Entri Populer

Senin, 28 November 2011

Alkes Standart Rumah Sakit Pratama


Elektromedik
Electro Short Wave Diathermi – LTD.CD-31
Electro Short Wave Diathermi – CDB-1
Lampu Electromagnetic Therapy Apparatus (TDP Lamp)- CQ 22
Infrared Lamp – Philips
Ultrasonic Nebulizer – 402 AI
Oxygen Concentrator – Portable
Tongkat
Cervical Coral Medex
Game Ready System – Unit Kontrol terapi kompresi dan terapi dingin
Game Ready carrybag
Game Ready Handwrap.
Lampu Electroma
Endoscopy Internist
Endoscopy set
Light Sourch
Video Processor
Light Sourch & Video Processor
Video Gastroscopy
Video Colonoscopy
Endoscopy kit
Video Processor & Light Sou

Diagnostic
Stetoskop,Ttensimeter,
Reflex hammer, funduscope,
Penlight, headlamp, laryngoscope,
opthalmoscope, tonometer,
triallamps/snellen card/slitlamp
Tensimeter Greenlight 300
Stopwatch Diamond, Stopwatch digital
Timer Lab, Timer Lab Manual
Patien Monitor Life Care 787
Patien Monitor Multi Parameter BM5
Central Station- Patien Monitor Analogic Medical LC
USG diagnostic for Urology
ECG 12 Channel Intepretative With SpirometrY
Alat Pantau Kadar Gula Darah
3 W LED Head Light
HUGER Endoscopy Set
Nurse Kit Komplit , Partus Kit
Pulse Oxymeter
Test Kehamilan Sangat Sensitif
USG Dengan 3 Dimensi Dan 4 Dimensi
Thermometer Digital Alpa 1 – Axila.
Thermometer Digital Ear – Thermone
Thermometer Digital- Anak, Thermometer Air Raksa – Axila  
Thermometer Air Raksa – Oral
Thermometer Air Raksa – Rectal

Hospital Furniture
IV Drip Chair
Bed Set Cabinet
IV Drip Chair dan Bed Set Cabinet
 Bed Pasien 1 crank
Bed Pasien 2 Crank
Bed Pasien 3 Crank
Bed Pasien Lux 2 Crank
Bed Pasien Elektric
Alat Bantu Berjalan Besi
Baby Box
Baby Trolly SS
Baby Trolly+Timbangan
Bed Gynec Standard
Bed Obgyn Transfer
Bed patien 3 Crank Comforta
Bed Pasien Husada 2 Crank
Bed Pasien OneMed Optima 3 Crank Complit
Brancard Emergency Plus
Cover K.Roda 1
Double Deluxe LCD


Laboratorium
Photo Rontgent
Alat-alat Laboratorium
Hematology Analyser
Photometer
Urine Analyser
Hematology Analyser
Reagent Hematology Analyser
Electrolite Analyser
Reagen Kimia Klinik
Reagen Dasar
Rapid Tes (Hamil Urine, Kesuburan Urine, PSA, Gula dan Protein Urine, Hepatitis Darah, Narkoba Urine, HIV, Fecal Blood, Menopause Urine)
Vaculab Blood Collection Tube
Mikropipetdragon
Citotest Glass/ Object Glass & Cover Glass
Disposable and Instrument Laboratorium
Ph Meter
Tips/Tube
Catton Swab
Haemocytometer/ Hb Sahli
Microscope
Centrifuge
Blood Gluco Monitor
Baby Test
Beker Glass
Larutan Benedic
Biological Safety Cabinet
BLOOD LANCET
Blood Bank Refrigerator
Pharmacy,Lab Refrigerator
Pharmacy,Blood and Vacine Refrigerator
Lab Freezer
Cryo Freezer
Pulse Vacum Sterilizer
Clean Benches
Biological Safty Cabinet
Washer Desinfector
PCR Gradient Thermal Cycler
Hemotest
Object Glass
Electrolyte Analyzer
Laboratorium Ware
Semi Automatic Clinical Chemistery Analyzer merk SINOWA tipe BS-3000P


Labaoratorium Ware
Fully Automatic Biochemistry Analyzer,SINNOWA tipe B-200
Urine Analyzer URIT 50
Urine Analyzer URIT 300
Urine Analyzer URIT 500
Microplate Washer MW-12A
Microplate Reader MR-96 A
Gluco Dr Monitoring Super Sensor
Eritrocyte Sedimentation Rate Analyzer 2010
Tabung centrifuge
Urine container
Chemestery Analyzer OL 120
Outomatic Hematology Analyzer – OL-5300
Blood Colection Tube/ Vaculab
Larutan Benedict
Larutan Eosin 2%
Larutan Giemza
Larutan Hayem
Larutan HCL
Larutan Metanol
Larutan Turk

Equipment
Portable Emergency Ventilator – Shangrila 510
Portable Emergency Ventilator – Shangrila 920
Ventilator – Shangrila 580
Aeon 7200A- Anasthesia Machine.
Aeon 7400 A- Anasthesia Machine
Aeon 7500 A – Anasthesi Mechin.
AEONMED 7700 A – anasthesia Mechin
AEONMED 7800 A – Anasthsia Machine.
Ventilator – Shangrila 590
Ultra Sound Scanner EMPHEROR EMP-1100
Infusion Pump – Fresinnius Kabi
Syringe Pump – Fresinius Kabi
Com- Tec
Compomat G4-Outomatic Blood Componen Processing System
Composeal-Tube Sealing Sytem
HemoLight Plus
PlaquetaMix H 

IIncubator & Phototherapi Lamp
Incubator YP 80
Infant Warmer
Lampu Phototerapy
Transport Incubator
Incubator
Baby Incubator
       
Disposable
Syringe
Infusion/blood set
Jarum/ Disposible needle
IV Catheter
Injection Plug
Wing Needle
Blood Lancet/ Auto Lancet
Nedle Destroyer
ID Band
Mucous Extractor
Proctoscope/Vaginal Disposible
IV Arm Board
Umbilical Cord Klem
Suction Catheterl 3 ways/ Injection Plug
Colostomy Bag
BioSM (Suture Medical) Cassete Pack
Medical Paper. ECG Electrode
Ultrasonic Gel
Surgical Blade
Suture
3 way Stopcock tube
BASIC DRESSING-Set
Blood Set
Sharp Container
catgut chromic
Chromic + Plain with Needle
Condom Catheter
Disposible Syringe 2,5 cc
Endotracheal tube ETT
Enema – Irrigator
Enema Syringe
eye protector
Feding Tube
feeding syringe 60cc
Folley catheter
Gastric Leavage Spooiler
Gliserin Syringe
spuit 1 cc
spuit o,5 cc
Inflo IV catheter PEN TYPE
Gynecologi Aspiratori System
Infusion Set & Blood Set
Infusion Set & Blood Set
Irigator Set
Mucus Extractor
Needle destroyer A
Needle destroyer B
Nelathon Chateter
oxyflo Selang O2
Progtoscope
Silk & Catgut
New Silk with Needle
Spuit Tuberculin
Stera 1
STERA SYRINGE
Stomac Tube
stomatec P2 Colostomy Bag
suction connecting Tube
Syringe 3 CC
Syringe 5 CC
Syringe 20 CC
Ultrasonic Gel OM
Ultrasonic Gel
Umbilical Cord Clem
Urine Bag
VAGION Gynecological Specullum
Wing Needle 


Minggu, 27 November 2011

Rumah Dinas TNi Bisa Di sertifikasi ?

Kini tak ada lagi demo di kompleks-kompleks TNI. Untuk sementara, demo menuntut diperbolehkannya rumah dinas tetap dihuni, reda.
Kesepakatan Kementerian Pertahanan, TNI dan DPR menyebut, pengambilalihan aset berupa rumah negara TNI dihentikan sementara. Mereka yang menghuni rumah dinas TNI bersikukuh bertahan, sementara TNI mengaku kekurangan rumah bagi prajurit aktif. Adakah jalan tengah yang bisa ditempuh?
Suherni: "Ngumpul di sini ... kita keluarga besar makanya dibikin besar ... kumpul kakak, adik, khan sudah pada married semua anak-anaknya ... kumpul di sini."
Suherni menunjuk lantai marmer putih seluas belasan meter persegi. Dulu, ini adalah ruang tamu keluarga, tempat keluarganya berkumpul. Sekarang, ruangan ini kosong. Semua perabot rumah tangga sudah diungsikan ke luar rumah. Hanya ada selembar tikar untuk tamu yang datang. Sisa-sisa perabotan rumah dijajarkan di pinggir tembok.
Kompleks TNI AD
Rumah Suherni terletak di Kompleks Perumahan Angkatan Darat, di kawasan Otista, Jakarta Timur. Setiap hari, Suherni dan suaminya, Eddy Sudadya was-was. Takut sewaktu-waktu terjadi pengusiran paksa. Januari silam, mereka mendapat surat dari Komando Daerah Militer, Kodam Jaya, yang mengaku sebagai pemilik sah rumah dan bangunan tersebut. Keduanya diminta segera angkat kaki, tanpa ganti rugi. Suherni dan Eddy menolak.
Eddy Sudadya: "Kalo ini rumah dinas sebetulnya khan perbaikan, atau apa-apa ada yang mengawasi. Rumah ini mau diperbaiki ada pengawas, gak boleh diperbaiki, lapor ke Kodam khan. Nyatanya sampai sekarang dibiarkan. PBB pun kita yang bayar, listrik kita juga yang bayar. Anggaran untuk perbaikan juga gak ada."
Status pemilikan
Kondisi ini tidak hanya dialami Suherni. Dua ratusan penghuni lain di kompleks ini juga mempertanyakan status tanah di rumah negara milik Kodam Jaya tersebut. Menurut mereka, Kodam tak pernah menunjukkan surat kepemilikan tanah. Haryo Unggul, koordinator penghuni rumah negara.
Haryo Unggul: "Status tanah yang ada sekarang ini tanah negara yang berasal dari 'eigendom verbonding' atas nama Lau Shin Chui. Sampe sekarang kita sudah menanyakan ke BPN soal status tanah ini. Tapi tidak dijawab karena sudah diblokir Kodam Jaya. Jadi kewenangan tanah di sini adalah institusi kodam, tapi ini bukan berdasarkan hukum, berdasarkan satu intimidasi."
Di sisi lain, negara juga bersikukuh, rumah harus dikosongkan. Rumah itu akan ditempati oleh prajurit TNI yang masih aktif.  TNI mengklaim, tiga per empat jumlah rumah negara milik TNI ditempati oleh purnawirawan dan keluarganya. Justru bukan oleh prajurit aktif yang lebih berhak. TNI juga mengakui, masih kekurangan rumah bagi prajurit-prajurit mereka. Ada sisi kemanusiaan yang ingin disentil oleh mereka yang masih menempati rumah dinas tentara. Adakah jalan tengahnya?
Sidang DPR
30 ribuan keluarga penghuni rumah negara TNI bisa sedikit bernafas lega. Usai rapat di DPR akhir Februari lalu, Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan Komisi Pertahanan DPR, sepakat untuk menghentikan sementara pengambilalihan aset rumah negara TNI. 
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro: "Jadi pelaksanaan di lapangan akan moratorium sementara, sambil kita perbaiki operasionalisasinya, tapi aturannya tetap. Aturannya memang rumah golongan I, golongan II itu rumah negara. Kebijakannya tetep tetapi pelaksanaan di lapangan dilakukan moratorium sementara ini sambil kita membenahilah. Karena kasus-kasus di lapangan banyak."
Golongan-golongan yang disebut Purnomo merujuk pada peraturan pemerintah soal status golongan rumah negara. Hanya rumah Golongan III yang boleh dijual ke penghuni, selebihnya harus dikembalikan kepada negara begitu penghuninya pensiun.
Dapat sertifikat
Namun sebagian warga Otista berkeras ingin memiliki rumah negara itu. Alasannya, 20 rumah sudah mendapatkan sertifikat kepemilikan. 180-an rumah sisanya ingin mendapatkan keistimewaan yang sama. Apalagi rumah-rumah tersebut berada di kompleks yang sama, kata Anda Pahlevi, anggota Paguyuban Penghuni Rumah Negara Otista. 
Anda Pahlevi: "Saya juga terus terang kaget setelah kita dapatkan informasi ada beberapa rumah yang sudah dapatkan sertifikat. Ya tentu sertifikatnya ada proses khan. Sehingga mereka bisa mendapatkan sertifikat. Minimal yang sebelah-sebelahnya seperti kita yang belum punya bisa mendapatkan sertifikat seperti itu."
Rumah Jendral
Pemilikan sertifikat dilakukan sebagian warga secara diam-diam tahun 1980-an. Namun, setelah banyak penghuni yang ingin mengalihkan status rumah mereka, supaya bisa jadi hak milik, Kodam Jaya melarangnya. Bahkan, kini Kodam Jaya memblokir sertifikat warga yang sudah dibuat. Selain itu, banyak juga rupanya rumah negara yang mubazir dibiarkan kosong. Haryo Unggul menunjuk rumah milik salah satu jendral di kompleks mereka.
Haryo Unggul: "Yang punya jendral sampai sekarang tidak dihuni. Kenapa kosong? Karena rumahnya kebanyakan. Kalo dibilang Sfarie Sjamsudin TNI kekurangan rumah, yang kelebihan rumah harus dilihat dong. Yang kelebihan rumah harus dihitung juga. Mereka yang kelebihan rumah membagi yang masih kurang. adilnya khan begitu. Tapi digembar-gemborkan tentara kurang rumah, yang kelebihan rumah kasih tau dong."
UUPA
Ada juga Undang-undang Pokok Agraria. Di situ tertera, jika sudah menghuni lebih dari 20 tahun berturut-turut, maka si penghuni berhak mendaftarkan kepemilikan tanah. Walau terus didesak, Menteri Pertahanan bersikukuh tidak akan mengalihkan kepemilikan rumah negara. TNI mengklaim masih kekurangan 160 ribuan rumah untuk prajuritnya. Dari target kebutuhan 360 ribuan rumah, TNI baru bisa menyediakan sekitar separuhnya.
Menhan Purnomo Yusgiantoro: "Rumah golongan I dan golongan II tidak bisa dibeli, yang ada surat ijin penempatan. Jadi itu bukan dipindah ke golongan II bisa dibeli. Itu rumah untuk kestarian, untuk prajurit. Itu untuk mereka yang bertugas sementara di situ, kalo mereka tidak bertugas SIP-nya dicabut lagi."
DPR mencoba mencari jalan tengah. Komisi Pertahanan mendesak Kementerian Pertahanan dan TNI menghentikan pengambilalihan paksa rumah dinas tentara. Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Tubagus Hasanuddin menjanjikan, Panitia Kerja Aset TNI segera bekerja dan mencari solusi. Apalagi, langkah pengusiran dianggap tak bijak.
Klik tanda panah di bawah ini, untuk mendengarkan laporan selengkapnya:

Bagaimana Meningkatkan StatusKepemilikan Tanah

Sebelum kita membahas mengenai tata cara pensertifikatan tanah girik, saya merasa perlu untuk menjelaskan, apa itu tanah girik. Tanah girik adalah istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D, rincik, ketitir, dll
Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi2 atau dipecah2 menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusui kepemilikannya.
Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali . Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk TANAH GARAPAN, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa atas tanah tersebut belum pernah disertifikatkan serta riwayat pemilikan tanah dimaksud.
2. Pembuatan surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari RT/RW/LURAH
3. Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan
4. Penerbitan Gambar Situasi atau Surat Ukur, yang dilanjutkan dengan pengesahannya
5. Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi atau Surat Ukur. Pembayaran BPHTB tersebut dilakukan apabila tanah yang dimohon berasal dari tanah negara atau tanah garapan. Atau dalam hal pada waktu proses pelaksanaan AJBnya dulu, BPHTB tersebut belum dibayarkan
6. Proses pertimbangan pada panitia A
7. Pengumuman di Kantor Pertanahan dan Kantor Kelurahan setempat selama lebih kurang 2 bulan
8. Pengesahan pengumuman
9. Penerbitan Sertifikat tanah.

untuk proses pensertifikatan tanah tersebut hanya dapat dilakukan jika pada waktu
pengecekan di kantor kelurahan setempat dan kantor pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut). Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun.


Cara Mendapatkan Sertifikat dari Status Tanah Girik 

Tanah girik adalah istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D, rincik, ketitir, dll.

Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi2 atau dipecah2 menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat jual beli tanah apapun yang dapat digunakan untuk menelusui kepemilikannya.

Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali . Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk TANAH GARAPAN, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan
2. Pembuatan surat tidak sengketa dari RT/RW/LURAH
3. Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan
4. Penerbitan Gambar Situasi baru
5. Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi
6. Proses pertimbangan pada panitia A
7. Penerbitan SK Pemilikan tanah (SKPT)
8. Pembayaran Uang pemasukan ke negara (SPS)
9. Penerbitan Sertifikat tanah.

Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun.







Bebera Status Hukum Tanah Di Indobesia

Status Hak Milik - Girik ?

Selama ini masih sering terjadi kerancuan dalam menggunakan istilah “tanah milik”. Sebenarnya kita baru akan membicarakan masalah “tanah hak” hanya jika kita telah memiliki alas hak/dasar hukum kepemilikan hak itu. Oleh karena itu kalau seseorang mengatakan “memiliki tanah”, maka perlu ditelaah lebih lanjut mengenai yang dimaksudkannya itu, apakah ia memiliki tanah dalam artian ia memiliki tanah dengan status “hak milik” yang tentunya dapat dibuktikan dengan sertifikat hak milik ataukah yang dimaksudkannya ialah bahwa hanya ia menguasai sebidang tanah (tanpa adanya sertifikat hak milik). Sertifikat yang disebutkan di atas tentunya sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikat tanah, termasuk di sini adalah sertifikat dengan hak milik.

Apabila seseorang menguasai suatu bidang tanah dalam waktu yang lama, ataupun secara turun-temurun, masyarakat sekitar menganggap dan mengakui bahwa orang tersebut adalah pemilik tanah, nah hal inilah yang disebut dengan “kepemilikan tanah secara adat”. Jadi penguasaan seseorang atas tanah tersebut sebetulnya memang ada, tapi baru diakui secara adat dan belum diakui secara sah oleh negara.

Tanah dengan penguasaan secara adat tersebut biasanya ditandai dengan suatu surat kepemilikan yang biasanya dinamakan “girik”. Hampir dapat dikatakan bahwa sebagian besar kepemilikan tanah di daerah-daerah itu adalah tanah girik. Sangat jarang sekali masyarakat (di daerah-daerah) yang mau mendaftarkan hak atas tanahnya ke BPN untuk meningkatkan status kepemilikan tanahnya menjadi hak milik. Seringkali biaya menjadi alasan yang paling banyak mendasari hal itu.

Kepemilikan secara adat (tanah girik) sebenarnya juga diakui oleh hukum, akan tetapi tetap harus didaftarkan/ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik terlebih dahulu agar memiliki kekuatan hukum yang kuat. Walaupun kepemilikan adat diakui (hukum adat) akan tetapi oleh karena tanah adalah salah satu objek yang kepemilikannya adalah "terdaftar" oleh karena itu pencatatan/administrasi menjadi hal yang sangat penting dalam pengurusan peralihan/konversi hak atas tanah.

Jika anda saat ini berniat untuk membeli tanah/membebaskan tanah yang masih berstatus tanah girik, maka sangat disarankan untuk meneliti lebih jauh mengenai kepemilikan tanah tersebut, misalnya dengan mendatangi lurah/kepala desa setempat. Apabila administrasi dilakukan dengan baik, maka kepemilikan tanah secra adat di suatu masyarakat seharusnya tercatat dengan baik di kepala desa/ lurah. Pencatatan secara rinci mengenai kepemilikan tanah girik tersebut sering dikenal dengan “riwayat tanah”.

Selain mendatangi kepala desa atau lurah setempat ada baiknya pula bagi anda yang berniat membeli tanah girik tersebut untuk mendatangi tetangga di sekitar lokasi tanah/”pemilik” tanah itu berada. Biasanya para tetangga mengetahui banyak hal tentang riwayat tanah. Bagaimanapun anda harus mencari banyak referensi dalam mencari informasi mengenai suatu bidang tanah. JANGAN HANYA MENGANDALKAN INFO DARI PENJUAL!!.  




Pengertian BPHT 


agi anda yang sering berurusan dengan jual-beli tanah mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. “Bea Perolehan” di sini maksudnya adalah Pajak, jadi secara sederhana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan;

Lantas apa itu “Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan” ? Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan (Sekedar mengingatkan bahwa beberapa contoh dari perbuatan hukum yaitu: Jual-Beli, Sewa-Menyewa, dsb. Sedangkan beberapa contoh dari “peristiwa hukum” misalnya adalah: waris dan hibah wasiat).

Jadi pada prinsipnya apabila anda mendapatkan/memperoleh hak atas tanah dan bangunan, baik anda mendapatkannya dengan cara membeli ataupun ketika anda mewarisi (mendapatkan hak atas tanah tersebut dari hasil warisan), atau bahkan dari pemberian orang lain (baik hibah biasa ataupun hibah wasiat), Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut tetap dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Hak atas tanah yang dimaksud dalam konteks Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Seperti: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa), Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengetahui lebih jauh tentang penjelasan dari hak atas tanah, anda dapat melihatnya pada artikel-artikel saya di blog ini. Namun pada prinsipnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan dibedakan dasar pengenaan pajaknya berdasarkan jenis hak atas tanahnya).


 Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas suatu tanah. jadi sederhananya, kita akan bicara hak guna bangunan kalau kita akan mendirikan suatu bangunan di atas tanah (yang bukan milik kita sendiri).

Mengapa harus ada hak guna bangunan (HGB)? Ya, karena tidak semua tanah itu merupakan hak milik. Bagi yang pernah kenal pembagian hak-hak atas tanah, pastinya sudah tidak asing dengan hak-hak seperti hak guna bangunan (HGB), hak milik, hak pakai, hak sewa dan hak guna usaha (HGU). Nah, intinya hak guna bangunan itu adalah hak yang peruntukannya/penggunaannya hanya untuk mendirikan/membangun bangunan, misalnya: rumah, kios, apartemen, kos2an gedung2 dll.

Sebagian dari kita mungkin tidak memiliki minat untuk memiliki suatu tanah dan oleh karena itu banyak pilihan di mana kita bisa tetap menggunakan manfaat suatu bidang tanah. misalnya apabila kita berminat untuk membangun sebuah peternakan, kita bisa menggunakan hak guna usaha atas tanah, misalkan kita hanya ingin menggunakan tanah untuk usaha areal parkiran, kita bisa menggunakan hak pakai atas tanah tersebut dan lain sebagainya.

hak guna bangunan biasanya menjadi pilihan buat mereka yang berminat untuk punya tanah tetapi tidak bermaksud untuk menempati tanah itu untuk waktu yang lama. Hak guna bangunan biasanya pilihan favorit buat mereka yang mau mendirikan usaha, misalnya kios, warung ato kos-kosan.

Apa sih resikonya hak guna bangunan(HGB)?. Karena hak guna bangunan bukan hak yang terkuat atas suatu tanah, maka hak guna bangunan itu kepemilikannya juga dibatasi sampai waktu tertentu. Kalau kita buka Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang hak guna bangunan, disana disebutkan bahwa jangka waktu hak guna bangunan itu selama 30 (tiga puluh) tahun. Artinya resiko dari kepemilikan hak guna bangunan, yaitu jangka waktu kepemilikannya yang terbatas. Tentu saja ini beda dengan hak milik yang cenderung “abadi”, dikatakan “cenderung” karena mungkin saja ada hal-hal khusus/ kebijakan khusus dari pemerintah untuk mengambil kepemilikan hak milik tersebut.

Jangka waktu kepemilikan selama 30 tahun untuk hak guna bangunan sebetulnya masih bisa diperpanjang, yaitu sampai selama 20 tahun. Jadi buat anda yang berminat untuk menggunakan manfaat dari hak guna bangunan untuk selama jangka waktu tertentu. Hak guna bangunan ini tentu sangat cocok dan menguntungkan.

pedagang/pengusaha biasanya punya perhitungan yang cermat dalam menggunakan hak guna bangunan ini, mereka akan menghitung keuntungan yang mungkin bisa mereka dapatkan dalam kurun waktu penggunaan hak guna bangunan (HGB) tersebut.




Minggu, 20 November 2011

Haruskah Direktur Rumah Sakit dijabat Dokter ?

Sejak UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit resmi diundangkan pada 28 September 2009, banyak diskusi hadir di media massa. Diskusi berkisar pada hak dan kewajiban pasien serta rumah sakit, yang lebih tegas diatur dalam UU yang baru itu. Misalnya, pasien sekarang bebas melaporkan keluh kesah tentang ketidak­nyamanan di rumah sakit pada media mass­a, atau tentang rumah sakit yang tidak boleh menolak pasien dengan alasan apapun.1 Ada juga diskusi tentang rumah sakit pemerintah yang harus seluruhnya kela­s III, yang membuat kegelisahan baik bagi manajer rumah sakit maupun peme­rin­t­ah daerah.2 Jadi, umumnya diskusi ber­kisar pada hubungan provider kesehatan (rumah sakit atau pemerintah daerah) denga­n konsumen kesehatan (pasien). Ada juga beberapa diskusi tentang aspek pem­biay­aan sebagai dampak UU itu yang membo­lehkan model BLU.
Jarang sekali diskusi rumah sakit ten­tan­g pengorganisasian, kecuali protes or­ga­­nisasi keperawatan tentang tidak adanya komite keperawatan dalam undang-un­dan­g itu. Seingat saya, belum ada isu yang membahas tentang keharusan direktur rumah sakit dari tenaga medis. Dalam pasal 34 UU itu, dengan jelas disebutkan ayat (1) Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
Isu ini muncul ketika teman saya me­nelpon saya untuk menanyakan hal itu. Hal itu menjadi masalah karena sebelum UU itu keluar, tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang ke­rumahsakitan bisa menjadi direktur rumah sakit. Ketika RUU itu dirancang, memang ada perdebatan apakah direktur rumah sakit harus tenaga medis atau tenaga keseh­atan yang menguasai manajemen pe­rum­ahsakitan. Bisik-bisik dari teman yang mengikuti perkembangan RUU itu menga­takan bahwa pilihan jatuh ke tenaga medis, semata-mata karena kalah jumlah. Komisi yang membidani lahirnya UU rumah sakit itu lebih banyak dokter dibanding bukan dokter.
Sebenarnya, yang perlu dibahas adalah apakah direktur rumah sakit harus tenaga medis? Secara tidak langsung, isu ini bisa dijawab dengan sederhana: kalau harus direk­tur mengapa di negara lain, baik Eropah, Amerika, maupun Australia, banyak rumah sakit yang dipimpin bukan oleh tenaga medis, bahkan banyak yang bukan tenaga kesehatan. Pada umumnya, kualifikasinya adalah mereka yang me­ngua­sai manajemen, baik dokter maupun bukan. Apakah rumah sakit di Indonesia begitu berbedanya dibanding di luar negeri, sehingga direktur rumah sakit harus tenaga medis? Dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit itu disebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (pasal 1). Agar pelayanan berjalan paripurna maka rumah sakit tidak hanya melakukan pelayanan kesehatan sampai ke tingkat yang canggih, tetapi juga pendidikan/pelatihan SDM, penelitian, dan pengembangan. Jadi, tugas direktur adalah sebagai leader dan manajer agar semua kegiatan itu bisa berjalan denga­n baik dalam anggaran yang tersedia (rumah sakit publik) serta anggaran yang harus dicari (rumah sakit swasta dan rumah sakit publik melalui kerangka BLU). Dalam menjalankan tugas itu, direktur rumah saki­t harus menguasai banyak aspek manaje­rial mengingat agar sukses ia harus memelihara komunikasi yang baik dengan konsumen dan berbagai pihak yang ber­ke­pe­ntingan di luar rumah sakit, serta berkoordinasi dengan puluhan macam tenaga di dalam rumah sakit itu sendiri. Jadi, justru proporsi pelayanan medis hanyalah bagian dari seluruh kegiatan di rumah sakit. Karena itu, tidak salah kalau orang men­definisikan rumah sakit sebagai orga­nisasi pelayanan yang paling kompleks yang padat modal (peralatan canggih), sekaligus padat karya.
Kalau melihat itu, harus­kah direktur ru­mah sa­kit tenaga medis? Menurut saya tidak harus. Seorang tenaga kesehatan —tidak harus dokter— yang dilat­ih dengan baik untuk mengelola rumah sakit mestinya mempunyai potensi untuk menjadi direktur rumah sakit. Bahkan, menurut saya, tenaga ahli di luar kesehatan, namun mempunyai keahlian manajemen rumah sakit atau mempunyai jam terbang yang cukup tentang manajemen rumah sakit, bisa menjadi direktur rumah sakit. Karena itu, banyak ekonom yang menjadi direktur rumah sakit karena memang tuntutannya adalah agar tidak merugi (rumah sakit publik) atau harus untun­g (rumah sakit swasta).
Bisakah tenaga medis memegang ja­bat­an direktur rumah sakit ? Menurut saya juga bisa, dengan syarat ketika memegang jabatan itu, ia harus berkonsentrasi sebagai pemimpin dan pengelola, sehingga seluruh kegiatan di rumah sakit berjalan seperti orch­estra yang dipimpin oleh konduktor yang ahli. Artinya, harus meninggalkan fungsinya sebagai “dokter”. Dokter spesialis pun harus melupakan sejenak ke­ah­lian­­nya. Sering kali kata sejenak itu menjadi lama, sebab kalau lihat faktanya, sekali dokter ahli merambah karier manajemen, akhirnya terus menekuni karier itu. Dengan tenaga dokter yang relatif masih langka di negeri kita dan pendidikannya yang mema­kan biay­a besar, bukankah lebih efisien kalau ia berfungsi tetap sebagai dokter spe­sialis, dan kita memberikan jabatan direktur rumah sakit kepada bukan dokter?


Direktur RS Harus Seorang Dokter ?

Akhir-akhir ini bisnis perumahsakitan terus berkembang, banyak kalangan swasta baik secara individu maupun berkolaborasi membangun rumah sakit, tidak terbatas pada kelompok paramedis maupun individu paramedis, namun banyak dari kalangan non paramedis turut meramaikan dan memanfaatkan peluan bisnis dibidang pelayanan kesehatan. Demikian juga institusi swasta dari kalangan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran atau akan membentuk fakultas kedokteran berusaha mengkaitkan dengan ketersediaan rumah sakit pada institusi tersebut.

Atas fenomena ini kemudian muncul beberapa pertnyaan dari kalangan “awam” menanyakan haruskah seorang direktur rumah sakit seorang dokter atau cukup paramedis  non dokter yang memiliki pengalaman tentang perumah sakitan? Dan bolehkan pemilik rumah sakit merangkap jabatan sebagai direktur?

Dalam Permenkes No. 971 tahun 2009, Permenkes RI No. 147?MENKES/PER/I/2010 Tentang perizinan Rumah Sakit dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit memang tidak dicantumkan dengan pasti bahwa direktur rumah sakit haruslah seorang dokter, tetapi  hanya menyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis  yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan.

Yang relevan untuk dijadikan pedoman penentuan kepala rumah sakit harus dokter adalah:
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.

Apakah Depkes akan melakukan audit terhadap rumah sakit yang memiliki direktur bukan seorang dokter? Jawabnya, ya Depkes akan mengaudit dan memebrikan penilaian atas posisi ini. Depkes memiliki program akreditasi yang harus dilakukan oleh semua institusi pelayanan kesehatan yang menggunakan klasifikasi/nama “Rumah Sakit” dalam bisnisnya.
Berikut adalah perangkat Akreditasi yang digunakan untuk mengaudit keberadaan direktur dan pemilik rumah sakit:

Standard 3. STAFF dan PIMPINAN
Adanya pelimpahan kewenangan dari pemilik kepada pengelola rumah sakit untuk megelola sumber daya manusia (SDM)

S.3.P.1. Pemilik menetapkan tertulis Direktur Rumah Sakit

Skor:
0: Tidak ada Direktur rumah sakit
1: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
2: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
3: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
4: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
5: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi, disertai pemilikan ijazah dan gelar pasca sarjana (S2) dalam bidang manajemen.

DO: Sebutan Direktur rumah sakit dapat juga diberikan dengan nama lain misalnya Kepala, Direktur Utama, Chief Executive Officer (CEO). Kualifikasi Direktur rumah sakit dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.

Photo Cut Tari Dkk