Entri Populer

Kamis, 11 September 2014

Sejarah Kabupaten Bantaeng


Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pemerintahan birokrasi secara resmi dimulai ketika Pemerintahan Hindia Belanda sejak tanggal 14 November 1737 menempatkan basis pemerintahan dengan status Afdeeling yang membawahi beberapa wilayah Onder Afdeeling yang berpusat di Bantaeng, dengan pejabat pementahannya disebut Residen Gezaghebber yang setingkat dengan Bupati sekarang ini.
Pusat Pemerintahan diwilayah selatan ini sangat strategis sebagai pusat niaga, dimana Bhontain memiliki bandar pelabuah yang maju sejak Kerajaan Singosari dan Majapahit dimasa lalu dan bekas Kantor Residen Kepala Afdeeling Bonthain masih dapat dilihat Markas KODIM 1410 sekarang dan Kantor Pemerintahan Negara ( KPN ) sebagai Onder Afdeeling Bonthain digunakan Kantor Polsek Bantaeng saat ini.
Sejak tahun 1727 hingga tahun 1941 tercatat 90 kali pergantian pejabat pemerintahan denga Residen pertama bernama Camerling seorang Belanda yang ditugaskan oleh Belanda sebgai pejabat pemerintahan di dua daerah, yakni Bhontain dan Bulukumba. Kemudian sejak tahun 1893 keresidenan diperluas dengan bergabungnya daerah Binamu (Jeneponto ), dan selanjutnya sejak tahun 1910 Afdeeling Bonthain ketika Jepang menguasai Asia dan menjajah Indonesia pada tahun 1942, maka berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda.




Masa Pemerintahan Jepang
Ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, pemerintahan Jepang menguasai Bantaeng hingga tahun 1945 pusat pemerintahan ada di Makassar denga pejabat pemerintahan Jepang bernama Yamashita, yang meliputi seluruh daerah bagian selatan termasuk Bantaeng.
Dalam masa pemerintahan Jepang, banyak pejuang didaerah ini ikut serta bersatu padu dengan pejuang didaerah lain utnuk mewujudkan kemerdekaan Bangsa terutama menghadapi kekejaman penjajah Jepang di Indonesia.
Masa Pemerintahan NIT dan RIS

Pada saat pemerintahan peralihan , khususnya setelah berdirinya Negara Indonesi Timur dan Republik Indonesia Serikat, maka disusunlah pemerintahan baru dengan putera -putera Indonesia asli sebagai pejabat. Untuk pertama kalinya di daerah ini , seorang pejabat pribumi memimpin pemerintahan dengan jabatan Boofd Beestutrs Hoofd, yakni :
Abdurrachman Daeng Mamangung pada tahun 1949 - 1950
Mohammad Ali tahun 1950
Andi Sultan Daeng Radja tahun 1950 - 1951, yang kemudian menjabat kepala Afdeeling dengan tetap membawahi Onder Afdeeling Bonthain, Bulukumba dan Selayar.
Abdul Latief Daeng Massiki kemudian menggantikan sementara tahun 1951, ketika Andi Sultan Daeng Radja harus berangkat ke Jakarta sebagai salah seorang wakil Sulawesi ketika menyatakan tekad dan dukungan kepada pemerintah Republik Indonesia dan mnunjuk Dr. Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi .

Masa Terbentuknya Kabupaten Daerah Tingkat II Bantaeng


Berdasarkan Undang-undang nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi , maka status Bonthain sebagai daerah Afdeeling berakhir dan selanjutnya menjadi Kabupaten Daerah Tingkat I Bonthain. Pada tahun itu juga, maka nama Bonthain berubah menjadi Bantaeng dengan alas an nama itu tidak sesuai dengan alasan kemerdekaan , karena nama Bonthain berbau ciptaan Belanda.
Sebagai Bupati Kepala Daerah yang pertama ditunjuk adalah sebagai berikut :
1. A. Rivai Bulu yang dilantik pada tanggal 1 Februari 1960 oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan hingga tahun 1965
2. Aru Saleh tahun 1965 sampai tahun 1966 menjabat Kepala Daerah sementara.
3. Haji. Solthan tahun 1966 sampai tahun 1971 berdasarkan hasil pemilihan secara Demokratisyang pertama kali dilaksanakan didaerah ini melalui DPR, Haji Solthan kemudian memasuki masa jabatan kedua tahun 1971 sampai tahun 1978
4. Drs. Haji Darwis Wahab selanjutnya terpilih menjadi Bupati Kepala Daerah tahun 1978 sampai tahun 1982 dan dilanjutkan pda masa jabatan kedua tahun 1982 sampai tahun 1988.
5. Drs. H. Malingkai Maknun menjabat Bupati Kepala Daerah tahun 1988 sampai tahun 1993.
6. Drs. HM. Said Saggaf, M.Si. tahun 1993 sampai tahun 1998.
7. Drs. H. Asikin Solthan. M.Si. tahun 1998 sampai tahun 2003, dilanjut masa jabatan kedua kalinya Tahun 2003 sampai tahun 2008. Perlu diketahui bahwa Drs. H. Azikin Sulthan . M.Si. adalah sebagai Bupati Kepala Daerah pertama pada era reformasi hingga memasuki berlakunya undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang merubah status sebagai daerah Otonomi.
Maka pada tangga 25 Juni 2008 terjadi sejarah baru di daerah Bantaeng yakni diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dimana dilaksankan pemilihan Pemimin Pemerintahan oleh Rakyat tanpa terwakili DPRD maka pada saat itulah hanya empat pasangan putra terbaik di pilih rakyat yang diusung oleh sejumlah partai yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyat  yang telah menempatkan yakni :
1. Drs. H. Syahan Solthan, M.Si.
2. DR. Ir. HM. Nurdin Abduah, M.Agr.
3. Ir. H. Arfandi Idris, S.H
4. H. Ibrahim Solthan, S.Sos.
Namun dalam pelaksanaan Pesta Demokrasi Rakyat Bantaeng yang ditentukan 127 ribu suara rakyat dengan tingkat persentasi sebesar 46 persen, maka dengan secara otomatis DR. Ir. HM. Nurdin Abdulla, M.Agr. yang brhak terpilih sebagai pemimpin Bantaeng periode 2008 sampai tahun 2013
Beberapa bangunan bersejarah
Balla’ Lompoa Lantebung

                                                                  ( Rumah Adat Balla’ Lompoa Lantebung )
Rumah Adat ini terletak di Jl. Bolu kampung Lantebung kelurahan Letta, Kecamatan Bantaeng dalam kota Bantaeng. Balla’ Lompoa berarti rumah besar dalam bahasa indonesia. Balla’ lompoa yang dikenal sebagai Rumah Adat Bantaeng ini luas tanahnya sekitar 1.617 meter persegi.  Rumah ini merupakan tempat kediaman Karaeng Bantaeng dan keluarga kerajaan. Rumah tradisional Makassar ini bentuknya seperti rumah panggung.Bangunan ini terdiri dari bangunan induk dan bangunan tambahan samping sebagai serambi. Bubungan atap berbentuk segitiga, terdapat anjungan dari kayu berbentuk kepala naga pada bagian depan dan berbentuk ekor naga pada bagian belakang.


Balla’ Lompoa Bantaeng

                                                            ( Rumah Adat Balla’ Lompoa Bantaeng )
Rumah Adat ini terletak di Jalan Dr. Ratulangi di kelurahan Letta  Kecamatan Bantaeng dalam kota Bantaeng. Balla’ lompoa berarti rumah besar dalam bahasa indonesia,Balla’ Lompoa yang dikenal sebagai Rumah Adat Bantaeng ini berdiri kokoh di pinggir jalan raya,rumah ini merupakan tempat berkantornya  Karaeng Bantaeng dan semua kegiatan nya dalam menjalankan tugasnya sebagai penguasa di Kerajaan Bantaeng. Rumah tradisional Makassar ini bentuknya seperti rumah panggung.
Bangunan ini terdiri dari bangunan induk dan bangunan tambahan samping sebagai serambi. Juga dilengkapi bangunan disebelah kanannya sebagai ruang rapat Karaeng bantaeng dengan perangkat Adat 12 nya.
Bubungan atap berbentuk segitiga, terdapat anjungan dari kayu berbentuk kepala naga pada bagian depan dan berbentuk ekor naga pada bagian belakang.





Balla’ Tujua

                                                            ( Balla’ Tujua Onto Bantaeng )
Balla Tujua berarti tuju buah rumah ini terletak di Perkampungan Tua Onto di Lereng Gunung Lompobattang di Desa Onto Kecamatan Bantaeng sekitar 12 km sebelah utara Ibukota Bantaeng.
Balla Tujua merupakan salah satu situs perkampungan yang menempati areal tanah milik masyarakat yang luasnya sekitar 5 hektar, disekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi hingga mencapai 60 meter serta rotan dan beberapa pohon lainnya.










Balla tujua ini adalah rumah yang dijadikan sebagai tempat pertemuan dari 7 orang pemimpin Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Kare, yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi, yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
Didalam kawasan ini terdapat 7 buah rumah tinggal, ada 6 buah rumah diantaranya berukuran besar dan menghadap ke Utara, sedangkan yang satunya berukuran kecil menghadap ke Selatan.
Selain itu, dikawasan ini terdapat bangunan tempat upacara untuk kegiatan pelantikan kepala kaum, pesta perkawinan, dan upacara kelahiran bayi. Bangunan ini berupa rumah panggung dan pagar, yaitu Rumah Balla Lompoa, Balla To’do, dan Balla Ca’dia. Bangunan lainnya dikenal dengan nama Taka’ Bassia, yaitu bangunan bekas tempat penempaan besi, terletak di sebelah Selatan Balla Ca’dia.
Masyarakat yang tinggal disana merupakan satu dari tuju kelompok masyarakat yang ada di Bantaeng pada zaman dahulu. Setiap kelompok masyarakat dipimpin oleh kepala kaum yang disebut Totoa, dia dianggap tua atau dituakan dalam kelompoknya, selain itu dia dianggap memiliki kecakapan tertentu dan sebagai simbol kehadiran leluhur mereka.
Cikal bakal kerajaan Bantaeng berasal dari Onto. Kepala kaum di Onto bergelar Rampang yang digantikan oleh Kareang Loe ri Onto.



Balla’ Bassia
                                                                                   ( Balla’ Bassia Bantaeng )
Balla’ Bassia ini terletak di Jl. Bete – bete ,Kelurahan Letta Kecamatan Bantaeng. Balla’ bassia berarti Rumah Besi, disebut sebagai Balla’ Bassia karena konon kabarnya rumah ini adalah rumah pertama di Bantaeng yang memakai terali besi, rumah ini milik seorang saudagar kaya dari Bone, dia merantau ke Bantaeng untuk berdagang, dan sekarang rumah ini di huni oleh keturunan sang saudagar kaya,saudagar kaya itu adalah leluhur dari H. Makkatutu.
Bentuknya seperti rumah panggung biasa, namun yang unik adalah semua papan yang ada dirumah ini berwarna kehitam - hitaman, mungkin berasal dari kayu bassi, papan yang berasal dari kayu yang disebut kayu bassi karena warna nya yang hitam. Ukuran bangunan rumah yang besar melambangkan rumah ini memang rumah seorang saudagar kaya.







Mesjid Tua Tompong
                                                                        ( Kompleks Mesjid Tua Tompong Bantaeng )
Masjid tua ini terletak di Jl. Bete – bete kampung Tompong Kelurahan Letta, Kecamatan Bantaeng. Konon Masjid ini dibangun tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng Karaeng Panawang bersama Adat 12, menempati areal tanah wakaf seluas 857 meter persegi. Untuk membangun Mesjid ini didatangkan seorang arsitek bernama La Pangewa dari Kabupaten Bone
Mesjid ini konon adalah sebuah Langgar, yang dibangun oleh Kali Baharuddin atas ijin karaeng Bantaeng. Kali Baharuddin adalah seorang perangkat Adat 12, yang merupakan penasehat spiritual Karaeng Bantaeng. Kali Baharuddin berasal dari Bone, leluhurnya merupakan keturunan Arung Palakka di Bone.Mesjid ini merupakan mesjid pertama yang dibangun di Bantaeng, pembangunan mesjid ini sebagai simbol bahwa Kerajaan Bantaeng dan penduduk di Bantaeng sudah lama menganut agama Islam.Sekilas tentang Mesjid kuno ini yang mana memiliki atap yang berbentuk tumpang tiga, bangunan induknya terdiri dari penampil dan tubuh mesjid, dinding mesjid dibagian utara, selatan dan barat terbuat dari tembok yang mempunyai ventilasi udara dari roster porselin berwarna hijau, dinding mesjid di bagian Timur terdiri dari empat pilar dengan gaya arsitektur Eropa. Tubuh mesjid terdiri dari tembok dengan 5 buah pintu masuk dan 6 buah jendela, diatas tiap pintuk masuk terdapat hiasan Kaligrafi Al-Qur’an, didalam tubuh mesjid terdapat 4 buah soko gutu berukuran 80 x 80 cm sebagai penopang atap, pada puncak mesjid terdapat mustak yang terbuat dari keramik masa Dinasti Ming, sedangkan di dalam mesjid terdapat pula mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari kayu bayam dengan relief dan kaligrafi.Dihalaman Timut mesjid terdapat 2 buah gapura pintu masuk berbentuk setengah lingkaran, disebeah kiri dan kanan gapura terdapat 2 buah kolam untuk tempat berwudhu dimana satu diantaranya ditutup dengan penutup yang berbentuk kubah.Dari masa kemasa Mesjid ini masih berdiri kokoh sampai sekarang dengan jamaah yang ratusan.

MAKAM RAJA-RAJA LA TENRI RUWA




( Makam Raja-raja La tenri Ruwa Bantaeng )
Kompleks makam para Raja-Raja ini merupakan salah satu bukti Kejayaan Bantaeng dimasa lalu dengan latar belakang sejarah bahwa Bantaeng merupakan Daerah kawasan para Raja-Raja atau lebih dikenal sebagai Karaengna Bantaeng. Kawasan ini terletak di tengah kota Kabupaten Bantaeng tepatnya di Lingkungan Lembang Cina Keurahan Pallantikang Kecamatan Bantaeng, sekitar 50 meter, untuk menuju kawasan ini kita bisa jalan kaki atau naik kendaraan. Sebelah timur kompleks makam ini terdapat Sungai Calendu yang bersambungan langsung ke laut, dalam kawasan makam in terdapat taman, jalan setapak, kolam, kursi taman, ruang informasi, kamar mandi dan WC, serta ruang tempat beristirahat.
Makam Raja-Raja Bantaeng ini lebih dikenal dengan Makam Raja-Raja La Tenri Ruwa, nama in diambil dari seorang tokoh sejarah yaitu La Tenri Ruwa yang makamnya ada dalam kompleks tersebut. LaTenri Ruwa adalam nama Raja Bone ke – 11, ia pertama menerima ajakan dari Raja Gowa ke – 14 Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin untuk memeluk agama islam, selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Bantaeng.
Dalam Kompleks pemakaman ini terdapat sekitar 159 buah makam, bangunan makam ini terbuat dari batu karang, selebihnya daru batu cadas, batu bata, dan batu kapur yang memakai bahan perekat semen. Sangat banyak yang bisa kita nikmati di Kawasan ini dan kita bisa banyak belajar dari sebuah sejarah yang sangat kental dengan ke Karaengang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar