Entri Populer

Rabu, 07 Desember 2011

Seputar Meterei Tempel


saya pernah menandatangani kuitansi yang bukan di atas meterai. Kuitansi ini untuk serah terima sejumlah uang dari si A untuk urusan surat izin. Saat penyerahan uang saya ditemani oleh si C (si C yg memperkenalkan saya dengan si A). Yang menerima uang dari si A adalah si C tetapi saya yang menandatangani kuitansi penyerahan uang. Surat izin yang ingin dibuat si A melalui saya dan si C tidak selesai. Jadi, si A menuntut uangnya kembali kepada saya, sedang si C tidak tahu masalah uang itu. Si A telah melaporkan hal ini ke pihak kecamatan dan kantor PU kabupaten. Si A juga telah menuduh saya sebagai penipu, sedang saya tidak ada menerima uang. Yang ingin saya tanyakan 1. Apakah kuitansi yang tidak bermeterai dapat dijadikan alat bukti di pengadilan? 2. Bagaimanakah penyelesaian masalah saya ini? 3. Apakah yang dilakukan si A dengan menuduh saya sebagai penipu dapat dijadikan sebagai pencemaran nama baik, karena di mata masarakat saya sudah tidak dipercaya lagi?
Jawaban :
1.      Pada dasarnya pemberian meterai adalah hanya sebagai bukti pembayaran pajak atas surat/dokumen sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Namun, untuk keperluan pembuktian di pengadilan apabila suatu surat/dokumen (dalam hal ini kuitansi) yang belum bermeterai, dapat dilakukan pemeteraian kemudian untuk kepentingan pembuktian yang dilakukan oleh pejabat pos (lihat Pasal 2 ayat [3] huruf a jo. Pasal 10 UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai).

Putusan Mahkamah Agung tgl. 28-8-1975 No. 983 K/Sip/1972 menegaskan bahwa kuitansi yang diajukan oleh tergugat sebagai bukti, karena tidak bermeterai oleh Hakim dikesampingkan. Jadi, dalam hal kuitansi tersebut akan dipakai sebagai alat bukti di pengadilan maka kuitansi tersebut wajib dimeteraikan terlebih dahulu.

2.      Dari cerita yang Anda sampaikan, dikarenakan Anda dan C telah menerima pembayaran dari A untuk pengurusan izin tersebut, maka Anda dan C terikat secara hukum dengan A dan mempunyai kewajiban hukum untuk menyelesaikan izin tersebut atau apabila dalam hal izin tidak dapat dikeluarkan maka uang A harus dikembalikan.

Dalam hal ini, Anda dan C terikat perjanjian yang mungkin dibuat secara lisan pada saat Anda dan C memberikan persetujuan untuk mengurus izin tersebut dan A menyetujui pembayaran. Pembayaran ini kemudian dibuktikan dengan adanya kuitansi bukti tanda penyerahan uang dari A. Untuk itu, apabila Anda dan C tidak memenuhi perjanjian tersebut maka Anda dan C termasuk melakukan ingkar janji atau wanprestasi (lihat Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata):
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”
Dengan demikian, solusinya adalah Anda meminta C untuk mengembalikan uang tersebut karena yang menerima uang tersebut adalah C. Dalam hal uang tersebut tidak dikembalikan, maka Anda dan C dapat digugat secara perdata (wanprestasi) maupun dituntut secara pidana yaitu penipuan (lihat Pasal 378 KUH Pidana).

3.      Tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUH Pidana adalah sebagai berikut:

“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Jadi, apabila A dengan sengaja mencemarkan nama baik Anda hingga diketahui oleh umum dapat dikategorikan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Pelaku pencemaran nama baik dapat dituntut secara pidana jika diadukan oleh yang merasa dicemarkan nama baiknya (dalam hal ini Anda). Tapi, tanpa pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan maka tindak pidana tersebut tidak akan diproses oleh polisi karena pencemaran nama baik termasuk delik aduan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 
3.                                 Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 


Surat pernyataan bermeteri

Saya ingin menanyakan tentang surat pernyataan yang telah ditandatangan bea meterai. Dalam hal ini berkaitan dengan surat pernyataan tentang larangan melakukan sesuatu, dan apabila dilanggar maka yang bersangkutan dikenakan sanksi. Jika surat pernyataan tersebut ditambah dengan tanda tangan saksi, apakah hal tersebut perlu dilakukan? Terima kasih.
Jawaban :
Surat pernyataan yang Anda buat merupakan akta di bawah tangan. Agar surat tersebut dapat digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata maka surat pernyataan tersebut ditandatangani di atas meterai Rp6.000,- (lihat pasal 2 ayat [1] huruf a UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai jo pasal 2 ayat [1] PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai).

Untuk akta di bawah tangan pemeriksaan yang paling pertama dilakukan oleh hakim adalah mengenai benar tidaknya akta yang bersangkutan telah ditandatangani oleh pihak(-pihak) yang bersangkutan. Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya, memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti suatu akta otentik (lihat pasal 1875 KUHPerdata. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung: tgl. 3-12-1974 No. 1043 K/Sip/1971). Jadi, selama tidak disangkal, akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sama seperti akta otentik.

Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, di dalam surat pernyataan tersebut perlu dimasukkan dua orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Selain itu, juga dalam konteks memperkuat pembuktian, akta di bawah tangan dapat dilegalisasi atau disahkan oleh notaris. Seperti ditegaskan dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”), notaris berwenang pula untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Dalam penjelasan pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN dikatakan bahwa ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Dalam praktiknya, menurut notaris Irma Devita, legalisasi akta di bawah tangan berarti dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Menurut Irma, dalam legalisasi notaris menjamin bahwa yang tanda tangan adalah orang yang namanya tertulis di dalam surat di bawah tangan. Notaris juga menjelaskan isi surat tersebut sehingga di kemudian hari yang bersangkutan tidak bisa ingkar bahwa dia hanya tanda tangan saja tapi tidak mengerti isinya.
Sementara itu, jika akta di bawah tangan tersebut tidak ditandatangani di hadapan notaris -- seperti yang Anda uraikan dalam pertanyaan -- maka akta di bawah tangan tersebut dapat diregister dalam buku khusus (waarmerking) oleh notaris (lihat pasal 15 ayat [2] UUJN). Dengan demikian jika suatu hari terjadi sengketa mengenai isi surat pernyataan tersebut, pihak yang bersangkutan dapat melihat surat yang telah di-waarmerking tersebut.
Dasar hukum:
1.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847No. 23)
     2.        Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
3.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
4.   Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai





Tidak ada komentar:

Posting Komentar