Jarang sekali diskusi rumah sakit tentang pengorganisasian, kecuali protes organisasi keperawatan tentang tidak adanya komite keperawatan dalam undang-undang itu. Seingat saya, belum ada isu yang membahas tentang keharusan direktur rumah sakit dari tenaga medis. Dalam pasal 34 UU itu, dengan jelas disebutkan ayat (1) Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
Isu ini muncul ketika teman saya menelpon saya untuk menanyakan hal itu. Hal itu menjadi masalah karena sebelum UU itu keluar, tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang kerumahsakitan bisa menjadi direktur rumah sakit. Ketika RUU itu dirancang, memang ada perdebatan apakah direktur rumah sakit harus tenaga medis atau tenaga kesehatan yang menguasai manajemen perumahsakitan. Bisik-bisik dari teman yang mengikuti perkembangan RUU itu mengatakan bahwa pilihan jatuh ke tenaga medis, semata-mata karena kalah jumlah. Komisi yang membidani lahirnya UU rumah sakit itu lebih banyak dokter dibanding bukan dokter.
Sebenarnya, yang perlu dibahas adalah apakah direktur rumah sakit harus tenaga medis? Secara tidak langsung, isu ini bisa dijawab dengan sederhana: kalau harus direktur mengapa di negara lain, baik Eropah, Amerika, maupun Australia, banyak rumah sakit yang dipimpin bukan oleh tenaga medis, bahkan banyak yang bukan tenaga kesehatan. Pada umumnya, kualifikasinya adalah mereka yang menguasai manajemen, baik dokter maupun bukan. Apakah rumah sakit di Indonesia begitu berbedanya dibanding di luar negeri, sehingga direktur rumah sakit harus tenaga medis? Dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit itu disebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (pasal 1). Agar pelayanan berjalan paripurna maka rumah sakit tidak hanya melakukan pelayanan kesehatan sampai ke tingkat yang canggih, tetapi juga pendidikan/pelatihan SDM, penelitian, dan pengembangan. Jadi, tugas direktur adalah sebagai leader dan manajer agar semua kegiatan itu bisa berjalan dengan baik dalam anggaran yang tersedia (rumah sakit publik) serta anggaran yang harus dicari (rumah sakit swasta dan rumah sakit publik melalui kerangka BLU). Dalam menjalankan tugas itu, direktur rumah sakit harus menguasai banyak aspek manajerial mengingat agar sukses ia harus memelihara komunikasi yang baik dengan konsumen dan berbagai pihak yang berkepentingan di luar rumah sakit, serta berkoordinasi dengan puluhan macam tenaga di dalam rumah sakit itu sendiri. Jadi, justru proporsi pelayanan medis hanyalah bagian dari seluruh kegiatan di rumah sakit. Karena itu, tidak salah kalau orang mendefinisikan rumah sakit sebagai organisasi pelayanan yang paling kompleks yang padat modal (peralatan canggih), sekaligus padat karya.
Kalau melihat itu, haruskah direktur rumah sakit tenaga medis? Menurut saya tidak harus. Seorang tenaga kesehatan —tidak harus dokter— yang dilatih dengan baik untuk mengelola rumah sakit mestinya mempunyai potensi untuk menjadi direktur rumah sakit. Bahkan, menurut saya, tenaga ahli di luar kesehatan, namun mempunyai keahlian manajemen rumah sakit atau mempunyai jam terbang yang cukup tentang manajemen rumah sakit, bisa menjadi direktur rumah sakit. Karena itu, banyak ekonom yang menjadi direktur rumah sakit karena memang tuntutannya adalah agar tidak merugi (rumah sakit publik) atau harus untung (rumah sakit swasta).
Bisakah tenaga medis memegang jabatan direktur rumah sakit ? Menurut saya juga bisa, dengan syarat ketika memegang jabatan itu, ia harus berkonsentrasi sebagai pemimpin dan pengelola, sehingga seluruh kegiatan di rumah sakit berjalan seperti orchestra yang dipimpin oleh konduktor yang ahli. Artinya, harus meninggalkan fungsinya sebagai “dokter”. Dokter spesialis pun harus melupakan sejenak keahliannya. Sering kali kata sejenak itu menjadi lama, sebab kalau lihat faktanya, sekali dokter ahli merambah karier manajemen, akhirnya terus menekuni karier itu. Dengan tenaga dokter yang relatif masih langka di negeri kita dan pendidikannya yang memakan biaya besar, bukankah lebih efisien kalau ia berfungsi tetap sebagai dokter spesialis, dan kita memberikan jabatan direktur rumah sakit kepada bukan dokter?
Direktur RS Harus Seorang Dokter ?
Akhir-akhir ini bisnis perumahsakitan terus berkembang, banyak kalangan swasta baik secara individu maupun berkolaborasi membangun rumah sakit, tidak terbatas pada kelompok paramedis maupun individu paramedis, namun banyak dari kalangan non paramedis turut meramaikan dan memanfaatkan peluan bisnis dibidang pelayanan kesehatan. Demikian juga institusi swasta dari kalangan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran atau akan membentuk fakultas kedokteran berusaha mengkaitkan dengan ketersediaan rumah sakit pada institusi tersebut.
Atas fenomena ini kemudian muncul beberapa pertnyaan dari kalangan “awam” menanyakan haruskah seorang direktur rumah sakit seorang dokter atau cukup paramedis non dokter yang memiliki pengalaman tentang perumah sakitan? Dan bolehkan pemilik rumah sakit merangkap jabatan sebagai direktur?
Dalam Permenkes No. 971 tahun 2009, Permenkes RI No. 147?MENKES/PER/I/2010 Tentang perizinan Rumah Sakit dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit memang tidak dicantumkan dengan pasti bahwa direktur rumah sakit haruslah seorang dokter, tetapi hanya menyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan.
Yang relevan untuk dijadikan pedoman penentuan kepala rumah sakit harus dokter adalah:
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.
Apakah Depkes akan melakukan audit terhadap rumah sakit yang memiliki direktur bukan seorang dokter? Jawabnya, ya Depkes akan mengaudit dan memebrikan penilaian atas posisi ini. Depkes memiliki program akreditasi yang harus dilakukan oleh semua institusi pelayanan kesehatan yang menggunakan klasifikasi/nama “Rumah Sakit” dalam bisnisnya.
Berikut adalah perangkat Akreditasi yang digunakan untuk mengaudit keberadaan direktur dan pemilik rumah sakit:
Standard 3. STAFF dan PIMPINAN
Adanya pelimpahan kewenangan dari pemilik kepada pengelola rumah sakit untuk megelola sumber daya manusia (SDM)
S.3.P.1. Pemilik menetapkan tertulis Direktur Rumah Sakit
Skor:
0: Tidak ada Direktur rumah sakit
1: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
2: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
3: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
4: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
5: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi, disertai pemilikan ijazah dan gelar pasca sarjana (S2) dalam bidang manajemen.
DO: Sebutan Direktur rumah sakit dapat juga diberikan dengan nama lain misalnya Kepala, Direktur Utama, Chief Executive Officer (CEO). Kualifikasi Direktur rumah sakit dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.
direktur adalah penanggung jawab sebuah rumah sakit. Manakala sebuah bagian/ruangan di dalam rumah sakit itu melakukan sebuah tindakan medis, maka direktur ikut bertanggungjawab terhadap akibat apapun yg ditimbulkan oleh tindakan tersebut.
BalasHapusContoh : RS di Indonesia yg memiliki dokter anestesi (bius) paling hanya sekitar 20 persen,artinya sekitar 80% bius operasi dilakukan oleh penata anestesi (D3 anestesi).Mereka bekerja dibawah tanggungjawab direktur,kalau direkturnya bukan medis (dokter), siapa yg mau mjd penanggungjawab mereka. kalau tjd sesuatu yg merugikan pasien,tentu bisa dikatakan malpraktek.
Belum lagi ketika harus menghitung anggaran RS utk keperluan medis, kalau bukan dokter, tentu kurang memahami sampai sedetil mungkin keperluan pengobatan medis