Entri Populer

Minggu, 27 November 2011

Bebera Status Hukum Tanah Di Indobesia

Status Hak Milik - Girik ?

Selama ini masih sering terjadi kerancuan dalam menggunakan istilah “tanah milik”. Sebenarnya kita baru akan membicarakan masalah “tanah hak” hanya jika kita telah memiliki alas hak/dasar hukum kepemilikan hak itu. Oleh karena itu kalau seseorang mengatakan “memiliki tanah”, maka perlu ditelaah lebih lanjut mengenai yang dimaksudkannya itu, apakah ia memiliki tanah dalam artian ia memiliki tanah dengan status “hak milik” yang tentunya dapat dibuktikan dengan sertifikat hak milik ataukah yang dimaksudkannya ialah bahwa hanya ia menguasai sebidang tanah (tanpa adanya sertifikat hak milik). Sertifikat yang disebutkan di atas tentunya sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat tanah, termasuk di sini adalah sertifikat dengan hak milik.

Apabila seseorang menguasai suatu bidang tanah dalam waktu yang lama, ataupun secara turun-temurun, masyarakat sekitar menganggap dan mengakui bahwa orang tersebut adalah pemilik tanah, nah hal inilah yang disebut dengan “kepemilikan tanah secara adat”. Jadi penguasaan seseorang atas tanah tersebut sebetulnya memang ada, tapi baru diakui secara adat dan belum diakui secara sah oleh negara.

Tanah dengan penguasaan secara adat tersebut biasanya ditandai dengan suatu surat kepemilikan yang biasanya dinamakan “girik”. Hampir dapat dikatakan bahwa sebagian besar kepemilikan tanah di daerah-daerah itu adalah tanah girik. Sangat jarang sekali masyarakat (di daerah-daerah) yang mau mendaftarkan hak atas tanahnya ke BPN untuk meningkatkan status kepemilikan tanahnya menjadi hak milik. Seringkali biaya menjadi alasan yang paling banyak mendasari hal itu.

Kepemilikan secara adat (tanah girik) sebenarnya juga diakui oleh hukum, akan tetapi tetap harus didaftarkan/ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik terlebih dahulu agar memiliki kekuatan hukum yang kuat. Walaupun kepemilikan adat diakui (hukum adat) akan tetapi oleh karena tanah adalah salah satu objek yang kepemilikannya adalah "terdaftar" oleh karena itu pencatatan/administrasi menjadi hal yang sangat penting dalam pengurusan peralihan/konversi hak atas tanah.

Jika anda saat ini berniat untuk membeli tanah/membebaskan tanah yang masih berstatus tanah girik, maka sangat disarankan untuk meneliti lebih jauh mengenai kepemilikan tanah tersebut, misalnya dengan mendatangi lurah/kepala desa setempat. Apabila administrasi dilakukan dengan baik, maka kepemilikan tanah secra adat di suatu masyarakat seharusnya tercatat dengan baik di kepala desa/ lurah. Pencatatan secara rinci mengenai kepemilikan tanah girik tersebut sering dikenal dengan “riwayat tanah”.

Selain mendatangi kepala desa atau lurah setempat ada baiknya pula bagi anda yang berniat membeli tanah girik tersebut untuk mendatangi tetangga di sekitar lokasi tanah/”pemilik” tanah itu berada. Biasanya para tetangga mengetahui banyak hal tentang riwayat tanah. Bagaimanapun anda harus mencari banyak referensi dalam mencari informasi mengenai suatu bidang tanah. JANGAN HANYA MENGANDALKAN INFO DARI PENJUAL!!.  




Pengertian BPHT 


agi anda yang sering berurusan dengan jual-beli tanah mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. “Bea Perolehan” di sini maksudnya adalah Pajak, jadi secara sederhana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan;

Lantas apa itu “Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan” ? Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan (Sekedar mengingatkan bahwa beberapa contoh dari perbuatan hukum yaitu: Jual-Beli, Sewa-Menyewa, dsb. Sedangkan beberapa contoh dari “peristiwa hukum” misalnya adalah: waris dan hibah wasiat).

Jadi pada prinsipnya apabila anda mendapatkan/memperoleh hak atas tanah dan bangunan, baik anda mendapatkannya dengan cara membeli ataupun ketika anda mewarisi (mendapatkan hak atas tanah tersebut dari hasil warisan), atau bahkan dari pemberian orang lain (baik hibah biasa ataupun hibah wasiat), Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut tetap dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Hak atas tanah yang dimaksud dalam konteks Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Seperti: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa), Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengetahui lebih jauh tentang penjelasan dari hak atas tanah, anda dapat melihatnya pada artikel-artikel saya di blog ini. Namun pada prinsipnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan dibedakan dasar pengenaan pajaknya berdasarkan jenis hak atas tanahnya).


 Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas suatu tanah. jadi sederhananya, kita akan bicara hak guna bangunan kalau kita akan mendirikan suatu bangunan di atas tanah (yang bukan milik kita sendiri).

Mengapa harus ada hak guna bangunan (HGB)? Ya, karena tidak semua tanah itu merupakan hak milik. Bagi yang pernah kenal pembagian hak-hak atas tanah, pastinya sudah tidak asing dengan hak-hak seperti hak guna bangunan (HGB), hak milik, hak pakai, hak sewa dan hak guna usaha (HGU). Nah, intinya hak guna bangunan itu adalah hak yang peruntukannya/penggunaannya hanya untuk mendirikan/membangun bangunan, misalnya: rumah, kios, apartemen, kos2an gedung2 dll.

Sebagian dari kita mungkin tidak memiliki minat untuk memiliki suatu tanah dan oleh karena itu banyak pilihan di mana kita bisa tetap menggunakan manfaat suatu bidang tanah. misalnya apabila kita berminat untuk membangun sebuah peternakan, kita bisa menggunakan hak guna usaha atas tanah, misalkan kita hanya ingin menggunakan tanah untuk usaha areal parkiran, kita bisa menggunakan hak pakai atas tanah tersebut dan lain sebagainya.

hak guna bangunan biasanya menjadi pilihan buat mereka yang berminat untuk punya tanah tetapi tidak bermaksud untuk menempati tanah itu untuk waktu yang lama. Hak guna bangunan biasanya pilihan favorit buat mereka yang mau mendirikan usaha, misalnya kios, warung ato kos-kosan.

Apa sih resikonya hak guna bangunan(HGB)?. Karena hak guna bangunan bukan hak yang terkuat atas suatu tanah, maka hak guna bangunan itu kepemilikannya juga dibatasi sampai waktu tertentu. Kalau kita buka Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hak guna bangunan, disana disebutkan bahwa jangka waktu hak guna bangunan itu selama 30 (tiga puluh) tahun. Artinya resiko dari kepemilikan hak guna bangunan, yaitu jangka waktu kepemilikannya yang terbatas. Tentu saja ini beda dengan hak milik yang cenderung “abadi”, dikatakan “cenderung” karena mungkin saja ada hal-hal khusus/ kebijakan khusus dari pemerintah untuk mengambil kepemilikan hak milik tersebut.

Jangka waktu kepemilikan selama 30 tahun untuk hak guna bangunan sebetulnya masih bisa diperpanjang, yaitu sampai selama 20 tahun. Jadi buat anda yang berminat untuk menggunakan manfaat dari hak guna bangunan untuk selama jangka waktu tertentu. Hak guna bangunan ini tentu sangat cocok dan menguntungkan.

pedagang/pengusaha biasanya punya perhitungan yang cermat dalam menggunakan hak guna bangunan ini, mereka akan menghitung keuntungan yang mungkin bisa mereka dapatkan dalam kurun waktu penggunaan hak guna bangunan (HGB) tersebut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar