yang
bertauhid cukup banyak, sedangkan di masa belakangan jumlah mereka
sangat sedikit.” (Qurratul ‘Uyun hal. 24)
Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan
sebagian masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya
walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Karena itu perlu untuk
membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena
tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling wajib untuk
ditunaikan oleh manusia. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tauhid, Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Segenap Manusia
Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling wajib untuk
ditunaikan oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menciptakan
manusia kecuali untuk bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sebagian ulama menafsirkan kalimat:
لِيَعْبُدُوْنِ
“Supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
dengan makna: لِيُوَحِّدُوْنِ (supaya mereka mentauhidkan-Ku.) (Lihat Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/20)
Jika peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disertai dengan
bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan
batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh
amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan berkategori syirik
besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para
nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan
yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tidak disertai tauhid dan bersih
dari syirik.
Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta, Pemilik,
dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang
ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan semua itu dengan hikmah
yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala untuk mendapatkan hak peribadatan dari para makhluk-Nya tanpa
disekutukan dengan sesuatupun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia setelah sebelumnya
mereka bukanlah sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam
ini merupakan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disertai dengan
berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak
manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di
dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa
menyampaikan makanan, minuman, serta menjaga kehidupannya melainkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibu hanyalah sebagai penghubung untuk
mendapatkan rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tatkala lahir ke dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan
baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh
kasih sayang dan tanggung jawab.
Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap
segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak
manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia
akan binasa. Demikian pula jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi
rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka
tidak akan bisa hidup di dunia ini.
Rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sedemikian rupa
menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu
beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah meminta
kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala
limpahan rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kita. Sebab
perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita
hembuskan, di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang tak terhitung dan tak ternilai.
Oleh karenanya, nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala tenggelam tanpa meninggalkan bilangan, di dalam lautan rahmat
dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki
kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa.” (Thaha:132)
Ketika manusia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa berbuat
syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan
membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat
ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.
Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Itulah Tauhid Uluhiyyah yang harus dibersihkan dari berbagai noda
syirik.
Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِيْنَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.”
(Al-Ma`idah: 72)
Sementara mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah
menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan
kezaliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.”
(Al-An’am: 82)
Kezaliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan, sebagaimana
yang ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk
antusias menyambut keberuntungan ini. Janganlah kita lalai sehingga
terjatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di
kemudian hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِيْنَ الَّذِيْنَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ
وَأَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلاَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ
الْمُبِيْنُ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang
yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.’
Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Az-Zumar: 15)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Merealisasikan Tauhid
Orang yang beriman tentu ingin membuktikan keimanannya sehingga dia
dinobatkan sebagai seorang mukmin sejati. Tidak ada jalan untuk
mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid
kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan
memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas
atau tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari
kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus. Maka, seorang
yang berkemauan untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus
memenuhi kriteria sebagaimana yang diutarakan di atas.
Merealisasikan tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan
sebaik-baiknya. Yang dimaksud yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam perkara ibadah dan mentauhidkan Rasul-Nya dalam hal
mengikuti.
Seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat hendaknya membersihkan
tauhid dari berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak diikuti
taubat. Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid La ilaha ilallah.
Di samping itu, dia harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan
agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid Muhammadur
Rasulullah. Demikianlah makna merealisasikan tauhid secara sempurna.
Di samping terbebas dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik
yang jelas atau tersembunyi, seorang yang bertauhid harus terlepas pula
dari segala kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus tanpa
bertaubat. Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti
mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hawa nafsu. Demikian
pula makna yang terkandung dalam berbuat sebuah dosa besar. (Penjelasan
ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh di
kaset pelajaran Kitabut-Tauhid)
Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:
1. Tingkat yang Wajib
Yaitu seseorang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan
memurnikannya dari berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan dosa besar
yang dilakukan terus-menerus. Ini merupakan tingkat yang wajib bagi
orang yang ingin merealisasikan tauhid dengan sempurna.
2. Tingkat yang Mustahab
Tingkat ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. Oleh sebab
itu, tingkat ini lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama.
Seorang yang ingin menduduki tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud
penghambaan diri, keinginan, dan tujuan yang menghadap kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga dirinya tidak menghadap,
berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
sedikit pun dan sekecil apapun. Sehingga hawa nafsu menjadi budaknya,
sedangkan dirinya menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala secara total
dan utuh.
Dengan demikian, seseorang yang menempati tingkat ini tidak hanya
meninggalkan berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan.
Namun juga meninggalkan perkara-perkara yang makruh, bahkan sebagian
perkara mubah yang dikhawatirkan menggiring kepada perkara haram. Inilah
yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan pernyataan:
يَتْرُكُوْنَ مَا لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ بَأْسٌ
“Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa karena khawatir terdapat dosa di dalamnya.”
Tingkatan kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid
secara sempurna dalam meraih derajat yang setinggi-tingginya ketika
masuk surga. Sedangkan tingkat yang pertama adalah standar untuk masuk
surga tanpa azab dan perhitungan amal.
Tentunya kedua tingkatan di atas memiliki perbedaan pula dalam hal
mengibadahi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tingkat pertama hanya
mengibadahi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perkara-perkara yang wajib
saja, beda halnya dengan tingkat kedua. Pada tingkat ini, peribadahan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak hanya sebatas perkara-perkara
yang wajib saja, tetapi juga dalam perkara yang mustahab. Tingkat
pertama disebut dengan Al-Muqtashid sedangkan tingkatan kedua disebut
dengan As-Sabiq bil Khairat. Wallahu a’lam.
Kriteria Orang-orang yang Bertauhid
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`anul Karim:
إِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُوْنَ.
وَالَّذِيْنَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ
بِرَبِّهِمْ لاَ يُشْرِكُوْنَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آتَوْا
وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ
يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab)
Rabb mereka, orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka,
orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatupun),
dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan
hati yang takut (karena tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada Rabbnya, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan,
dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Al-Mu`minun:
57-61)
Ayat-ayat di atas menyebutkan kriteria orang-orang yang beriman dan bertauhid dengan baik.
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Rabb mereka.” (Al-Mu`minun: 57)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Mereka berbuat baik dan beramal
shalih karena takut terhadap Rabb mereka dan khawatir ditimpa oleh
sesuatu yang tidak mereka inginkan. Inilah kondisi seorang mukmin, dia
berbuat kebaikan karena takut kepada Allah dan khawatir tidak memperoleh
apa yang mereka inginkan.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu menyatakan, “Seorang mukmin
mengumpulkan antara perbuatan baik dan rasa takut kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sedangkan seorang munafik mengumpulkan antara perbuatan
jelek dan rasa aman dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ
“Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka.” (Al-Mu`minun: 58)
Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala mencakup dua hal:
1. Beriman dengan ayat Allah Al-Kauniyyah.
Maksudnya beriman bahwa segala yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Beriman dengan ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Maksudnya beriman kepada syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan
melalui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat Allah Asy-Syar’iyyah
mengandung tiga hal:
a. Perintah Allah yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b. Larangan Allah yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
c. Kabar yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
syariat-Nya. Kabar ini adalah benar dan tidak mungkin dusta, sebab
datangnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لاَ يُشْرِكُوْنَ
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatupun).” (Al-Mu`minun: 59)
Perlu diketahui bahwa tidak berbuat syirik yang dimaksud dalam ayat ini
adalah makna yang menyeluruh dan mencakup segala jenisnya. Artinya tidak
berbuat syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi.
Ini adalah sifat seorang yang merealisasikan tauhid secara sempurna.
Jika dinyatakan “tidak berbuat syirik” sedikit pun, berarti terlepas
pula dari perbuatan bid’ah dan maksiat. Sebab berbuat bid’ah dan maksiat
merupakan realisasi menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain
Allah. Inilah yang disebut dengan syirik1. Coba perhatikan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ
غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai ilah (sesembahan) nya dan Allah menyesatkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa
kamu tidak mengambil peringatan?” (Al-Jatsiyah: 23)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Menggapai Keutamaan Tauhid
Para nabi menyeru umatnya kepada tauhid karena memiliki keutamaan yang
sangat besar. Nasib baik umat manusia di dunia dan akhirat bergantung
kepada realisasi tauhid. Demikian pula keselamatan hanya bisa diraih
dengan bertauhid.
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang bertauhid berbagai
keutamaan. Semua itu sebagai pelecut bagi kaum muslimin untuk
merealisasikan tauhid.
Setiap penganut tauhid akan mendapatkan jaminan keselamatan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala berupa rasa aman dan petunjuk. Hal ini membuktikan
betapa penting bagi setiap manusia untuk memegangi tauhid. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka
dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (Al-An’am:
82)
Yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah syirik besar. Karena Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ، قَالُوا: فَأَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ
نَفْسَهُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ
بِذَلِكُمْ، أَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ: {إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ}
“Tatkala ayat ini turun, para shahabat bertanya: ‘Siapa di antara
kami yang tidak menzalimi dirinya?’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: ‘(Ayat ini) bukan seperti yang kalian pahami.
Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman: ‘Sesungguhnya syirik adalah
kezaliman yang besar.’?” (HR. Al-Bukhari)
Dengan demikian, seorang yang tidak menjauhi syirik besar tidak akan
memperoleh rasa aman dan petunjuk secara mutlak. Sebaliknya, seseorang
yang bersih dari syirik besar akan mendulang rasa aman dan petunjuk
sesuai dengan tingkat keislaman dan keimanan yang tertanam pada dirinya.
Maka rasa aman dan petunjuk yang sempurna hanya akan diraih oleh
seorang yang bertauhid dan bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
tanpa membawa dosa besar yang dilakukan secara terus-menerus.
Seorang yang bertauhid akan menggapai rasa aman dan petunjuk sesuai
dengan nilai tauhid dan akan hilang sesuai dengan kadar maksiat. Ini
apabila dia memiliki dosa-dosa dan tidak bertaubat darinya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi
dirinya sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di
antara mereka ada yang bersegera berbuat kebaikan dengan seizin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Orang yang menzalimi dirinya (zhalimun li nafsih) adalah orang yang
mencampuradukkan amalan baik dengan amalan buruk. Golongan ini berada di
bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa
Ta’ala berkehendak maka diampuni dosanya, dan bila tidak maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menyiksanya akibat dosanya pula. Namun Allah
Subhanahu wa Ta’ala selamatkan dari kekekalan dalam api neraka sebab dia
bertauhid.
Sedangkan golongan yang pertengahan (muqtashid) adalah orang yang hanya
mengamalkan kewajiban dan meninggalkan perkara yang haram. Ini adalah
keadaan Al-Abrar (orang yang berbuat kebaikan).
Adapun golongan yang bersegera kepada kebaikan (sabiqun bil khairat)
adalah orang yang memiliki kesempurnaan iman dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dalam
berilmu maupun beramal.
Dua golongan yang terakhir akan memperoleh keamanan dan petunjuk yang
sempurna di dunia dan akhirat. Karena sebuah kesempurnaan akan
memperoleh kesempurnaan pula. Dan sebuah kekurangan akan memperoleh
kekurangan pula. Oleh sebab itu, kesempurnaan iman akan mencegah
pemiliknya dari berbagai maksiat dan nantinya akan mencegah dia dari
siksa-Nya, sehingga dia berjumpa dengan Rabbnya tanpa membawa satu dosa
pun yang bisa mengundang siksa. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللهُ شَاكِرًا عَلِيْمًا
“Mengapa Allah akan mengazab kalian, jika kalian bersyukur dan
beriman? Dan Allah Maha ’ensyukuri lagi Maha ’engetahui.” (An-Nisa`:
147)
Penjelasan di atas adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah, dan juga merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal
Jamaah. (lihat Qurratul ‘Uyun karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Alusy Syaikh, hal. 12-13, dinukil dengan sedikit perubahan)
Rasa aman dan petunjuk yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah rasa
aman dan petunjuk di dunia dan akhirat. Ini pendapat yang benar menurut
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. (lihat Al-Qaulul Mufid,
1/58)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan rasa aman yang langgeng bagi
orang-orang yang bertauhid di dalam mengarungi kehidupan dunia. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ
يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُوْنَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan mereka), sesudah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa
mempersekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka itulah orang-orang yang fasik.”
(An-Nur: 55)
Dalam kehidupan akhirat seorang yang bertauhid dengan sempurna akan
menikmati rasa aman dari kekekalan dalam api neraka dan ancaman azab.
Sementara orang yang tidak menyempurnakan tauhid karena melakukan dosa
besar tanpa bertaubat akan mengecap rasa aman dari kekekalan dalam api
neraka, tetapi tidak merasa aman dari ancaman azab. Nasibnya tergantung
pada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, apakah Allah Subhanahu wa
Ta’ala mau mengampuninya atau justru mengazabnya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً
بَعِيْدًا
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa syirik terhadap-Nya dan
akan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang yang Dia
kehendaki, dan barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah sungguh dia
telah sesat dengan kesesatan yang jauh.” (An-Nisa`: 116)
Seseorang yang bertauhid akan menggapai petunjuk kepada syariat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, baik yang berupa ilmu maupun amal dalam menapaki
kehidupan dunia. Ketika di akhirat mereka akan memperoleh petunjuk ke
jalan menuju surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
احْشُرُوا الَّذِيْنَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا
يَعْبُدُوْنَ. مِنْ دُوْنِ اللهِ فَاهْدُوْهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيْمِ
“(Kepada malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkanlah orang-orang yang
zalim beserta teman sejawat mereka dan sesembahan-sesembahan yang selalu
mereka ibadahi, selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke
neraka Al-Jahim’.” (Ash-Shaffat: 22-23)
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang zalim beserta teman sejawat
mereka akan digiring ke jalan menuju neraka Al-Jahim di alam akhirat.
Dipahami dari sini bahwa orang-orang yang beriman (baca: bertauhid) akan
diarahkan ke jalan menuju surga An-Na’im. (lihat Al-Qaulul Mufid,
1/57-58)
Kita tutup pembahasan ini dengan menukilkan keterangan Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di dalam kitabnya Al-Qaulus Sadid (hal. 16-19). Di
sini kita akan memaparkannya dengan lengkap mengingat bahwa penjelasan
beliau tentang keutamaan-keutamaan tauhid sangatlah gamblang dan rinci.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata, “Termasuk keutamaan tauhid adalah:
1. Dapat menghapus dosa-dosa.
2. Merupakan faktor terbesar dalam melapangkan berbagai kesusahan serta
bisa menjadi penangkal dari berbagai akibat buruk dalam kehidupan dunia
dan akhirat.
3. Mencegah kekekalan dalam api neraka meskipun dalam hatinya hanya
tertanam keimanan sebesar biji sawi. Juga mencegah masuk neraka secara
mutlak bila dia menyempurnakannya dalam hati. Ini termasuk keutamaan
tauhid yang paling mulia.
4. Memberi petunjuk dan rasa aman yang sempurna di dunia dan akhirat kepada pemiliknya.
5. Merupakan sebab satu-satunya untuk menggapai ridha Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan pahala-Nya. Orang yang paling bahagia dalam memperoleh
syafaat Muhammad Subhanahu wa Ta’ala adalah yang mengucapkan La ilaha
illallah dengan ikhlas dari hatinya.
6. Penerimaan seluruh amalan dan ucapan, baik yang tampak dan yang
tersembunyi tergantung kepada tauhid seseorang. Demikian pula
penyempurnaan dan pemberian ganjarannya. Perkara-perkara ini menjadi
sempurna dan lengkap tatkala tauhid dan keikhlasan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala menguat. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling
besar.
7. Memudahkan seorang hamba untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan
meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, serta menghiburnya tatkala
menghadapi berbagai musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam
beriman dan bertauhid akan merasa ringan untuk melakukan
ketaatan-ketaatan karena dia mengharapkan pahala dan keridhaan Rabbnya.
Meninggalkan hawa nafsu yang berupa maksiat terasa ringan baginya,
karena dia takut terhadap kemurkaan dan siksa Rabbnya.
8. Bila tauhid sempurna dalam hati seseorang, Allah menjadikan
pemiliknya mencintai keimanan serta menghiasinya dalam hatinya.
Selanjutnya Allah menjadikan pemiliknya membenci kekafiran, kefasikan,
dan kemaksiatan. Lalu Allah menggolongkannya ke dalam orang-orang yang
terbimbing.
9. Meringankan segala kesulitan dan rasa sakit bagi seorang hamba. Semua
itu sesuai dengan penyempurnaan tauhid dan iman yang dilakukan oleh
seorang hamba. Sesuai pula dengan sikap seorang hamba saat menerima
segala kesulitan dan rasa sakit dengan hati yang lapang, jiwa yang
tenang, pasrah dan ridha terhadap ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menyakitkan.
10. Melepaskan seorang hamba dari perbudakan, ketergantungan, rasa
takut, pengharapan dan beramal untuk makhluk. Inilah keagungan dan
kemuliaan yang hakiki. Bersamaan dengan itu, dia hanya beribadah dan
menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mengharap,
takut dan kembali kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan
demikian sempurna keberuntungannya dan terbukti keberhasilannya. Ini
termasuk keutamaan tauhid yang paling besar.
11. Bila tauhid sempurna dalam hati seseorang dan terealisasi lengkap
dengan keikhlasan yang sempurna, amalnya yang sedikit akan berubah
menjadi banyak. Segenap amal dan ucapannya berlipat ganda tanpa batas
dan hitungan. Kalimat ikhlas (La ilaha illallah) menjadi berat dalam
timbangan amal hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala ini sehingga tak
terimbangi oleh langit dan bumi beserta seluruh makhluk penghuninya.
Perkara ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu
‘anhu dan hadits tentang sebuah kartu yang bertuliskan La ilaha ilallah
tapi mampu mengalahkan berat timbangan 99 gulungan catatan dosa, padahal
setiap gulungan sejauh mata memandang. Hal itu karena keikhlasan orang
yang mengucapkannya. Betapa banyak orang yang mengucapkannya tetapi
tidak mencapai prestasi ini, sebab di dalam hatinya tidak terdapat
tauhid dan keikhlasan yang sempurna seperti atau mendekati yang terdapat
dalam hati hamba-Nya itu. Ini termasuk keutamaan tauhid yang tak bisa
tertandingi oleh sesuatu apapun.
12. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin kemenangan dan pertolongan di
dunia, keagungan, kemuliaan, petunjuk, kemudahan, perbaikan kondisi dan
situasi, serta pelurusan ucapan dan perbuatan bagi pemilik tauhid.
13. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghindarkan orang-orang yang bertauhid
dan beriman dari keburukan-keburukan dunia dan akhirat. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menganugerahi mereka kehidupan yang baik, ketenangan
kepada-Nya dan kenyamanan dengan mengingat-Nya.
Cukup banyak dalil yang menguatkan keterangan ini baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah. Wallahu a’lam.
Dengan demikian, cukup besar dan banyak keutamaan yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala limpahkan bagi para hamba-Nya yang bertauhid. Sangat beruntung
orang yang bisa menggapai seluruh keutamaannya. Namun keberhasilan
total hanya milik orang-orang yang mampu menyempurnakan tauhid
sepenuhnya. Tentunya manusia bertingkat-tingkat dalam mewujudkan tauhid
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tidak berada pada satu
tingkatan. Masing-masing menggapai keutamaan tauhid sesuai dengan
prestasinya dalam menerapkan tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Itulah keutamaan Allah, Dia berikan kepada orang yang
dikehendakinya. Dan Allah adalah Dzat yang memliki keutamaan yang
besar.” (Al-Jumu’ah: 4)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Tentu -pada umumnya- bukan termasuk syirik akbar yang mengeluarkan dari agama
Entri Populer
-
HOTEL AMBHARA Nongkrongnya di Bar, umur 30-40th. Tarif Rp.200-250ribu Kalau weekend sering ada “mami” bawa beberapa “anak2 kece2, bisa dit...
-
Siapa tidak kenal Kalijodo? Pasti sebagian besar warga Jakarta sudah mengenalnya. Sebagai daerah 'hitam', lokalisasi kawasan ini d...
-
10 tempat Klub dugem dan bar terbaik di jakarta , info berasal dari beberapa sumber - Popularitas klub di Jejaring sosial dan Jumlah p...
-
Meskipun tinggal di Jakarta dan digaji besar, aku lebih suka tinggal di perkampungan. Kosku berada di wilayah Jakarta Selatan dekat perbat...
-
AGEN BOLA - Untuk satu hal, ada beberapa jenis spa. Jenis pertama adalah tujuan spa. spa hanya drop in untuk perawatan seperti pijat, fac...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar