Entri Populer

Senin, 19 Desember 2011

Pasal 335 KUHAP

PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP)

“Perkara Sampah Masuk Keranjang Sampah”
Bulan Juli lalu aku mendapatkan perintah untuk meneliti berkas perkara dari penyidik perihal dugaan “perbuatan tidak menyenangkan”, ini tentu saja bukan yang pertama aku “mendapatkan” perkara dengan sangkaan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, namun bila aku ingat tidak dari semuanya saat tuntutan (requisitoir) dibacakan, aku membuktikan pasal ini, ya biasanya memang dalam berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik pasal yang dikenakan biasanya berlapis ataupun bersifat alternatif seperti Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP disandingkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 12/Drt/1951 yaitu perbuatan secara tanpa hak membawa senjata penusuk maupun senjata penikam. Aku sih ingin cerita kenapa aku tidak membuktikan Pasal 335 itu, tidak lain karena setiap kali mendapatkan pasal itu, aku merasa perbuatan dari tersangka/terdakwa itu tidak memenuhi unsur dari Pasal 335 itu, namun anehnya selama kurang lebih 2 tahun aku bergelut dalam pekerjaan yang senantiasa dan selalu berhadapan dengan masalah ini, banyak sekali perkara yang dikerjakan penyidik menyelipkan Pasal 335 di dalam sangkaannya, ini menjadi mengingatkanku pada waktu kuliah dulu bahwa perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP adalah “pasal karet” adalah “keranjang sampah”, bahkan banyak yang mengatakan bahwa semua perbuatan dapat masuk dalam pasal ini, harusnya pasal ini dihapus, tapi benarkah demikian sederhana?

Sebelum mencoba mempreteli Pasal 335 ini, aku ingin sedikit melanjutkan cerita tentang berkas perkara yang aku dapat bulan juli tadi, ya tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik adalah tunggal, gambaran kasus posisinya kurang lebih begini “pelapor sebutlah A, tengah membuang 1 kantong plastik sampah di areal sekitar pasar desa, setelah membuang sampah tersebut A pulang dan kurang lebih 10 menit setelah itu, tetangganya si A katakanlah B yang tinggal di sekitar pasar, mengambil sampah yang dibuang si A, dimana selanjutnya membawa dan melemparkan sampah tersebut ke rumah A yang mengenai kaca depan rumahnya, karena merasa terhina, A kemudian melaporkan B atas perbuatan tidak menyenangkan.”, miris juga ketika mendapatkan perkara ini, “perkara sampah” yang masuk “keranjang sampah” ironis..
 Baik kita akan coba membedah perbuatan tidak menyenangkan ini, pertama dengan melihat bunyi Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, disini aku memakai KUHP terjemahan/disusun R. Soenarto Soerodibroto (pada pokoknya KUHP mana aja sama karena semua berasal dari Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dari jaman penjajahan Belanda di Indonesia (Nederlandsch Indie), jadi kalaupun ada perbedaan hanya pada penggunaan istilah dan susunan kalimat saja), dimana pasal ini berbunyi “barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
Bahwa bila kita melihat rumusan bagian inti delik (delicts bestanddelen) tersebut maka kita dapat melihat bahwa tindak pidana tersebut berupa :
1.   Pelaku adalah barang siapa, artinya setiap orang (person) yang melakukan perbuatan tersebut yang mampu bertanggung jawab menurut hukum.
2.   Bentuk perbuatan adalah memaksa, dimana yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang untuk melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) sehingga orang itu melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) berlawanan dengan kehendak sendiri, (R. Soesilo).
3.   Objeknya adalah : orang, bahwa perbuatan memaksa tersebut ditujukan kepada orang.
4.  Dilakukan dengan Secara melawan hukum, singkatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum baik dalm arti obyektif maupun hukum dalam arti subyektif dan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (lihat Arrest HR 6 Januari 1905 dan Arrest HR 31 Januari 1919).
5.   Cara melakukan perbuatan (bersifat alternatif), yaitu dilakukan baik :
a. dengan kekerasan; untuk unsur kekerasan, lihat Pasal 89 KUHP, dimana disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.. dimana menurut R. Soesilo, “tidak berdaya” artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. atau dengan perbuatan lain;  maupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.
b.  dengan ancaman kekerasan; atau dengan ancaman perbuatan lain; maupun dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan.
5.   Tujuan pembuat melakukan perbuatan (bersifat alternatif) :
a.   orang itu atau orang lain  supaya melakukan sesuatu.
b.   orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu.
c.   orang itu atau orang lain  membiarkan sesuatu.

Dalam prakteknya, penerapan Pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung R.I. (MA) akan menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksaan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis.
Dalam putusan Nomor : 675 K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende Nomor : 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985, MA telah memberi kualifikasi perbuatan pidana yang tidak menyenangkan yaitu: “Dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu.Artinya, ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban) tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut.
            Bahwa penekanan pada unsur “memaksa” sebenarnya adalah logis, karena perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 ini bila kita kaji sesungguhnya termasuk dalam Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang yang diatur dalam Bab XVIII KUHP, dimana bila kita melihat tindak pidana atau katakanlah kejahatan yang diatur di dalamnya kesemuanya menentukan bahwa seorang korban kejahatan tidak dapat berbuat-apa, tidak berdaya dan/atau tidak memiliki pilihan (kemerdekaan) untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana kehendaknya sendiri, kita bisa melihat misalnya Pasal 324, 325, 326, 327 KUHP mengatur tentang kejahatan perniagaan budak, Pasal 328 KUHP penculikan, 329 KUHP mengangkut orang ke daerah lain tidak sebagaimana perjanjian kerja, Pasal 330, 331, 332 KUHP perihal membawa lari anak dan/atau wanita belum dewasa, 333, 334  KUHP merampas kemerdekaan seseorang (menahan/mengurung seseorang baik karena sengaja maupun alpa), Pasal 335 KUHP perbuatan tidak menyenangkan (?), Pasal 336 KUHP pengancaman (ada beberapa perbuatan alternatif di dalamnya.
       Dengan demikian masihkah kita mengatakan bahwa Pasal 335 KUHP ini merupakan keranjang sampah? merupakan pasal karet? pasal yang dapat digunakan siapa saja yang merasa tidak senang akan ulah atau perbuatan seseorang yang kemudian melaporkan hal tersebut kepada kepolisian dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana yang dilakukan A yang tidak senang akan tindakan tetangganya si B yang melempar rumahnya dengan sekantong plastik sampah. Bahwa benar salah satu cita hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam hidup bermasyarakat, akan tetapi tidak semua “masalah” yang notabene-nya adalah dassolen yang tidak ketemu/klop dengan dassein harus diselesaikan lewat institusi yang bernama hukumkan?
Bahwa dalam kehidupan bertetangga kita semua mengharapkan ketertiban, kerukunan, namun tentu tidak jarang kita temui kerukunan tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, katakanlah ada tetangga kita yang seringkali menyalakan tape/televisi/radio dengan suara yang keras hingga membuat bising (apalagi dengan selera musik yang berbeda), ada tetangga kita yang kebetulan rumahnya adalah sekretariat organisasi yang sering mengadakan pertemuan, rapat hingga dini hari, ada tetangga (perempuan) kita yang sering menerima tamu lelaki hingga tak kenal waktu dan banyak lagi tetangga kita lainnya yang kadang pikir, sikap, prilakunya tidak bisa kita terima, tapi pertanyaannya apakah semua harus kita selesaikan lewat institusi hukum? Tentu tidak bukan, untuk itulah dalam kehidupan bermasyarakat, kehidupan bertetangga ada institusi yang bernama Rukun Tetangga (RT) ada institusi yang kita sebut dengan Rukun Warga (RW), ada institusi yang kita sebut dengan Kepala Desa beserta jajarannya, itulah institusi-institusi yang juga berperan dalam mewujudkan ketertiban, kerukunan dalam hidup bermasyarakat.
Cukuplah kita melihat berita-berita seperti Hamdani yang “melakukan pencurian” sandal bolong PT Osaga Mas Utama yang ia kenakan untuk mengambil air wudhu; nenek minah yang “mencuri” 3 buah kakao di Kebun PT. Rumpun Sari Antan untuk dijadikan bibit; Basar dan Kholil dengan 1 buah semangka; atau perbuatan tidak menyenangkan untuk CEO Buzz & Co, Sumardy si pengirim peti mati; perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan Lim Ping Kiat yang dilaporkan dilaporkan PT ERA Indonesia ke Polres Jakarta Barat karena telah menulis surat pembaca karena merasa dirugikan saat membeli rumah di Taman Ratu melalui agen jasa penjualan rumah ERA Graha Asri, perbuatan tidak menyenangkan Hendarman Supanji yang dilaporkan Yusril Ihza Mahendra karena Pagar Kejaksaan Agung yang tergembok; perbuatan tidak menyenangkan yang dilaporkan Nurdin Halid atas ucapan Saleh Iskandar Mukandar (Ketua Persebaya 1927) di salah satu acara di sebuah stasiun televisi yang mengatakan “Semua pengurus PSSI penipu”.
Hukum hendaknya membawa bahagia bukan sengsara..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar