saya pernah menandatangani kuitansi
yang bukan di atas meterai. Kuitansi ini untuk serah terima sejumlah uang dari
si A untuk urusan surat izin. Saat penyerahan uang saya ditemani oleh si C (si
C yg memperkenalkan saya dengan si A). Yang menerima uang dari si A adalah si C
tetapi saya yang menandatangani kuitansi penyerahan uang. Surat izin yang ingin
dibuat si A melalui saya dan si C tidak selesai. Jadi, si A menuntut uangnya
kembali kepada saya, sedang si C tidak tahu masalah uang itu. Si A telah
melaporkan hal ini ke pihak kecamatan dan kantor PU kabupaten. Si A juga telah
menuduh saya sebagai penipu, sedang saya tidak ada menerima uang. Yang ingin
saya tanyakan 1. Apakah kuitansi yang tidak bermeterai dapat dijadikan alat
bukti di pengadilan? 2. Bagaimanakah penyelesaian masalah saya ini? 3. Apakah
yang dilakukan si A dengan menuduh saya sebagai penipu dapat dijadikan sebagai
pencemaran nama baik, karena di mata masarakat saya sudah tidak dipercaya lagi?
Jawaban :
1. Pada dasarnya pemberian meterai
adalah hanya sebagai bukti pembayaran pajak atas surat/dokumen sebagaimana
diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Namun, untuk
keperluan pembuktian di pengadilan apabila suatu surat/dokumen (dalam hal ini
kuitansi) yang belum bermeterai, dapat dilakukan pemeteraian kemudian untuk
kepentingan pembuktian yang dilakukan oleh pejabat pos (lihat Pasal 2 ayat
[3] huruf a jo. Pasal 10 UU
No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai).
Putusan Mahkamah Agung tgl.
28-8-1975 No. 983 K/Sip/1972 menegaskan bahwa kuitansi yang diajukan oleh tergugat
sebagai bukti, karena tidak bermeterai oleh Hakim dikesampingkan. Jadi, dalam
hal kuitansi tersebut akan dipakai sebagai alat bukti di pengadilan maka
kuitansi tersebut wajib dimeteraikan terlebih dahulu.
2. Dari cerita yang Anda sampaikan,
dikarenakan Anda dan C telah menerima pembayaran dari A untuk pengurusan izin
tersebut, maka Anda dan C terikat secara hukum dengan A dan mempunyai kewajiban
hukum untuk menyelesaikan izin tersebut atau apabila dalam hal izin tidak dapat
dikeluarkan maka uang A harus dikembalikan.
Dalam hal ini, Anda dan C terikat
perjanjian yang mungkin dibuat secara lisan pada saat Anda dan C memberikan
persetujuan untuk mengurus izin tersebut dan A menyetujui pembayaran. Pembayaran
ini kemudian dibuktikan dengan adanya kuitansi bukti tanda penyerahan uang dari
A. Untuk itu, apabila Anda dan C tidak memenuhi perjanjian tersebut maka Anda
dan C termasuk melakukan ingkar janji atau wanprestasi (lihat Pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata):
“Penggantian biaya, kerugian dan
bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,
walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”
Dengan demikian, solusinya adalah
Anda meminta C untuk mengembalikan uang tersebut karena yang menerima uang
tersebut adalah C. Dalam hal uang tersebut tidak dikembalikan, maka Anda dan C
dapat digugat secara perdata (wanprestasi) maupun dituntut secara pidana yaitu
penipuan (lihat Pasal 378 KUH
Pidana).
3. Tindak pidana pencemaran nama baik
sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUH Pidana adalah sebagai
berikut:
“Barang siapa sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jadi, apabila A dengan sengaja
mencemarkan nama baik Anda hingga diketahui oleh umum dapat dikategorikan
melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Pelaku pencemaran nama baik dapat
dituntut secara pidana jika diadukan oleh yang merasa dicemarkan nama baiknya
(dalam hal ini Anda). Tapi, tanpa pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan
maka tindak pidana tersebut tidak akan diproses oleh polisi karena pencemaran
nama baik termasuk delik aduan.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
Surat pernyataan bermeteri
Saya ingin menanyakan tentang surat
pernyataan yang telah ditandatangan bea meterai. Dalam hal ini berkaitan dengan
surat pernyataan tentang larangan melakukan sesuatu, dan apabila dilanggar maka
yang bersangkutan dikenakan sanksi. Jika surat pernyataan tersebut ditambah
dengan tanda tangan saksi, apakah hal tersebut perlu dilakukan? Terima kasih.
Jawaban :
Surat
pernyataan yang Anda buat merupakan akta di bawah tangan. Agar surat tersebut
dapat digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau
keadaan yang bersifat perdata maka surat pernyataan tersebut ditandatangani di
atas meterai Rp6.000,- (lihat pasal 2 ayat [1] huruf a UU No. 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai jo pasal 2 ayat [1] PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan
Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea
Meterai).
Untuk
akta di bawah tangan pemeriksaan yang paling pertama dilakukan oleh hakim
adalah mengenai benar tidaknya akta yang bersangkutan telah ditandatangani oleh
pihak(-pihak) yang bersangkutan. Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tanda
tangannya, memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti suatu akta
otentik (lihat pasal 1875 KUHPerdata. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung:
tgl. 3-12-1974 No. 1043 K/Sip/1971). Jadi, selama tidak disangkal, akta di bawah
tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sama seperti akta otentik.
Dengan
demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, di dalam surat pernyataan tersebut
perlu dimasukkan dua orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
Selain
itu, juga dalam konteks memperkuat pembuktian, akta di bawah tangan dapat
dilegalisasi atau disahkan oleh notaris. Seperti ditegaskan dalam pasal 15
ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”),
notaris berwenang pula untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Dalam penjelasan
pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN dikatakan bahwa ketentuan ini merupakan
legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang
perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan
jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Dalam
praktiknya, menurut notaris Irma Devita, legalisasi akta di bawah tangan berarti dokumen/surat yang
dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris,
setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang
bersangkutan. Menurut Irma, dalam legalisasi notaris menjamin bahwa yang tanda
tangan adalah orang yang namanya tertulis di dalam surat di bawah tangan.
Notaris juga menjelaskan isi surat tersebut sehingga di kemudian hari yang
bersangkutan tidak bisa ingkar bahwa dia hanya tanda tangan saja tapi tidak
mengerti isinya.
Sementara
itu, jika akta di bawah tangan tersebut tidak ditandatangani di hadapan notaris
-- seperti yang Anda uraikan dalam pertanyaan -- maka akta di bawah tangan
tersebut dapat diregister dalam buku khusus (waarmerking) oleh notaris
(lihat pasal 15 ayat [2] UUJN). Dengan demikian jika suatu hari terjadi
sengketa mengenai isi surat pernyataan tersebut, pihak yang bersangkutan dapat
melihat surat yang telah di-waarmerking tersebut.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek
Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847No. 23)
2.
Undang-Undang No. 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai
3. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
4. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan
Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea
Meterai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar