Entri Populer

Senin, 23 Juli 2012

Kerajaan Gowa Menurut Sejarah


Sejarah
Sebelum Kerajaan Gowa terbentuk, terdapat 9 (sembilan) Negeri atau Daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang penguasa yang merupakan Raja Kecil. Negeri ini ialah Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Pada suatu waktu Paccallayya bersama Raja-Raja kecil itu masygul karena tidak mempunyai raja, sehingga mereka mengadakan perundingan dan sepakat memohon kepada Dewata agar menurunkan seorang wakilnya untuk memerintah Gowa.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1320 (Hasil Seminar Mencari Hari Jadi Gowa) dengan diangkatnya Tumanurung menjadi Raja Gowa maka kedudukan sembilan raja kecil itu mengalami perubahan, kedaulatan mereka dalam daerahnya masing-masing dan berada di bawah pemerintahan Tumanurung Bainea selaku Raja Gowa Pertama yang bergelar Karaeng Sombaya Ri Gowa.

Raja kecil hanya merupakan Kasuwiyang Salapanga (Sembilan Pengabdi), kemudian lembaga ini berubah menjadi Bate Salapang (Sembilan Pemegang Bendera).

Masa Kerajaan

Pada tahun 1320 Kerajaan Gowa terwujud atas persetujuan kelompok kaum yang disebut Kasuwiyang-Kasuwiyang dan merupakan kerajaan kecil yang terdiri dari 9 Kasuwiyang yaitu Kasuwiyang Tombolo, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero.
Pada masa sebagai kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan  mengandung citra nasional antara lain Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas  Kerajaan Gowa melalui perang dengan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang (Pangkaje’ne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan kecil, sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dataran Sulawesi Selatan.

Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebutlah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai Syahbandar, telah berhasil menciptakan aksara Makassar yang terdiri dari  18 huruf yang disebut  Lontara Turiolo.

Pada tahun 1051 H atau tahun 1605 M, Dato Ribandang menyebarkan Agama Islam di Kerajaan Gowa dan tepatnya pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar Sultan Alauddin. Ini kemudian diikuti oleh Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka dengan gelar Sultan Awwalul Islam dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertama kalinya.

Raja I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI dengan gelar Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa  sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan kerajaan terkuat di Kawasan Indonesia Timur.

Pada tahun 1653 – 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis kebijaksanaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari VOC yang menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton.

Akibat peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.

Pada tanggal 18 November 1667 dibuat perjanjian yang dikenal  dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian tidak berjalan langgeng karena pada tanggal 9 Maret 1668, pihak Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela tanah airnya.

Sultan Hasanuddin bersumpah  tidak sudi bekerja sama dengan Belanda dan pada tanggal 1 Juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke XVI setelah hampir 16 tahun melawan penjajah. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin mangkat dalam usia 36 tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, maka dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973 tanggal 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, mulai dari Raja Tumanurung Bainea sampai dengan setelah era Raja Sultan Hasanuddin  telah mengalami 36 kali pergantian Somba (raja) sebagaimana terlihat pada tabel berikut :


1.
Tumanurung Bainea (Putri Ratu)
-
2.
Tamasalangga Baraya
1320 - 1345
3.
I Puang Loe Lembang
1345 - 1370
4.
I Tuniata Banri
1370 - 1395
5.
Karampang Ri Gowa
1395 - 1420
6.
Tunatangka Lopi
1420 - 1445
7.
Batara Gowa Tuniawangngang Ri Paralakkenna
1445 - 1460
8.
IPakereÕ Tau Tunijallo Ri Passukki
1460
9.
Dg. Matanre Krg. Mangngutungi TumapaÕrisi Kallonna
1460 - 1510
10.
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng.
1510 - 1546
11.
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng DataÕ Tunibatta
1546 - 1565
12.
I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo.
1565 (40 hari)
13.
I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa Tunipasulu Tumenanga Ri Butung.
1565 - 1590
14.
I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna
1590 - 1593
15.
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papan Batuna.
1593 - 1639
16.
I Mallombasi Dg Mattawang Muhammad Basir Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Ballapangka.
1639 - 1653
17.
I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Lakiung Sultan Amir Hamzah Tumammalianga Ri Allu.
1653 - 1669
18.
I Mappaossong Daeng Mangewai Karaeng Bisei Sultan Muhammad Ali Tumenanga Ri Jakattara.
1669 - 1674
19.
I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanro BoneSultan Abdul Jalil Tumenanga Ri Lakiung.
1674 - 1677
20.
La Pareppa Tu Sappewalia Karaeng AnaÕ Moncong Sultan Ismail Tumenanga Ri Somba Opu.
1677 - 1709
21.
I MappauÕrangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenanga Ri Passiringanna.
1709 - 1711
22.
I Manrabia Karaeng Kanjilo Sultan Najamuddin Tumenanga Ri Jawaya.
1712 - 1724
23.
I MappauÕrangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenenga Ri Passiringanna (Kedua kalinya)
1724 - 1729
24.
I Mallawagau Karaeng Lempangang Sultan Abdul Khair Al Mansyur Tumenanga Ri Gowa.
1729 - 1735
25.
I Mappababbasa Sultan Abdul Kudus Tumenanga Ri Bontoparang.
1735 - 1742
26.
Amas Madina ÒBatara Gowa IIÓ Sultan Usman (diasingkan ke Sailon oleh Belanda)
1742 - 1753
27.
I Mallisu Jawa Daeng Riboko Karaeng Tompobalang Sultan Maduddin Tumenanga Ri Tompobalang.
1753 - 1767
28.
I Temmasongeng / I Makkaraeng Karaeng Katangka Sultan Zainuddin Tumenanga Ri Mattoanging.
1767 - 1769
29.
I Mannawarri / I Sumaele Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdul Hadi Tumenanga Ri Sambungjawa.
1769 - 1778
30.
I Mappatunru / I Manginyarang Krg Lembangparang Sultan Abdul Rauf Tumenanga Ri Katangka.
1778 - 1810
31.
La Oddangriu Daeng Mangeppe Karaeng Katangka Sultan Muhammad Zainal Abidin Abd. Rahman Amiril MuÕminin Tumenanga Ri Suangga
1825 - 1826
32.
I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Aididin Tumenanga Ri Kakuasanna.
1826 - 1893
33.
I Mallingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idris Tumenanga Ri KalaÕbiranna.
1893 - 1895
34.
I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Muhammad Husain Tumenanga Ri BunduÕna.
1895 - 1906
35.
I Mangngi-mangngi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Karaeng Ilanga Tumenaga Ri Sungguminasa.
1906 - 1946
36.
Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga Ri Jongaya.
1946 - 1957

Aru Palaka Pahlawan Atau Penghianat ?

CAP sudah melekat pada namanya selama bertahun-tahun: pengkhianat bangsa. Itu gara-gara Aru Palaka, raja Bone (1667-1672), bersekutu dengan VOC menghancurkan Kerajaan Goa, yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Tapi, betulkah Aru Palaka yang hingga kini diagung-agungkan masyarakat Bugis itu seorang antek penjajah, sebagaimana tertulis dalam buku- buku pelajaran sejarah di sekolah? Sebuah seminar dua hari di Watampone, Sulawesi Selatan, pekan lalu mencoba menelusuri kontroversi itu. Aru Palaka, menurut buku sejarah di sekolah, adalah seorang bangsawan dari Bone. Ia lahir pada zaman kerajaan-kerajaan lokal sedang bersaing mempertahankan keberadaannya. Aru Palaka terbuka matanya melihat penderitaan rakyat Bone di bawah kekuasaan Kerajaan Makassar (Goa-Tallo) yang dipimpin Raja Hasanuddin.

Ribuan orang Bone dipaksa bekerja rodi membangun parit di benteng-benteng pertahanan Goa untuk menghadapi serbuan Kompeni. Antipati Aru Palaka pada Kerajaan Goa memuncak karena ayah dan pamannya dibunuh tentara Goa. Ia dan sekitar 400 pengikutnya terpaksa lari dan minta suaka ke Buton setelah Kerajaan Bone diserbu Makassar. Dendam inilah yang mendorong Aru Palaka walau bukan putra mahkota Bone berambisi menjadi raja dengan memerdekakan Kerajaan Bone dari kekuasaan Goa. Langkah pertama, Aru Palaka yang digambarkan berbadan tegap dan menyelipkan pedang di pinggangnya berlayar ke Batavia untuk menjalin kerja sama dengan Belanda. Aru Palaka dan anak buahnya kemudian memperkuat armada Cornelis Speelman yang bertolak dari Batavia untuk menggempur Kerajaan Goa. Lewat Perang Makassar itu, Aru Palaka berhasil memerdekakan Bone. Sultan Bone yang ditahan Hasanuddin pun dibebaskan. Dan cita-citanya kesampaian setelah Sultan Bone menyerahkan mahkotanya kepada Aru Palaka. Perang yang berlangsung setahun itu (1666-1667) berakhir dengan Perjanjian Bongaya. Hasilnya, Kerajaan Makassar harus melepaskan hak monopoli perdagangan kepada Kompeni dan memberikan kemerdekan bagi kerajaan-kerajaan yang pernah dikuasainya seperti Bone, Sopeng, dan Luwu. Namun, interpretasi sejarah Aru Palaka seperti itu dinilai beberapa sejarawan sendiri kurang tepat. Dalam seminar itu sejarawan Abdurahman Soerjomihardjo, misalnya, mengungkapkan telah terjadi anakronisme dalam penulisan sejarah Perang Makassar. Para penulis sejarah telah melakukan tafsiran yang tak sesuai dengan ruang dan waktu peristiwanya. Dalam sejarah Perang Makassar itu, kata ahli sejarah dari LIPI itu, konflik Kerajaan Bone dan Goa tak lepas dari persaingan kepentingan para aktor yang terlibat seperti Hasanuddin, Aru Palaka, dan Speelman. Faktanya, katanya, Goa atau Bone, seperti halnya kerajaan lain yang kini bergabung dalam wilayah Indonesia, adalah negara merdeka. Bone mau merdeka dari penjajahan Goa, dan Belanda mau merebut monopoli perdagangan laut dari tangan Goa.

Dalam konteks zaman itu, strategi politik Aru Palaka yang beraliansi dengan Kompeni untuk meraih kemerdekaan bisa dipahami. Belanda adalah kekuatan yang bisa diandalkan, dan sama-sama memusuhi Kerajaan Goa. ''Yang terpenting adalah bagaimana dia bisa menjawab tantangan kala itu secara tepat. Toh waktu itu belum ada konsep wawasan nusantara,'' kata Anhar, seorang peneliti dari Lemhanas. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Bone merdeka, Aru Palaka toh tak lagi ingin membalas dendam rakyat Bugis atas perlakuan Kerajaan Makassar sebelumnya. Bahkan, Aru Palaka setelah diangkat menjadi raja Bone pun, dan menjadi ''koordinator'' kerajaan- kerajaan di Sulawesi Selatan, tak memanfaatkan kesempatan untuk memperluas wilayah kerajaannya. Aru Palaka, seperti terungkap dalam seminar itu, beberapa kali melakukan pembangkangan terhadap Belanda. Meski begitu, masih banyak soal yang belum bisa dituntaskan selama dua hari berseminar. Ada pertanyaan yang mengganggu: Betulkah kerja sama itu sejajar? Dan siapa yang membantu menjatuhkan Goa? ''Kalau ternyata Aru Palakalah yang membatu Belanda menjatuhkan Goa, artinya ia antek Belanda. Tapi bisa juga sebaliknya. Ia yang punya inisiatif, dan dibantu Belanda yang punya motif ekonomi,'' kata Anhar. Yang tak kalah penting adalah pertanyaan yang dilontarkan peserta lain, Mukhlis. ''Mengapa di saat kerajaan-kerajaan lokal perang melawan kekuatan asing justru ia bermesraan dengan Belanda?'' katanya. Apalagi, tambahnya, kerja sama itu telah menghancurkan tatanan sosial ekonomi yang dibangun Kerajaan Goa. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti astronomi dan persenjataan mandek setelah Goa jatuh. Sebuah harga yang mahal untuk penghancuran Sultan Hasanuddin, seorang tokoh yang dikenal sebagai ''Ayam Jantan dari Timur'' itu. Seminar ini memang tak menggugat kepahlawanan Sultan Hasanuddin sendiri, yang disebut gigih melawan Kompeni. Namun, sempat para peserta seminar sebagian besar orang Bugis kelewat menggebu mengangkat tokoh Aru Palaka. Sampai-sampai ada yang mengusulkannya menjadi pahlawan nasional. Tentu tuntutan itu masih jauh untuk disetujui. Tapi, lumayan pula hasilnya, karena dalam seminar itu disepakati soal penghapusan sebutan pengkhianat yang melekat pada Aru Palaka. Dan lagi, tampaknya seminar itu juga membuka mata para pakar sejarah agar berani mempertanyakan kembali berbagai peristiwa yang tercatat dalam sejarah yang resmi selama ini.



Parade Pasukan Kerajaan Gowa


Parade pasukan ‘Tobarani’ yang mengusung 14 panji kebesaran Kerajaan Gowa diiringi tetabuhan gendang ‘Tunrung Pakanjara’ mewarnai upacara peresmian selesainya pekerjaan revitalisasi pengangkatan ‘Balla Lompoa,’ Senin siang, 9 Maret 2011. Balla Lompoa (Rumah Besar) ini dibangun di tengah Kota Sungguminasa tahun 1936 oleh Raja Gowa ke-35, I Mangi-mangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo, sebagai istana Raja Gowa.
Museum Balla Lompoa di kota Sungguminasa, Kabupaten Gowa/Ft;Abd.Madjid
Suasana peresmian terasa menjadi lebih semarak karena didahului penampilan fragmen budaya dan pembacaan sajak beraroma sejarah Kebesaran Gowa masa silam oleh Seniman Budayawan Sulsel, H.Udhin Palisuri.
”……Karampang ri Gowa tiada kuburnya, lenyap menghilang ke negeri khayangan/Tunatangkalopi dalam sukma, Gowa na Tallo, ”Se’re ata, na rua karaeng”/Tummaparrisik Kallonna pindahkan ibukota kerajaan, dari Tamalate ke Somba Opu/Tunipalangga Ulaweng, izinkan seorang melayu, Nakhoda Bonang berdiam di Gowa/Hak istimewa pedagang dari Pahang, Patani, Johor, Campa dan Minangkabau/I Mangorai Daeng Mammeta menjalin persahabatan dengan Mataram, Raja Banjarmasin, Blambangan, Raja Kepulauan Maluku, Timor, Johor, Pahang, Malaka dan Patani Thailand/I Tepu Karaeng Daeng Parabbung dipaksa rakyat turun tahta, keluar dari kerajaan Gowa/Dari Batara Guru, Karaeng Bayo, Tomanurung Bainea sampai Raja Gowa terakhir Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Laloang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aididdin/Gowa jejak sejarah/Gowa dalam sejarah/Sekarang Gowa membuat sejarah……”(Petikan puisi berjudul ‘Gowa adalah Sejarah, Gowa Buat Sejarah’ oleh H.Udhin Palisuri)
Pangdam VII/Wirabuana bersama Gubernur Syahrul Yasin Limpo dan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dalam peresmian revitalisasi Balla Lompoa/Ft:Abd.Madjid
Peresmian dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, H.Syahrul Yasin Limpo didampingi adik kandungnya, H.Ichsan Yasin Limpo yang Bupati Gowa. Disaksikan Pangdam VII Wirabuana, Dan Lantamal Makassar, Kapolda Sulselbar, Muspida Sulsel, Kajati Sulsel, Bupati Bantaeng HM.Nurdin Abdullah serta sejumlah wakil dari pemerintah kabupaten/kota di Sulsel. Selain dihadiri seluruh pejabat teras di lingkungan Pemkab Gowa, anggota legislatif, para camat dan kepala desa, sesepuh, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, para keturunan sekaligus kerabat bekas Raja-raja Gowa, serta ribuan undangan dan masyarakat umum yang bebas menyaksikan upacara peresmian ini secara langsung.
Menurut Andi Kumala Andi Idjo, salah seorang anak dari Raja Gowa ke-36 (Raja Gowa terakhir), Andi Idjo Karaeng Laloang, Balla Lompoa yang berbentuk rumah panggung kayu berarsitektur adat etnis Makassar dengan luas lantai sekitar 600 meter bujursangkar tersebut, hingga tahun 1946 masih difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa. Dengan berakhirnya masa kerajaan pascaproklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Balla Lompoa kemudian diserahkan untuk dikelola oleh Pemerintahan RI.
Namun menurut Bupati Gowa, H. Ichsan Yasin Limpo, nanti tahun 1977 sebutan Istana Balla Lompoa diubah disesuaikan dengan fungsinya yaitu menjadi Museum Balla Lompoa. Penggantian nama Istana menjadi Museum tersebut dilakukan pada saat mantan Raja Gowa terakhir, Andi Idjo masih hidup.
”Jadi tidak benar kalau kemudian ada pihak lain yang kemudian tampil mengklaim sebagai pemilik Balla Lompoa,” jelas Bupati Ichsan Yasin Limpo.
Sebagaimana diketahui, ketika Pemkab Gowa akan mengangkat Balla Lompo tahun 2010 lalu, beberapakali muncul demo yang menentang rencana tersebut dari orang-orang yang menyatakan diri sebagai pewaris Balla Lompoa.
Upaya pengangkatan Balla Lompoa yang bernilai Rp 2 miliar murni dari APBD Kabupaten Gowa, merupakan bagian dari pekerjaan Revitalisasi Kawasan Museum Balla Lompoa yang dilakukan oleh Pemkab Gowa sejak tahun anggaran 2009. Kawasan seluas sekitar 3 hektar berlokasi di tengah Kota Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa tersebut, riwayat tanah awalnya merupakan pemberian dari ayahanda mantan Menteri Otoda, Ryas Rasyid. Di dalamnya selain berdiri ‘Balla Lompoa,’ juga sudah dibangun duplikat Istana Tamalate (bangunan istana Raja Gowa tempo dulu tapi tak ada lagi aslinya) berukuran tiga kali lebih besar dari ‘Balla Lompoa’.
Ketika dilakukan pembangunan duplikasi Istana Tamalate (dilakukan berdasarkan bentuk dan ukuran sebenarnya yang tercatat dalam catatan naskah tua Lontara) di samping kanan Balla Lompoa oleh Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel) saat masih menjabat sebagai Bupati Gowa, sekaligus dilakukan penataan lingkungan sekitarnya. Posisi Istana Balla Lompoa pun tampak kelihatan agak kerendahan. Dasar dari tempat tegaknya Balla Lompoa itulah yang dinaikkan sekitar 320 centimeter, ditata dalam bentuk pelataran berlantai marmer sehingga Balla Lompoa kini tampak anggun bersanding dengan bangunan duplikasi Istana Tamalate.
”Kami merasa sangat berbahagia sekaligus bangga dengan keberhasilan meninggikan Balla Lompoa tanpa merusak satupun bagian dari benda cagar budaya tersebut. Dalam proyek revitalisasi Museum Balla Lompoa kami sama sekali tidak mengubah sejarah, tidak memodernisasi sejarah, tapi senantiasa berupaya untuk menjaga kelestarian sejarah, dan akan membuat sejarah baru yang terbaik bagi kehidupan ke depan,” komentar Bupati Gowa H.Ichsan Yasin Limpo dalam sambutan pengantar acara peresmian.
Terhadap upaya revitalisasi menaikkan Balla Lompoa dengan cara manual tanpa merusak sedikitpun komponen isi dan konstruksi bakas Istana Raja Gowa tersebut, pihak Museum Rekor Indonesia (MURI) pada hari peresmian, memberikan penghargaan sebagai ‘Rekor Baru’ kepada Pemerintah Kabupaten Gowa. Penghargaan dari MURI ini merupakan yang kedua diberikan kepada Kabupaten Gowa, setelah sebelumnya daerah ini mencatat kemampuan membuat makanan khas etnis Makassar Ka’do Minnya’ terbesar.
Menurut info yang disampaikan Bupati Gowa, pihak Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Pusat sudah menyatakan kesediaan akan membantu dana sebesar Rp 3 miliar bagi kelanjutan Revitalisasi Kawasan Museum Balla Lompoa di Sungguminasa, Gowa. Dalam rencananya ke depan akan dibuat selasar yang menghubungkan bangunan Balla Lompoa dangan Istana Tamalate sehingga menjadi rumah kayu terbesar di dunia. Kawasan ini pun akan dikelola oleh suatu Badan tersendiri, yang didalamnya akan menjadi pusat kegiatan seni dan budaya etnis Makassar. Dihidupkan sebagai obyek rekreasi dan wisata sejarah, seni budaya yang menarik. Tiap tanggal 17 setiap bulan akan dilakukan gelar pasukan ‘To Barani’ - Prajurit Pemberani Gowa di masa kerajaan dangan iringan gendang pemacu semangat ‘Tunrung Pakanjara.’
”Ini tanda-tanda hari esok yang akan lebih baik,” ucap Gubernur Sulsel, H. Syahrul Yasin Limpo sesaat sebelum meresmikan selesainya revitalisasi pengangkatan Balla Lompoa.
Ibunda Ny.Hj.Nurhayati Yasin Limpo bersama penyair H.Udhin Palisuri/Ft:Abd.Madjid.
Majunya sebuah Negara atau suatu daerah, kata mantan Kepala Biro Humas Pemprov Sulsel ini, tidak hanya ditentukan oleh lamanya keberadaan suatu bangsa atau daerah, tidak juga oleh besaran potensi atau luas wilayahnya, tapi banyak bergantung bagaimana penduduk bangsa atau daerah itu mampu memegang teguh jati dirinya. Termasuk mampu memelihara kekuatan kulturalnya, menghargai sejarah, seni dan budayanya.
Gowa, disebutkan, sejak dulu dikenal sebagai tempat lahirnya para prajurit tangguh dan pemberani, tapi sangat menyukai persahabatan. Ini salah satu jati dirinya. ”Ibarat irama gendangnya yang sekalipun menghentak kencang, tapi penarinya tetap tak terpengaruh bergerak gemulai mengikuti aturannya. ”Bekerjalah menjadi yang terbaik mengabdi kepada kehidupan. Dan, mengucapkan Selamat Ulang tahun buat Bupati Gowa,” kata Syahrul Yasin Limpo di akhir sambutannya.
Saat peresmian selesainya revitalisasi pengangkatan ‘Balla Lompoa’ 9 Maret 2011, memang, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ‘Emas’ yang ke-50, Bupati Gowa, H. Ichsan Yasin Limpo. Mata Ny.Hj.Nurhayati Yasin Limpo - ibunda Syahrul dan Ichsan yang hadir dalam upacara peresmian, tampak basah berkaca-kaca.

Sejarah Kab. Bantaeng


Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa. [2] Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.

Kondisi geografis dan kependudukan

Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km kearah selatan dari Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 170.057 jiwa (2006) dengan rincian Laki-laki sebanyak 82.605 jiwa dan perempuan 87.452 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang. Sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan.
Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut. Lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di kabupaten Bantaeng sebesar 6.222 Ha (2006).
Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian. Masuk dalam pengembangan Karaeng Lompo, sebab memang jenis tanaman sayur-sayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Kentang adalah salah satu tanaman holtikultura yang paling menonjol. Data terakhir menunjukkan bahwa produksi kentang mencapai 4.847 ton (2006). Selain kentang, holtikultura lainnya adalah kool 1.642 ton, wortel 325 ton dan buah-buahan seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.

Industri dan pariwisata

Sektor industri menjadi pilihan kedua untuk dikembangkan di Kabupaten Bantaeng yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pengembangan sektor industri sangat berpeluang dimasa mendatang, namun membutuhkan investor yang sangat kuat. Dengan perkembangan sektor industri, dampaknya sangat positif, sebab disamping meningkatkan pendapatan masyarakat juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri-industri yang berkembang antara lain adalah industri pembersih biji kemiri, pembuatan gula merah, pertenunan godongan, pembuatan perabot rumah tangga dari kayu, anyaman bambu atau daun lontar dan lain-lain.
Sektor lain yang perlu diperhitungkan adalah sektor pariwisata. Kabupaten Bantaeng memiliki peninggalan sejarah yang tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut sangat menarik untuk dikunjungi. Tak heran memang jika pemerintah kabupaten setempat sangat menaruh perhatian terhadap pariwisata. Terbukti direnovasinya berbagai objek wisata alam menjadi tempat menarik, sepeti permandian alam Bissappu. Juga dipeliharanya peningalan-peninggalan sejarah seperti Balla Tujua yang merupakan kebanggaan masyarakat setempat.
Kabupaten Bantaeng terus berpacu dengan daerah lainnya dengan mengembangkan penataan kota melaui pembuatan taman, drainase, lampu jalan dan lain-lain.

Sejarah yang terlupakan

Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.
Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.

Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah

Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
1.      Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah 
oleh Mula Tau yang bergelar To Toa  yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng,   yaitu Kare Onto, Karaeng Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi,   yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
  2. Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada th 1293.
  3. Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
  4. Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
  5. Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
  6. Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
  7. Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
  8. Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
  9. Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
 10. Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
 11. Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.
 12. Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
 13. Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
 14. Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea  
       Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
 15. Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
 16. Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
 17. Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
 18. Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
 19. Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
 20. Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
 21. Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
 22. Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
 23. Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga 
       ri Bantaeng   yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
 24. Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. 
       Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
 25. Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
 26. Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
 27. Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
 28. Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
 29. Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
 30. Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
 31. Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala
 32. Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang
 33. Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
 34. Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
 35. Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).

Daftar Kepala Pemerintahan

Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960. Adapun pejabat pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten Bantaeng hingga saat ini adalah sebagai berikut:
  1. A. Rifai Bulu (1960-1965)
  2. Aru Saleh (1965-1966)
  3. Solthan (1966-1971)
  4. H. Solthan (1971-1978)
  5. Drs. H. Darwis Wahab (1978-1988)
  6. Drs. H. Malingkai Maknun (1988-1993)
  7. Drs. H. Said Saggaf (1993-1998)
  8. Drs. H. Azikin Solthan, M.Si (1998-2008)
  9. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr (2008-sekarang)

Sabtu, 14 Juli 2012

Beberapa Jenis Badik


EWAKO !!!

adalah sebuah kata yang akrab di telinga masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis-Makassar....
Menurut Kamus Populer Inggris-Makassar Indonesia-Makassar, kata rewako merupakan terjemahan dari kata ‘berani’ dalam bahasa Indonesia, dan ‘brave’ dalam bahasa Inggris. Keberanian masyarakat Bugis-Makassar tergambar dalam semboyan pelaut Bugis-Makassar, yang juga menjadi petuah (pappasang) Bapak Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo: Takunjunga bangunturu’ Takugunciri gulingku Kualleanna Tallanga Natoalia. Artinya: Tidak begitu saja aku ikut angin buritan. Aku akan putar kemudiku. Lebih baik aku tenggelam daripada balik haluan.
Mungkin kata-kata EWAKO ini memang cocok dengan senjata khas Sulawesi Selatan yang akan kita bahas yaitu "BADIK"

Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.

Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.

Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.

Macam-Macam Badik       :

1.      Badik Raja (gecong raja, bontoala)

badik yang asalnya dari daerah kajuara kabupaten bone , dalam pembuatan badik ini,, orang2 disekitar kajuara sana masih percaya jika badik raja dibuat oleh makhluk halus, ketika malam, terdengar suara palu bertalu-talu dalam lanraseng gaib sampai paginya masyarakat sana menemukan jadilah sebuah badik raja,, badik ini bilahnya aga” besar ukurannya 20-25 cm, menurut bang ray divo, Ciri-ciri badik raja hampir mirip dengan badik lampobattang, bentuk bilahnya agak membungkuk, dari hulu agak kecil kemudian melebar kemudian meruncing. Pada umumnya mempunyai pamor timpalaja atau mallasoancale di dekat hulunya. Bahan besi dan bajanya berkualitas tinggi serta mengandung meteorit yang menonjol dipermukaan, kalau kecil disebut uleng-puleng kalau besar disebut batu-lappa dan kalau menyebar di seluruh permukaan seperti pasir disebut bunga pejje atau busa-uwae. Badik raja di masa lalu hanya digunakan oleh
arung atau kalangan bangsawan bangsawan di kerajaan Bone


2. Badik Lagecong

Badik lagecong,, Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang mencarinya karna sangat begitu terkenal dengan mosonya (racunnya), banyak orang percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik gecong tersebut,,
ada dua versi , yang pertama ,Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco”, yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati,,
sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam,, panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.


3. Badik Luwu

Badik luwu,, badik luwu yang berasal dari kabupaten luwu, bentuknya agak sedikit membungkuk, mabbukku tedong (bungkuk kerbau), bilahnya lurus dan meruncing kedepan,, badik bugis kadang diberikan pamor yang sangat indah, hingga kadang menjadi buruan para kolektor ..di bajanya terdapat rakkapeng atau sepuhan pada baja yang konon disepuh dengan bibir dan “maaf” alat kelamin gadis perawan sehingga konon tidak ada orang yang kebal dengan badik luwu ini,

4. Badik Lompo Battang (badik siperut besar/jantung pisang)

Badik lompo battang atau sari,, badik ini berasal dari Makassar, bentuknya seperti jantung pisang, ada juga yang bilang seperti orang hamil, makanya orang menyebutnya lompo battang (perut besar), konon katanya jika ada orang terkena badik ini, maka dia tidak akan bertahan dalam waktu 24 jam,