Harta
kekayaan yang dimiliki Nasabah Debitor (ataupun yang dimiliki pihak ketiga),
baik yang berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak, adalah sah
sebagai agunan (jaminan) bagi pelunasan utang kreditnya (ataupun dalam hal yang
dimiliki pihak ketiga, adalah bagi pelunasan utang kredit Nasabah Debitor)
kepada Bank/Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang menjadi Kreditor apabila
telah sah diikat dengan hak-hak jaminan kebendaan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini hak-hak jaminan kebendaan
dimaksud di Indonesia adalah dapat berupa:
1.
Gadai (pand), yang dibebankan pada barang bergerak jaminan utang
berdasarkan suatu Perjanjian Gadai untuk itu, berdasarkan Pasal 1150 sampai
dengan Pasal 1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer"),
di mana barang bergerak yang digadaikan harus disimpan oleh Kreditor atau pihak
ketiga yang disepakati;
2.
Hak Tanggungan, yang dibebankan pada bidang tanah berikut turutan di
atasnya berdasarkan suatu Sertipikat Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh
Kantor Pertanahan setempat bidang tanah tersebut terletak yang didasarkan pada
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk itu yang dibuat oleh dan di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang, berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah ("UU Hak Tanggungan"), di mana pemanfaatan atas bidang tanah tersebut tetap
berada pada Debitor atau pihak ketiga pemiliknya;
3.
Jaminan Fidusia, yang dibebankan pada barang bergerak atau bangunan yang
kepemilikannya terpisah dari bidang tanahnya maupun hasil ekonomisnya dan klaim
asuransinya (sepanjang tidak diperjanjikan lain) berdasarkan suatu Sertipikat
Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia yang
didasarkan pada Akta Jaminan Fidusia (AJF) untuk itu yang dibuat oleh dan di
hadapan Notaris, berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ("UU Jaminan Fidusia"), di mana pemanfaatan atas barang bergerak atau bangunan
tersebut tetap berada pada Debitor atau pihak ketiga pemiliknya;
4.
Hipotik atas kapal [dengan isi kotor 20 M3 (dua puluh meter kubik) atau
lebih], yang dibebankan pada kapal dimaksud berdasarkan suatu Akta Hipotik yang
dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal
(PPPBNK) serta telah didaftarkan pada Kantor Pendaftar dan Pencatat Balik Nama
Kapal (KPPBNK), berdasarkan Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPer juncto
Pasal 315 sampai dengan Pasal 315e Kitab Undang-undang Hukum Dagang ("KUHD") juncto UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ("UU Pelayaran") juncto PP No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan ("PP Perkapalan"), di mana pemanfaatan atas kapal tersebut tetap berada pada
Debitor atau pihak ketiga pemiliknya; dan
5.
Hipotik atau Chattel Mortgage
atas pesawat udara dan helikopter,
yang dibebankan pada pesawat udara atau helikopter berdasarkan suatu Surat
Keterangan Pendaftaran Hipotik/Chattel Mortgage yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara-Kementerian Perhubungan RI yang
didasarkan pada Akta Hipotik/Chattel Mortgage yang dibuat oleh dan di
hadapan Notaris, berdasarkan Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPer juncto
UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ("UU Penerbangan") maupun berdasarkan Chicago Convention 1944 yang
diratifikasi oleh Geneva Convention on the International Recognition of
Rights in Aircraft 1948 ("Traktat Internasional tentang Pesawat
Udara"), di mana pemanfaatan atas pesawat udara atau helikopter
tersebut tetap berada pada Debitor atau pihak ketiga pemiliknya.
Berkaitan dengan pertanyaan
Saudara, pada prinsipnya tidak terdapat larangan di dalam peraturan perundang-undangan
untuk dapat diletakannya Sita Jaminan (Conservatoir Beslag), Sita
Revindikasi (Revindicatoir Beslag) ataupun Sita Marital (Maritaal
Beslag) atas suatu harta kekayaan yang telah sah diikat oleh suatu hak
jaminan kebendaan (sebagaimana bentuk-bentuknya telah diuraikan di atas).
Tetapi di dalam praktik, Sita yang diletakkan tersebut oleh Jurusita menjadi
dikualifikasikan sebagai Sita Persamaan (Vergelijken Beslag) berdasarkan
Pasal 463 Reglemen Acara Perdata ("RegAcPer")/Reglement op de Rechtsvordering
("RV"). Mengapa demikian, karena prinsip hukum jaminan bahwa hak
preferen dari Kreditor pemegangnya (Kreditor Preferen) terhadap harta kekayaan
yang telah sah diikat oleh suatu hak jaminan kebendaan adalah diutamakan (droit
de preference), prinsip hukum jaminan mana antara lain ditegaskan dalam Pasal
6 UU Hak Tanggungan. Konsekuensi dari berlakunya prinsip hukum ini adalah
jika dilakukan eksekusi penjualan atau eksekusi lelang atas harta kekayaan
tersebut, maka Kreditor Preferen lah yang berhak untuk pertama kali mengambil
uang hasil eksekusinya hingga terlunasinya tagihan piutangnya, dan jika masih
terdapat sisanya, maka baru lah itu menjadi bagiannya pihak (pihak-pihak) yang
berhak berdasarkan Sita Persamaan [yang dalam pelaksanaan eksekusi menjadi
berstatus Sita Eksekusi (Executoriaal Beslag)].
Last
but not least, tetap harus diperhatikan pula
Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti (in kracht
van gewijsde) atas perkara di mana Sita ditetapkan dan diletakkan. Apabila
Putusan tersebut menetapkan kepemilikan atas harta kekayaan dimaksud adalah
bukan lagi berada pada Nasabah Debitor atau pihak ketiga pemberi jaminan utang,
maka hak jaminan kebendaan yang tadinya melekat pada harta kekayaan tersebut
gugur demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void)
sehingga hak preferen dari Kreditor atas harta kekayaan tersebut pun tidak lagi
terdapat (hapusnya hak jaminan kebendaan akibat hapusnya hak milik atas barang
jaminan).
Dasar
hukum:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van
Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43)
3.Rv (Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad
Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar