Entri Populer

Kamis, 12 Februari 2015

Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930 – 1959: Sejarah dan Perkembangannya

 

Oleh : Lamijo
A. Pendahuluan
Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keutungan dari keberadaan pelacuran.
Jakarta (pada masa kolonial bernama Batavia) merupakan pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yang sekaligus berperan juga sebagai kota pelabuhan, kota perdagangan, serta menjadi salah satu titik awal lintasan kereta api di Jawa.
Dengan kedudukan dan posisinya yang penting dan cukup strategis, Batavia berkembang dengan pesat dan dinamis, baik dari segi pemerintahan maupun ekonomi. Perkembangan perekonomian yang pesat di Batavia, terutama karena ditunjang oleh peran pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan perdagangan internasional, tempat untuk mengekspor hasil-hasil tanaman ekspor Hindia Belanda seperti gula, kopi, dan sebagainya yang semakin meningkat sejak diterapkannya UU Agraria 1870, telah menimbulkan pula akibat sampingan, yaitu semakin suburnya pertumbuhan prostitusi.
Batasan temporal makalah ini adalah tahun 1930-1959. Periode ini setidaknya meliputi masa kolonial akhir, masa pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Tahun 1930 dipilih sebagai batasan awal penelitian ini dikarenakan pada tahun tersebut sedang terjadi krisis ekonomi yang hebat di dunia, di mana efeknya begitu besar di Hindia Belanda. Akibat krisis ekonomi tersebut, sebagian besar aktifitas perekonomian mengalami gangguan yang serius. Kondisi demikian tentu berpengaruh pada lapangan pekerjaan. Akibatnya, muncul berbagai persoalan menyangkut upaya untuk tetap mendapatkan penghasilan agar tetap dapat survive dalam kondisi perekonomian yang serba sulit itu. Salah satu gejala yang kemudian tampak cenderung meningkat adalah berkembangnya aktivitas prostitusi di sentrasentra perekonomian yang sedang goyah, termasuk di Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1959 dipilih sebagai batasan akhir periode dalam makalah ini, karena pada tahun tersebut terjadi pergantian sistem politik di Indonesia, yaitu dari demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin.
Pergantian sistem politik itu secara langsung memang tidak ada pengaruhnya dengan perkembangan prostitusi di Jakarta, namun berbagai situasi sosial dan ekonomi yang serba sulit sejak kemerdekaan hingga memasuki akhir tahun 1950an, yang ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan, setidak-tidaknya memberikan asumsi bahwa proses politik yang terjadi ikut mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi ada. Selain itu, sejak tahun 1950an mulai terjadi arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan perkembangan kota Jakarta dan adanya proses nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di Jakarta, di antaranya masalah prostitusi.
Makalah ini mengkaji sejarah dan perkembangan prostitusi di Jakarta seiring dengan perkembangan dan berbagai perubahan yang terjadi di Jakarta pada kurun 1930-1959. Analisis makalah ini lebih menitikberatkan pada persoalanpersoalan yang melatarbelakangi perkembangan prostitusi, bentuk-bentuk prostitusi, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, akibat yang ditimbulkan oleh aktifitas prostitusi, dan berbagai upaya untuk menanggulangi prostitusi.

B. Sekilas Sejarah Jakarta
Jakarta dalam sejarahnya mengalami beberapa kali pergantian nama seiring dengan pergantian kekuasaan dan penguasanya. Jakarta pada awalnya adalah Sunda Kelapa sebagai kota pelabuhan kerajaan Hindu Pajajaran yang terletak di muara Kali Ciliwung. Banyak kapal dari berbagai belahan dunia dan penjuru nusantara hilir mudik ke pelabuhan ini, sehingga menyebabkan pelabuhan Sunda Kelapa tidak hanya menjadi tempat transit untuk mengambil air tawar, kayu bakar, dan bahan makanan, tetapi juga menjadi tempat perdagangan komoditas yang dicari dan diminati oleh para pedagang dari Asia Barat dan Cina.
Pada tahun 1527 Sunda Kelapa jatuh ke tangan Demak di bawah pimpinan Fatahillah dan namanya kemudian diubah menjadi Jayakarta—yang berarti volbrachte zege atau kemenangan yang nyata— tanggal 22 Juni 1527 dan selanjutnya Jayakarta dimasukkan ke dalam kekuasaan kerajaan Banten. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC berhasil menaklukkan Jayakarta. Setelah Jayakarta berhasil ditaklukkan, kota tersebut kemudian dibakar habis atas perintah J.P. Coen, Gubernur Jenderal VOC saat itu. Di atas reruntuhan kota Jayakarta itu kemudian dibangun sebuah kota baru yang memiliki gaya meniru kota-kota di negeri Belanda dan diperkuat pula dengan bentengbenteng pertahanan. Kota itu kemudian di sebut Batavia. Pada tanggal 4 Maret 1621 untuk pertama kalinya terbentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia. Jadi, pada masa Gubernur J.P. Coen inilah titik awal pembangunan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan dimulai. Setelah VOC runtuh pada tahun 1799, sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1808, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Di bawah pemerintahan Daendels inilah pusat pemerintahan berpindah dari Oud Batavia ke Weltevreden (Nieuw Batavia). Nama Batavia terus bertahan sampai dengan tahun 1942 pada saat kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Tentara Dai Nipon Jepang kemudian secara resmi mengganti nama Batavia menjadi Jakarta Toko Betsu Shi berdasarkan Maklumat Gunseikanbu tanggal 8 Desember 1942, dan nama itu terus bertahan hingga saat ini. Selain perkembangan fisik kota Jakarta yang tampak sangat pesat—dari suatu kota pelabuhan tradisional di masa Sunda Kelapa menjadi kota Batavia di masa kolonial Hindia Belanda, sejak masa awal penjajahan Belanda (masa kekuasaan J.P.Coen) telah berkembang sistem pergundikan di Batavia yang nantinya menjadi salah satu cikal perkembangan prostitusi di Jakarta. Jakarta memiliki sejarah pelacuran yang panjang. Menurut Ridwan Saidi, tempat konsentrasi prostitusi pertama di Jakarta adalah di kawasan Macao Po, yaitu berupa rumah-rumah tingkat yang berada di depan stasiun Beos (sekarang stasiun Jakarta Kota). Disebut demikian karena para pelacurnya berasal dari Macao yang didatangkan oleh para germo Portugis dan Cina untuk menghibur para tentara Belanda di sekitar Binnenstadt (sekitar kota Inten di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang).
Tempat itu juga menjadi persinggahan orang kaya Cina untuk mencari hiburan  Dalam perkembangan selanjutnya pada masa kemerdekaan, terutama memasuki tahun 1950an, terjadi peningkatan arus urbanisasi penduduk dari luar Jakarta ke Jakarta dengan maksud mengadu nasib di ibukota pemerintahan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sejak itu sektor informal, khususnya sektor jasa, di Jakarta pun ikut berkembang seiring dengan tingginya arus urbanisasi. Perkembangan selanjutnya, Jakarta kemudian tidak hanya sibuk di siang hari, tetapi geliat berbagai usaha di sektor jasa pun bermunculan di ambang petang. Geliat Jakarta di waktu malam, terutama denyut nadi perekonomian dari sektor jasa, dalam hal ini adalah jasa layanan seks—prostitusi—mulai tampak menonjol sejak awal tahun 1950an, di mana saat itu terjadi ledakan penduduk di Jakarta, akibat arus urbanisasi yang tidak terkendali. Terbatasnya kesempatan dan lapangan pekerjaan dibandingkan dengan jumlah pekerja berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, sehingga kondisi demikian menjadi salah satu penyebab tumbuh suburnya praktek-praktek prostitusi kelas rendah di seantero Jakarta, seperti di sekitar Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, dan stasiun Senen. Praktik-praktik prostitusi kelas bawah seperti itulah yang dari hari ke hari semakin menguatkan geliat Jakarta di waktu malam.

C. Sisi Kelam Perkembangan Jakarta: Prostitusi Lintas Masa
1. Perkembangan Prostitusi Masa Kolonial Belanda
Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P. Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu. J.P. Coen sendiri bahkan pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan “bermesraan” dengan perwira VOC di kediamannya. Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang. Walaupun Coen secara tegas menolak prostitusi, kenyataannya ia dan pengganti-penggantinya kemudian tidak mampu membendung berkembangnya prostitusi dan prostitusi merupakan masalah klasik yang dihadapi Batavia seiring dengan perkembangan kota ini. Seperti telah disinggung di muka, perkembangan prostitusi pertama di Jakarta terkonsentrasi di kawasan Macao Po (Jakarta Kota) pada abad XVII.
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, maka tempat-tempat pelacuran pun juga mengalami perkembangan dan bergeser—tidak terkonsentrasi di satu tempat saja, misalnya kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekitar jalan Jayakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang Mangga. Tempat ini cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya kegiatan prostitusi, bahkan saat itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan sakit mangga. Dalam perkembangan selanjutnya, kompleks pelacuran Gang Mangga kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordil yang didirikan oleh orang Cina yang disebut soehian. Kompleks pelacuran semacam ini kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh Jakarta. Karena sering terjadi keributan, maka pada awal abad XX soehian-soehian di sekitar Gang Mangga kemudian ditutup oleh pemerintah Belanda. Pemicu ditutupnya soehian adalah peristiwa terbunuhnya pelacur Indo yang tinggal di Kwitang bernama Fientje de Ferick pada tahun 1919 di soehian Petamburan.
Setelah soehian ditutup, sebagai gantinya muncul kompleks pelacuran serupa di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Sampai awal tahun 1970an Gang Hauber masih dihuni oleh para pelacur, sedangkan Kaligot sudah tutup pada akhir 1950an. Faktor kurangnya jumlah perempuan dibandingkan dengan prianya, misalnya selama periode 1860-1930, merupakan alasan logis meningkatnya permintaan jasa prostitusi, sehingga praktek-praktek prostitusi berkembang semakin pesat di masa kolonial Belanda. Pada tahun 1930 misalnya perbandingan jumlah perempuan tiap 1000 pria di Hindia Belanda adalah sebagai berikut: Eropa, 1.000:884, Cina, 1.000:646, dan Arab, 1.000:841. Selain itu, kondisi perekonomian yang stagnan dan cenderung memburuk pada dasawarsa 1930an ketika terjadi krisis ekonomi turut pula mempengaruhi seorang perempuan dalam menentukan keputusan untuk terjun ke dunia prostitusi. Kemiskinan merupakan kondisi tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia selama masa penjajahan. Sebagaimana diketahui, memasuki dasawarsa 1930an, kekuasaan Belanda di Indonesia—dan hampir semua negara di dunia—mulai mengalami tekanan ekonomi, terlebih saat krisis ekonomi melanda dengan dahsyatnya pada tahun 1930. Keberhasilan ekonomi yang dinikmati oleh pemerintah kolonial Belanda berakhir karena depresi ekonomi tahun 1930 itu.
Depresi ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1920an di antaranya disebabkan oleh jatuhnya harga-harga komoditi internasional seperti gula dan kopi, sehingga berdampak pada menurunnya aktivitas ekspor dan impor yang pada akhirnya juga berpengaruh pada berkurangnya kesempatan kerja. Berkurangnya kesempatan kerja secara otomatis meningkatkan jumlah pengangguran. Sebenarnya, kerugian yang diderita oleh Jakarta tidak begitu besar, tidak separah apa yang dialami oleh Surabaya, karena Jakarta tidak terlalu terlibat dalam industri gula. Meskipun krisis ekonomi masih melanda di tahun 1930an, perlu digarisbawahi bahwa selama dasawarsa 1930an sebenarnya ada perkembangan industri di Jakarta dengan indikasi meningkatnya jumlah pabrik yang beroperasi di Jakarta Namun sayang, meningkatnya perkembangan industri tersebut hanya mampu menyerap 19% tenaga kerja dari seluruh angkatan kerja yang ada di Jakarta saat itu, di mana 13% dari tenaga yang terserap adalah orang pribumi. Tenaga kerja selebihnya yang tidak terserap di pabrik/industri bekerja di bidang transportasi (kapal, trem, dan kereta api).
Walaupun demikian, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan pekerjaan yang ada dan menurunnya jumlah impor barang-barang dari luar negeri mengakibatkan pengangguran semakin meningkat. Dari kondisi itulah kemudian muncul suatu gejala menarik yang dapat dilihat di sektor informal yang berkembang cukup menyolok pada masa itu, yaitu meluasnya penjaja jasa, khususnya jasa layanan seksual. Dengan demikian, kita dapat berasumsi bahwa prostitusi yang berkembang di Jakarta pada dasawarsa 1930an ini lebih didominasi oleh faktor kesulitan ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi.

2. Perkembangan Prostitusi Masa Jepang
Berakhirnya penjajahan Belanda oleh Jepang pada tahun 1942 bukan berarti Indonesia bebas dari penjajahan, melainkan justru sebaliknya, semakin memprihatinkan. Penjajah Jepang sebagai ganti kekuasaan Belanda di Indonesia, menjalankan pemerintahan dengan sangat represif. Keadaan ekonomi penduduk sangat parah, sebab segala hasil produksi ditujukan untuk kepentingan Jepang. Jepang juga mengerahkan tenaga rakyat secara paksa yang disebut romusha, untuk membangun prasarana perang, lapangan udara, dan jalan raya. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Banyak penduduk yang hanya berpakaian dari kain goni, sehingga berbagai penyakit kulit diderita oleh penduduk.
Untuk mengurangi penderitaan karena penyekit kulit itu, mereka melepas baji goni lalu mencucinya. Selama menanti baju goni kering, mereka berjemur agar kudis dan penyakit kulit bisa kering oleh sinar matahari. meninggal di berbagai tempat sudah menjadi kejadian lumrah sehari-hari waktu itu. Di sekitar stasiun Tanah Abang waktu itu banyak orang-orang kelaparan, sakit lalu meninggal. Masa pendudukan Jepang merupakan zaman yang paling tidak bisa dilupakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia, sebab penduduk mengalami tekanan lahir dan batin yang luar biasa di tengah suasana perang yang berkepanjangan.
Pada masa pendudukan Jepang, secara ekonomi sosial masyarakat Jakarta mengalami perubahan. Pada masa itu penduduk dianjurkan untuk menggarap semua tanah kosong dengan menanam sayur-sayuran dan pohon jarak tanpa memperdulikan siapa pemilik tanah yang digarap. Penduduk juga diperbolehkan mendirikan gubug-gubug di kebun-kebun yang digarap tersebut. Gubug-gubug itu lambat laun dibangun secara semi permanen sehingga menjadi rumah-rumah sederhana16. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Jakarta selama pendudukan Jepang itu digambarkan sebagai berikut:
“ …Beras masuk ke Jakarta dari Karawang dan pulau Jawa pada umumnya. Tekenan hanya walaupun bagaimana beras misalnya itu adalah bahan strategis. Jadi Jepang tidak mau itu diperdagangkan secara bebas. Sebab, walaupun bagaimana Jepang membutuhkan beras itu sendiri bagi war of fort mereka. Jadi bahan-bahan strategis itu dikuasai oleh mereka ….Jadi orang Jepang perlu menguasai bahan pangan itu untuk usaha peperangan mereka, sehingga bagi kita tidak banyak yang lebih. Dan untuk mendapatkan itu kita bisa melihat antrian di kampong-kampung”.
Selama Jepang menduduki Indonesia, secara fisik dapat dikatakan bahwa Jakarta sama sekali tidak mengalami perkembangan, namun prostitusi dan komersialisasi seks terus berkembang selama pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang inilah disinyalir terjadi eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga ada jaringan perdagangan perempuan untuk dijadikan pelacur. Indikasi ini terkait dengan banyaknya perempuan yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota Indonesia lainnya kepada sejumlah perempuan. Banyak perempuan yang tertarik dengan tawaran itu dan dibawa dan ditampung ke daerahdaerah sekitar pelabuhan Semarang, Surabaya dan Jakarta (Tanjung Priok). Dalam kenyataanya mereka dipaksa melayani hasrat seks para serdadu dan perwira Jepang serta dilarang meninggalkan rumah bordil. Seperti penuturan Kartini,
“Begitu saya naik kapal saya terus disambut oleh tentara Jepang. Ia tertawa dan dengan lancang, ia menggerayangi tubuh saya. Saya menjerit ketakutan tetapi tak ada yang menolong saya. Saya diciumi terus dan dipondongnya saya ke dalam kamar, ia geletakkan saya….dan ketika bangun seluruh badan lemas, pakaian rusak semua, badan sakit semua dan kemaluan ini bengkak. Saya menangis. Tiap-tiap saya menangis dia malah datang lagi dan diulanginya perbuatan itu…dan saya pingsan lagi. Begitu terus sampai saya tidak dapat menangis lagi”.
Pada umumnya perempuan yang tertipu dan dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang (belakangan mereka dikenal sebagai Jugun Ianfu) itu berasal dari latar belakang keluarga pegawai pangreh praja yang takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Janji-janji untuk disekolahkan ke luar negeri tidak disiarkan melalui surat kabar, tetapi dari mulut ke mulut yang ditangani oleh Sendenbu (Jawatan propaganda). Pada masa Jepang, pangreh praja tunduk melaksanakan perintah Sendenbu. Sebagai konsekuensinya, para pangreh praja—dari bupati sampai lurah—harus memberi contoh menyerahkan anaknya.
Mereka tidak boleh hanya berpropaganda, tetapi juga harus jadi suri tauladan. Selain itu, mereka ada juga yang berasal dari perempuan-perempuan desa yang berpendidikan rendah dan atau tidak berpendidikan sama sekali, sehingga tidak mengenal baca tulis. Kebanyakan mereka ini berasal dari desa, yang secara ekonomi sanat miskin. Sebagian masih gadis—malah ada yang masih di bawah umur, ada juga yang telah bersuami dan punya anak. Bagaimana perempuan-perempuan itu bisa terjebak menjadi Jugun Ianfu? Tawaran pekerjaan yang dijanjikan oleh Jepang merupakan pola perekrutran yang dominan.
Masalah kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat situasi ekonomi yang sulit pada masa Jepang menjadi alasan utama para perempuan mudah dijebak dengan iming-iming mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban hidup keluarga. Gambaran kesulitan ekonomi tampak dari apa yang diungkapkan oleh Ibu Lasiyem (seorang mantan Jugun Ianfu) sebagai berikut:
“….yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana bisa bekerja. Saya ingin membelikan makanan untuk anak-anak saya…..karena itu ketika ada tawaran kerja, langsung saya sanggupi…saya tidak bilang dengan suami saya….
Sisi yang menonjol dari model perekrutan calo Jugun Ianfu adalah sifatnya yang tertutup melalui mekanisme desas-desus, dari mulut ke mulut, dan tidak ada suatu pengumuman yang terbuka. Para perempuan yang telah tertipu oleh model perekrutan dengan janji akan mendapatkan kerja, ditawari sekolah, atau akan mendapatkan penghasilan yang tinggi tersebut baru akan sadar setelah mereka ditempatkan di rumahrumah bordil Jepang. Rumah bordil Jepang benar-benar diawasi secara khusus untuk orang Jepang, baik militer maupun sipil. Hal lain yang menarik dari rumah bordil Jepang adalah adanya sistem penggantian nama, dari nama Indonesia ke nama Jepang. Semua orang yang direkrut Jepang akan langsung diberi nama Jepang dan tidak boleh lupa menggunakannya. Perekrutan para perempuan untuk djadikan budak seks tentara Jepang itu terus berlanjut hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, sehingga tidak mengherankan bila terdapat begitu banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban nafsu birahi tentara Jepang.

3. Perkembangan Prostitusi Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, aktivitas dan perkembangan prostitusi terus tumbuh dengan subur. Alasan ekonomi merupakan kondisi yang patut diperhatikan di sini sebab pada masa-masa awal Indonesia merdeka kondisi perekonomian bangsa Indonesia memang masih memprihatinkan. Kondisi perekonomian Jakarta pada masa memepertahankan kemerdekaan ini digambarkan sebagai berikut:
“….Ya karena Jakarta ini sudah merupakan kota yang tidak aman dan ekonomi juga tidak teratur maka tidak sedkit rakyat untuk mencari beras saja harus sampai jalan kaki atau naik kereta yang berjubel-jubel, mencari beras sepuluh liter dari daerah Tambun, dari Bekasi. Dan tidak jarang kadangkadang istilahnya pada waktu itu dijabel, dirampas oleh menteri Belanda untuk menyakiti rakyat. Jadi rakyat itu jalan kaki ke Bekasi kadang-kadang lebih dari Bekasi untuk mencari beras sebab jalan raya itu ditutup dengan pertempuran-pertempuran. Nah, inilah penderitaan rakyat. Jadi kebanyakan itu perempuan pun tidak segan-segan jalan kaki jarak yang begitu jauh untuk mencari beras. Nah ini penderitaan rakyat.”
Kondisi politik dan perekonomian yang belum stabil sejak masa kemerdekaan berpengaruh besar dalam pembangunan Indonesia. Walau demikian, Jakarta sebagai ibukota negara tentu saja memiliki prioritas utama dalam perbaikan segala sektor sejak masa kemerdekaan. Pembangunan kota Jakarta sebagai kota besar, kota pelabuhan, dan ibukota negara, tidak bisa dipungkiri telah membangkitkan dan meningkatkan arus urbanisasi dan berdatangannya penduduk baru, dari pedalaman ke kota, terutama sejak awal tahun 1950an. Mereka adalah golongan masyarakat kelas bawah (buruh tani) dari pedesaan.
Di Jakarta mereka tinggal di daerah-daerah sekitar stasiun kereta api Senen, Manggarai, Gambir, Tanah Abang, Kota, Krekot dan Tanjung Priok. Mereka pun menempati beberapa daerah kosong di sekitar jalur kereta api yang menghubungkan berbagai daerah di wilayah Jakarta. Mereka bekerja serabutan, baik sebagai tukang becak, penjual kopi, penjual nasi, tukang sapu, penjual barang kelontong eceran, bahkan pencopet dan pelacur. Tidak banyak yang dapat diperbuat untuk membendung proses dan arus urbanisasi, selain dari larangan-larangan bagi pendatang baru yang berdatangan secara bergelombang dengan penuh harapan, tertarik oleh semerbak wangi kota Jakarta besar yang sedang berkembang dengan segala geliatnya, dan yang seakan-akan tiada batasnya Kondisi demikian dibenarkan oleh H. Ali Abu Bakar Shahab, seorang mantan anggota KKO (Angkatan Laut). Ia mengisahkan :
“Sebenarnya pada tahun 1950an Jakarta masih menjadi daerah yang menakutkan, belum banyak orang luar yang berani datang ke Jakarta karena banyak kriminal. Tapi di beberapa tempat memang sudah terkenal ramai seperti Tanjung Priok, Rawa Belong, Senen. Dan setelah Kebayoran dibuka dan diikuti pembangunan Rawa Mangun, banyak pendatang yang cari kerja. Makin banyak pendatang ke Jakarta ketika dibangun Senayan…”
Tingginya arus urbanisasi ke Jakarta sejak awal 1950an untuk mengadu nasib mengakibatkan Jakarta berkembang pesat dan mengalami berbagai perubahan yang cukup penting di beberapa sektor kehidupan. Banyak para pendatang yang ingin mengadu nasib di Jakarta dan tinggal di sembarang tempat dengan mendirikan gubuk-gubuk liar, sehingga banyak terjadi penyerobotan tanah dan Jakarta semakin semrawut. Pada tahun 1952 misalnya, di Jakarta tercatat adanya pembukaan tanah liar dengan gubukgubuk liar sejumlah 30.000 buah. Penduduk Jakarta pun meningkat drastis dari 655.000 jiwa ditahun 1940 menjadi 1.823.918 di tahun 1954 dan di tahun 1958 menjadi 2.025.929 jiwa. Jika disimak secara mendalam, berbagai masalah sosial di Jakarta tampaknya sebagian besar berakar pada persoalan kependudukan, terutama masalah ledakan penduduk yang tidak bisa dikendalikan secara efektif.
Masalah kependudukan yang belum tuntas itu pada gilirannya melahirkan problem ikutan, yaitu masalah penyediaan lapangan kerja, permukiman, dan masalah sosial lain dengan tingkat kerawanan yang makin tinggi, sehingga pada akhirnya berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial perkotaaan, seperti kemiskinan, kriminalitas, dan meningkatnya prostitusi di Jakarta. Terkait dengan prostitusi ini, maka pada tahun 1950an sampai 1960an terdapat banyak tempat prostitusi yang tumbuh subur di Jakarta, seperti di Jalan Halimun, antara Kali Malang (dekat markas CPM Guntur) hingga Bendungan Banjir Kanal. Tempat lainnya tersebar di Kebon Sereh, belakang stasiun Jatinegara, Bongkaran, Tanah Abang, Kali Jodo, dan stasiun Senen. Kawasan Senen, misalnya, pada masa revolusi fisik memiliki peran yang cukup besar, karena daerah ini merupakan salah satu front untuk menghadapi tentara Belanda yang berbasis di lapangan Banteng.
Namun, sejak arus urbanisasi menggalir deras ke Jakarta di tahun 1950an, kegiatan perekonomian di kawasan Senen mulai menggeliat. Banyak penjaja berbagai jenis makanan yang menjajakan dagangannya siang dan malam, muncul keramaian di sekitar bioskop Rex dan Grand yang memutar film-film koboi, serta berdiri pula beberapa restoran yang sering dikunjungi oleh para seniman tersohor waktu itu. Pesatnya perkembangan Jakarta yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja untuk berbagai pembangunan dan proyek di Jakarta, berdampak pula pada peningkatan arus urbanisasi, sehingga pada gilirannya memicu muncul dan berkembangnya pemukiman kumuh di kawasan Senen, di sepanjang rel kereta api berjejer gubuk-gubuk liar, dan bahkan gerbong kereta api pun—yang sudah tidak terpakai—menjadi tempat hunian liar.
Di malam hari kawasan sekitar stasiun kereta api Senen menjelma menjadi pasar seks. Tidak mengherankan jika pada pertengahan tahun 1950an pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong kereta api atau di rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar stasiun Senen. Konsumen dan penawar jasa seks bergerombol di sekitar tanah gundukan. Orang menyebutnya ‘planet’, sehingga kemudian ‘planet Senen’ terkenal ke manamana sebagai nama kompleks lokalisasi kelas bawah30. Saat itu kawasan Senen seolah menjelma menjadi “surga” bagi orang-orang yang suka dengan hiburan malam, namun sekaligus menjadi salah satu sarang berbagai tindak kriminalitas, di antaranya pencopet. Pada dasawarsa 1950an kawasan Senen terkenal sebagai tempat kedudukan atau pusat organisasi copet di bawah pimpinan Pi’i.
Para pencopet dalam organisasi Pi’i ini umumnya adalah orang yang pada awalnya telah berusaha mencari kerja atau pernah bekerja, tetapi kemudian putus asa untuk mendapatkan pekerjaan layak karena sempitnya peluang kerja. Alasan para pencopet ini tampak dalam koran Merdeka sebagai berikut:
“Ingin bekerdja sebagai buruh pelabuhan (buruh kasar)….badannja tidak tahan. sebagai djalan terachir, untuk menghindari kelaparan, dipilihlah djalan jg. semudah2nja jakni masuk ke dalam prganisasi tjopet ini. Lama-kelamaan karena sudah biasa hidup dengan tjara pindjam2 barang dari orang jang tidak dikenalnja, sudah malas mereka memeras keringat bekerdja seperti orang lain” (Merdeka, 2-7-1955).
Selain di kawasan stasiun Senen, kawasan Bongkaran Tanah Abang juga menjadi tempat kegiatan prostitusi kelas bawah yang telah terkenal sejak dulu, di mana kebanyakan konsumennya adalah para sopir, buruh, dan pekerja kasar lainnya. Menurut seorang warga, nama Bongkaran berasal dari aktivitas di daerah itu pada siang hari sebagai tempat membongkar bahan galian, seperti pasir dari Tangerang yang diangkut dengan kereta. Setibanya di daerah itu, lalu diangkut dengan truk untuk di bawa ke daerah Jakarta. Bongkaran yang terletak hampir berdampingan dengan stasiun kereta api Tanah Abang, sejak jaman dulu bongkaran merupakan tempat pelacuran kelas rendah di Jakarta.
Ia bercerita: “….Ketika saya masih SR tahun 1950an, saya sering bermain di daerah Bongkaran dan kadang mengintip apa yang mereka lakukan, tapi pernah juga saya dilempar pakai batu oleh mereka…..”
Bongkaran memang merupakan kawasan yang letaknya cukup strategis untuk pertumbuhan praktek-praktek prostitusi, karena berada pada bantaran kali Krukut dengan deretan gubuk-gubuk liarnya, bersebelahan dengan pasar Tanah Abang yang selalu ramai, serta dekat juga dengan stasiun kereta api Tanah Abang. Stigma Bongkaran yang “hitam” begitu kuat melekat dalam benak hampir semua orang. Seolah-olah semua orang yang berada dan atau tinggal di kawasan Bongkaran adalah orang-orang yang menekuni dunia prostitusi, padahal tidak demikian kenyataannya.
Hal seperti itu diungkapkan oleh Ibu Amah: “ Tahun 1954 sampai 1956 saya pernah tinggal di Bongkaran sebelum pindah ke sini (Kebon Kacang). Seingat saya, walaupun waktu itu banyak para perempuan yang sering nongkrong di warung-warung minuman di Bongkaran hingga larut malam dan kemudian para sopir truk, kuli pasar, dan kuli bangunan silih berganti datang, tetapi kita tidak merasa terganggu. Kita sih berpikiran itu urusan mereka, sedang kita yang tinggal juga di situ ya mesti mawas diri aja” Berbeda dengan kasus prostitusi di Surabaya yang telah menyediakan lokalisasi khusus sejak abad XIX—bahkan telah diperkuat dengan peraturan daerah (kotapraja Surabaya), maka di Jakarta tidak ada lokalisasi secara khusus yang tersedia, setidaknya tahun-tahun akhir 1960an.
Lokalisasi secara resmi di Jakarta pertama kali diadakan tahun 1970an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973. Sebelum Kramat Tunggak dijadikan lokalisasi, pada tahun 1969 tercatat ada 1.668 pelacur dan 348 orang germo di Jakarta. Pada saat Kramat Tunggak diresmikan sebagai lokalisasi, tercatat ada 300 pelacur dan 76 orang germo.

D. Mata Rantai Dunia Prostitusi Di Jakarta
1. Mereka Yang Terlibat
Dalam praktek-praktek prostitusi, pasti terdapat beberapa pihak yang saling terkait, sebab prostitusi tetap ada karena masih adanya hukum penawaran dan permintaan. Dalam konteks ini, tentu ada penyedia jasa (pelacur) sebagai pihak penawar dan pembeli (konsumen). Selain itu, ada pula germo atau mucikari yang mengkoordinir keberadaan para pelacur di lokalisasi. Bahkan, walaupun secara resmi praktek prostitusi dilarang dan dibenci oleh masyarakat, tetapi masyarakat—dalam hal ini pemerintah, yaitu lewat pajak— tanpa malu-malu menikmati hasil kerja para pelacur. Hal ini terjadi karena masyarakat menerapkan standar ganda dalam menilai praktek prostitusi.
Ada sebagian masyarakat yang dengan tegas menolak dan mengutuk prostitusi karena dianggap sebagai perusak moral. Ada juga sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan prostitusi, yang tidak menolak kehadiran prostitusi. Lain masa tentu saja akan lain pula pihak-pihak yang terkait dengan praktekpraktek prostitusi di Jakarta. Pada masa kolonial Belanda, jelas sekali dinyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda memang mengijinkan adanya praktek-praktek prostitusi tetapi dengan pengawasan dan syarat yang ketat.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menilai perlunya ada hiburan dan pelayanan seks bagi tentaratentaranya, sehingga kunjungan para pelacur ke penjara-penjara dan barakbarak militer diperbolehkan untuk menghilangkan kejenuhan, ketegangan, dan keresahan politik. Pada masa awal kolonial Belanda, para pelacur sebagian besar adalah perempuan-perempuan dari Cina (Macao) yang didatangkan oleh para germo Cina. Sementara pada tahun 1930an, para pelacur sudah bergeser, tidak hanya orang Cina, tetapi orang dari Jepang, Rusia, Indo, dan Indonesia pun telah ada. Para pelanggan pun berasal dari berbagai strata sosial, ada yang pedagang, tentara, dan juga buruh kasar. Pelacur pribumi tarifnya sekitar f 1,- dan Tarif pelacur Cina lebih tinggi dibangingkan pelacur pribumi, yaitu sekitar f 2,50,-37.
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan prostitusi terorganisir dengan rapi dan tersamar dalam bungkusan propaganda dan janji-janji manis Jepang kepada para perempuan yang mau dijadikan pelacur. Dengan iming-iming pekerjaan atau hendak disekolahkan, banyak perempuan-perempuan muda yang tertarik dan ikut Jepang yang ternyata dipaksa untuk melayani nafsu birahi tentara Jepang. Dalam proses perekrutan perempuan untuk dijadikan pelacur ini, selain pemerintah Jepang, aparat desa/pemerintah setempat— yang punya akses langsung untuk memobilisasi penduduk—juga terlibat dalam pengerahan perempuan untuk mau ikut Jepang38. Pada masa pendudukan Jepang ini, pelanggan tetap rumah-rmah bordil orang Jepang adalah orang-orang Jepang sendiri, baik sipil maupun militer.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, prostitusi tidak gulung tikar, tetapi tetap bertahan. Di Jakarta sendiri, pada tahun 1950an banyak pelacur yang berasal dari daerah Jawa Barat terutama Indramayu. Ini terkait erat dengan kenyataan bahwa pada tahun 1952 tingkat perceraian di Jawa Barat adalah yang tertinggi di dunia. Kultur orang Indramayu yang menilai tinggi seorang janda kembang dan menjadi pelacur di Jakarta atau kota-kota lainnya merupakan hal biasa, semakin memantapkan asumsi bahwa tidak semua perempuan terjun ke dunia prostitusi karena alasan ekonomi. Salah satu hal penting dalam memahami persoalan pelacuran adalah pola pelacuran yang berkembang, khususnya di Jakarta. Menurut Bapak Amar, kecenderungan pola pelacuran kelas menengah ke bawah seperti di Bongkaran Jakarta Pusat, sebagian besar akan senantiasa berujung pada profesi sebagai germo.
Ia menandaskan, “Seorang pelacur tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari dunia kelam tersebut. Kalaupun ia sudah tidak menjadi pelacur, maka ia akan ganti profesi sebagai germo. Dan pola seperti ini akan terus berjalan, lebih-lebih jika ia malu untuk kembali ke daerah asalnya”. Maraknya perkembangan tempat-tempat prostitusi di Jakarta pada tahun 1950an—sebagai salah satu konsekuensi dari tingginya arus urbanisasi yang tak terkontrol—berarti samakin banyak pula orang-orang yang terlibat dalam praktek-prkatek prostitusi. Pada masa ini kesulitan ekonomi merupakan mayoritas alasan para perempuan yang tidak punya banyak pilihan pekerjaan untuk menekuni profesi pelacur.

2. Bentuk-Bentuk Prostitusi
Bentuk-bentuk prostitusi di Jakarta pada masa Hindia Belanda--terutama sejak 1928 setelah praktik pergundikan dilarang secara tegas--secara garis besar terbagi dua, yaitu prostitusi yang terselubung dan yang terang-terangan (lokasinya jelas). Bentuk prostitusi terselubung banyak terdapat di jalan-jalan dekat rumah-rumah orang Belanda di sekitar kota. Adapun prostitusi yang terang-terangan adalah prostitusi di mana tempatnya telah tetap dan pemerintah mengetahui keberadaannya, seperti di sekitar Jakarta Kota, Stasiun Senen, dan juga di stasiun Jatinegara.
Selain itu, sejumlah warung makan, kedai-kedai kecil, dan tempat hiburan malam lainnya yang terdapat di kota dan sekitar pelabuhan Tanjung Priok ternyata juga berfungsi sebagai tempat prostitusi, sebab di tempat-tempat tersebut dijumpai banyak gadis cantik yang menjadi pelayan sekaligus berprofesi sebagai pelacur. Pada dekade 1930an, bentuk prostitusi semakin beragam dengan semakin beraninya para pelacur orang Jepang, Rusia, Cina, Indo, dan juga pelacur orang Indonesia beroperasi secara terang-terangan. Kondisi demikian tentu sangat berlain dengan masa pendudukan Jepang, di mana hampir semua praktik prostitusi ‘didominasi’ dan dikoordinir oleh pemerintah tentara Jepang.
Bentuk prostitusi pada zaman Jepang ini terstruktur secara rapai, mulai dari perekrutan, penyeleksian, penempatan di rumah bordil milik Jepang, hingga tamu-tamu yang harus dilayani, yang hampir semuanya adalah orang Jepang. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pada masa Jepang kegiatan prostitusi memiliki bentuknya tersendiri. Pada masa setelah kemerdekaan, bentuk prostitusi yang liar terjadi di hampir seluruh wilayah Jakarta yang terdapat pemukiman padat dan kumuh, seperti di sepanjang rel kereta api Senen, Bongkaran Abang, yang kebetulan lokasinya juga dekat sekali dengan stasiun kereta api Tanah Abang, dan juga di kawasan stasiun Jatinegara.
Tersebarnya praktik-praktik prostitusi liar dan tak terkontrol ini—yang tentu saja sangat rentan terhadap penularan penyait kelamin—disebabkan hingga tahun 1960an di Jakarta tidak ada lokalisasi resmi yang menampung para pelacur. Lokalisasi resmi prostitusi di Jakarta pertama kali diadakan tahun 1970an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.

3. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
Salah satu faktor penyebab maraknya praktek prostitusi di Jakarta dalam tiga lintas kekuasaan adalah kemiskinan. Kondisi ekonomi penduduk pribumi pada masa kolonial umumnya dalam keadaan subsisten, karena sebagian tanah mereka disewa untuk ditanami tanaman komoditi eksport. Ketika pengaruh ekonomi uang semakin kuat dan meluas di kalangan penduduk pedesaan yang membawa mereka semakin jauh terlibat dalam ekonomi kapitalistik, kondisi perekonomian penduduk Jakarta pada umumnya tetap miskin dan bahkan semakin tidak menentu ketika terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an.
Ketika depresi ekonomi memuncak pada sekitar tahun 1930, kondisi sosial dan perekonomian penduduk Jakarta terguncang hebat karena banyak buruh dan tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat banyak peusahaan yang bangkrut, adanya pembatalan proyek-proyek pemerintah akibat krisis tersebut, dan sebagainya, sehingga angka pengangguran pun membengkak. Dengan kondisi sosial dan perekonomian seperti itu41 tidaklah mengherankan jika aktivitas prostitusi di Jakarta cenderung meningkat karena desakan ekonomi. Kondisi demikian juga di dukung oleh kenyataan bahwa sebagian besar tenaga kerja dari luar Jakarta yang sebagian besar kehilangan pekerjaan mereka di desa dan melakukan mobilitas ke Jakarta adalah pria, sehingga tidak mengherankan apabila aktivitas prostitusi kemudian cenderung meningkat. Di tempat-tempat yang merupakan pusat kegiatan perdagangan maupun perekonomian seperti perkebunan, industri/pabrik, dan pelabuhan— seperti halnya Batavia—sering dijumpai praktik-praktik prostitusi yang sulit terkontrol.
Meningkatnya pembangunan dan perluasan jaringan transportasi di Jawa, khususnya jalur kereta api dan jalan raya, sejak masa liberal tahun 1870 dan sesudahnya memacu pula laju urbanisasi orang-orang miskin dari pedesaan ke kota, seperti Jakarta, untuk bekerja di luar sektor agraria. Hal ini pada akhirnya mendorong perkembangan perkampungan buruh, tempattempat penginapan, warung-warung minuman, serta praktek-praktek prostitusi di sekitar stasiun kereta api seperti di sekitar stasiun Kota, Jatinegara, Tanah Abang, juga di sekitar pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, kemiskinan juga menimbulkan semakin banyak gembel dan pengemis di Jakarta, seperti di daerah Pancoran dan Glodok
Faktor lain yang turut memiliki andil besar bagi pesatnya perkembangan prostitusi di Jakarta adalah tingginya arus urbanisasi ke Jakarta. Memasuki masa awal kemerdekaan, keberadaan, posisi, serta peran ibukota Jakarta memang mempunyai arti sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Kondisi perekonomian yang masih memprihatinkan dan tingginya arus urbanisasi penduduk ke ibukota Jakarta pada tahun 1950an, lebih-lebih sejak 1959 perkembangan ibukota menjadi bagian politik mercu suar yang bertujuan membuar RI sebagai inti dari The New Emerging Forces, mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk dengan berbagai eksesnya, seperti kurangnya lapangan kerja, pemukiman, pertanahan, dan masalah sosial dengan tingkat kerawanan tinggi, termasuk perkembangan prostitusi.

E. Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Meningkatnya jumlah penderita penyakit kelamin adalah dampak utama dari adanya praktek-praktek prostitusi, terutama bentuk prostitusi liar. Sebagai contoh, tabel 4 di bawah ini menggambarkan jumlah penderita penyakit kelamin pada tahun 1927-1930. Walaupun data tentang peningkatan jumlah penderita penyakit kelamin pada masa Jepang belum ditemukan, namun melihat dari praktek prostitusi pada zaman Jepang yang terorganisir secara rapi, dapat diasumsikan bahwa tetap ada tentara Jepang yang menderita penyakit kelamin, walaupun mungkin tidak sebanyak masa sebelumnya. Setelah kemerdekaan pun penyakit kelamin tetap berkembang dan sulit dibrantas. Penyakit kelamin yang banyak diidap pada masa tahun 1950an sampai 1960an adalah sipilis, di mana sebagian orang dulu mengenalnya sebaga penyakit raja singa, dan bahkan di sebagian wilayah Jakarta ada yang menamakanya penyakit mangga—ini terkait dengan salah satu tempat prostitusi kelas bawah yang berada di Gang Mangga, sekitar jalan Jayakarta sekarang.
Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi. Upaya serius dan riil pemerintah daerah Jakarta dalam rangka menekan pertumbuhan prostitusi, yang tentu saja bila berhasil akan menekan pula laju jumlah penderita penyakit kelamin, adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Kramat Tunggak pada awalnya berada di pinggiran utara kota Jakarta, berlokasi dekat dengan pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak sudah ada sejak tahun 1950an walaupun belum begitu terkenal. Saat itu lokasi praktek prostitusi di Kramat Tunggak masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk—tidak berbeda dengan kondisi prostitusi di Bongkaran yang juga bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Kramat Tunggak bukan satusatunya lokasi prostitusi di wilayah Jakarta utara. Tempat prostitusi lainnya tersebar antara lain di Kelurahan Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan, Pademangan, dan Penjaringan44. Seiring dengan penutupan beberapa lokasi prostitusi, kemudian bermunculan lokasi prostitusi tidak resmi seperti di Rawa Malang, Boker, dan Kali Jodo.Seperti halnya Kramat Tunggak, Kali Jodo juga sudah ada sejak tahun 1950an.
Hingga saat ini lokalisasi Kali Jodo masih tetap eksis walaupun telah ada upaya untuk menutup lokasi itu digantikan dengan kegiatan keagamaan seperti halnya yang telah terealisasi di kawasan Kramat Tunggak yang kini berdiri kokoh Islamic Centre. Lembah hitam bernama Kramat Tunggak itu memang secara resmi telah ditutup oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 1999, dan di atas lahan seluas kurang lebih 10,9 hektar tersebut dibangun Jakarta Islamic Centre. Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu menghentikan atau mengurangi praktik prostitusi, karena upaya yang ditempuh lebih cenderung bersifat instant—membongkar atau merazia tempat-tempat prostitusi dan kemudian menangkapi para pelacur--dan tidak pernah berupaya memecahkan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi.
Selain itu, kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.

F. Kesimpulan
Praktik-praktik prostitusi di Jakarta sudah ada sejak masa awal kekuasaan Hindia Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya. Perkembangan prostitusi pertama di Jakarta terkonsentrasi di kawasan Macao Po (sekarang Jakarta Kota) pada abad XVII, yang kemudian semakin meluas ke daerah gang Mangga, gang Hauber, dan Kaligot. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, terutama abad XIX, pemerintah Hindia Belanda menganggap perlu adanya upaya penyegaran dan hiburan bagi tentaranya dengan mengijinkan mereka untuk pergi ke tempat-tempat pelacuran guna menghilangkan stres dan rasa jenuh.
Di sini pemerintah ikut terlibat dalam urusan prostitusi walau sekedar ‘membiarkan’. Pada periode ini dominasi pelacur orang Cina, Indo, dan Jepang seolah meneggelamkan para pelacur orang Indonesia yang juga mulai bertambah banyak. Para konsumennya pun pada periode ini sebagian besar adalah para serdadu Belanda dan orang Eropa lainnya, termasuk juga para Cina kaya. Pada masa pendudukan Jepang, ketika segala sektor kehidupan dikontrol secara ketat dan cenderung represif, maka kondisi ini pun berpengaruh pada perkembangan prostitusi, di mana hampir semua praktek prstitusi ‘didominasi’ dan diawasi oleh Jepang secara ketat.
Selain pemerintah Pendudukan Tentara Jepang, para aparat desa pun turut terlibat dalam perekrutan perempuan-perempuan Indonesia untuk dijadikan pelacur pada masa Jepang. Selain orang Jepang, orang Indonesia pun ada yang dipercaya mengelola rumah bordil Jepang. Karena rumah bordil Jepang dikontrol ketat, maka tidak heran jika pelanggannya pun hampir semua orang Jepang, baik sipil maupun militer. Sementara pada masa pasca kemerdekaan, pemerintah pun “secara tersembunyi” terlibat dalam praktek-praktek prostitusi di Jakarta. Pada awal tahun 1950an banyak pelacur di Jakarta berasal dari Jawa Barat, khususnya Indramayu. Mucikari atau germonya pun kebanyakan adalah orang yang dulu menjadi pelacur atau bergulat dengan dunia prostitusi Ekonomi (kemiskinan) merupakan faktor pendorong utama tumbuh suburnya prostitusi di Jakarta.
Kondisi politik dan perkonomian penduduk Indonesia yang tidak menentu sepanjang masa revolusi fisik, menyebabkan sebagian rakyat hidup miskin. Karena semakin sempitnya lahan pertanian di kampung dan adanya keinginan untuk mendapat pekerjaan yang mudah di kota, mendorong penduduk desa melakukan urbanisasi ke kota Jakarta. Adapun arus urbanisasi yang sangat tinggi ke Jakarta pada tahun 1950an semakin memantapan eksistensi praktek-praktek prostitusi, karena semakin banyak permintaan akan jasa layanan seks. Berbagai upaya upaya telah dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi praktik-praktik prostitusi.
Pada masa Belanda misalnya, upaya untuk menganggulangi penyebaran prostitusi telah dilakukan dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur tanggal 15 Juli tahun 1852 No.1, mengenai peraturan untuk menanggulangi penyebaran prostitusi. Selain itu ada juga Besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Januari 1874 N0.14, tentang peraturan pemberantasan prostitusi. Sementara salah satu upaya pemerintah Jakarta menaggulangi prostitusi adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Namun, berbagai upaya tersebut belum berhasil memberantas prostitusi, karena upaya yang ditempuh cenderung bersifat instant, tidak pernah menyentuh pemecahan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi. Selama tidak ada solusi pemecahan yang tepat, maka berbagai upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon. di mana bagian yang ditekan akan tenggelam dan tdak tampak tetapi pada bagian lain akan menonjol dan membesar.Hal ini mirip dengan persoalan prostitusi di Jakarta, begitu satu tempat pelacuran dirazia dan ditutup, maka akan bermunculan tempat-tempat pelacuran lainnya

G. Referensi
Arsip, Koran, dan Majalah
Arsip Nasional Republik Indonesia, Penerbitan Naskah Sumber: Perjuangan Mempertahankan Jakarta Masa Awal Proklamasi: Kesaksian Para Pelaku Peristiwa. Jakarta: ANRI, 1998.
Arsip Nasional Republik Indonesia, Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial. Jakarta: ANRI, 2001.
“Macao Po di Kota Inten” , www.republika.co.id., Minggu, 22 Juni 2003.
“Orang-orang Djembel di Pantjoran dan glodok”, dalam Sin Po, 24 Mei 1930.
“Prostitusi Bukan Sekedar Masalah Moral”, dalam Minggu Pagi, No.24, IV, Oktober, 1999.
Branconier, A. De, “Het Prostitutie-vraagstuk in Nederlandsch-Indie”, De Indische Gids, 1933.
Burgelijk Geneeskundige Dienst van 260, tanggal 8 April 1891.
 Jaarverslag van den Burgelijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie over 1923. Weltevreden: G.Kolff &Co., 1923.
Kolonial Verslag, 1931, 1941.
Makmoer, Tahun I, 25 Desember 1945.
Merdeka, 2 Juli 1955.
Onderzoek Naar De Mindere Welvaart der Inlandscche Bevolking op Java en Madoera, Vol.Ixb. Batavia: Drukkerij & Co., 1912
Pandji Poestaka, No.3, 25 April 1943
Republika, Minggu, 22 Juni 2003.
Republika, Minggu, 25 Juni 2005.
Buku, Jurnal, dan Makalah
Abeyasekere, Susan, Jakarta A History. Singapore : Oxford University Press, 1989.
Azuma, Yoshifumi, Abang Beca. Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Berdoeri, Tjamboek, Indonesia dalan Api dan Bara. Jakarta: ELKASA, 2004.
Brown, Louise, Sex Slaves. Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Kata pengantar Sulistyowati Iranto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Cruetzberg, P. dan J.T.M. van Laanen (eds), Sejarah Statistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Darmarastri, Hayu Adi, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002.
Hadiz, L. S. Aripurnami, S.Sabaroedin, “Perempuan dan Industri Seks” dalam INFID (ed.), Pembangunan di Indonesia,Memandang dari Sisi Lain. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993.
Hanna, Willard A., Hikayat Jakarta, penerjemah Mien Josbhar dan Ishak Zahir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Hartono, A. Budi dan Dadang Juliantoro, Derta Paksa Perempuan. Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan LBH Yogyakarta, Yayasan Lampera Indonesia, dan The Ford Foundation, 1997.
Hull, Terence H., Endang Sulistyaningsih, dan Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Ingleson, John, “Prostitution in Colonial Java”, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (eds.), Nineteenth and Twentieth Century Indonesia, Essays in Honor of Professor J.D. Legge. Victoria: Southeast Asian Studies, 1986.
Jones, Gavin W., Endang S., dan Terence H.Hull, “Prostitution in Indonesia”, Working Paper in Demography (Research School of social Sciences no.52). Canberra: The Australian National University, 1995
Koentjoro, Tutur dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: Tinta, 2004.
Kusuma, Hembing Wijaya, Pembantaian Massal 1740. Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005.
M.D., Sagimun, Jakarta: Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Pemda Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1988.
Mokoginta, Lukman, Jakarta untuk Rakyat. Jakarta: Yayasan SATTWIKA, 1999.
Onghokham, “Orang Indonesia: Bukan Makhluk Ekonomi”, dalam Onghokham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang ( Jakarta: Freedom Institute, 2003), hlm.136. PD. Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang 250 Tahun. Jakarta: Pasar Pusat Tanah Abang PD Jaya, 1982.
Rahardjo, Supratikno, MPB.Manus, dan P.Suryo H., Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalan Sutera. Jakarta: Depdikbud RI, 1996.
Saidi, Ridwan, Profil Orang Betawi. Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT Guara Kata 2004.
Soehoed, A.R., Reklamasi Laut Dangkal. Canal Estate Pantai Mutiara Pluit: Perekayasaan dan Pelaksanaan Reklamasi bagi Proyek Pantai Mutiara di Pluit Jakarta. Jakarta: Djambatan, 2004.
Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Cetakan keempat Jakarta: Dinas Museum dan Pemugaran Propinsi DKI Jakarta, 1999/2000.
Toer, ramudya Ananta, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
Troung, Thanh Dam, Seks, Uang, dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1992.
Wawancara
Wawancara dengan Bapak Ahmad Sofyan (65 tahun), asli pernduduk Betawi, tanggal 25 Maret 2005.
Wawancara dengan Bapak Amar (58 tahun), seorang warga yang tinggal di daerah lokalisasi Bongkaran, Tanah Abang, 1 Oktober 2005.
Wawancara dengan Bapak Darmo Suwito (71 tahun), 23 Mei 1999.
Wawancara dengan Bapak Sapar (78 tahun), 15 April 2005. Wawancara dengan Ibu Amah (67 tahun), 30 Sepetember 2005.
Wawancara dengan H. Ali Abu Bakar Shahab (90 tahun), 21 Mei 2006.
Artikel, 08 April 2009